10 Kesalahan yang Paling Sering Dilakukan Orangtua

10 Kesalahan yang Paling Sering Dilakukan Orangtua
ISTOCK

Cari tahu kesalahan apa yang sering kamu lakukan—dan koreksi.

Hari ini kamu merasa gagal luar biasa... menjadi orangtua. Padahal kemarin, iya, baru kemarin, wuah... kamu layak diberikan penghargaan "orangtua teladan". Bila perlu dianugerahi sertifikat. Namun, satu hal yang perlu kamu ingat: "membuat kesalahan adalah sesuatu yang natural—tapi tidak begitu dalam hal memperbaikinya. Membutuhkan kebesaran hati untuk mengakui kesalahanmu, terutama terhadap anakmu," tulis Sean Grover, L.C.S.W., seorang psikoterapis di Psychology Today. Lalu apa yang harus dilakukan? Coba lagi, mulai lagi hubungan baru yang lebih sehat. "Menjadi orangtua adalah proses evolusi," tulisnya. Kemungkinan besar kamu akan melakukan banyak kesalahan (terutama tahun pertama), setiap hari, setiap tahun. Belajar dari kesalahan tersebut dan perbaiki diri. Sulit memang, tapi leganya, anak-anak biasanya terbuka dan memberikan kesempatan kepada orangtua untuk terus berkembang. "Tumbuh dengan anakmu tidak hanya membuatmu menjadi orangtua yang lebih baik—juga akan membuatmu menjadi manusia yang lebih baik," jelas Grover. 

Ohya, apa sih, kesalahanmu itu yang membuatmu merasa sepertinya gagal menjadi orangtua hari ini? Menurut Grover ada 10 kesalahan yang paling sering dilakukan oleh orangtua, dan ini urutannya (dari yang terakhir sampai jawaranya). 

10. Micromanaging. Artinya, mengerjakan hampir segala hal untuk anak. Hasilnya, anak terlalu tergantung pada orangtua, tidak bisa mengatur diri sendiri, kurang motivasi dan tidak dewasa secara emosional (meskipun pintar). "Alih-alih melakukan, sediakan perlengkapan agar anak lebih mandiri dan bisa mengandalkan diri sendiri." Ini akan membuatnya lebih semangat untuk berhasil. 

9. Mengiyakan segalanya. Ini merupakan salah satu kesalahan yang paling buruk. Ketika orangtua mengabulkan apa pun keinginan anaknya, mereka menjadi tidak mau berusaha, memiliki hubungan sosial yang negatif (karena berharap semua orang mengikuti keinginannya), tidak percaya diri tapi arogan. Ajar mereka untuk bertanggung jawab dan melakukan pekerjaan sendiri. 

8. Memberikan contoh yang buruk. "Tugas pertama dan utama orangtua adalah menjadi contoh yang baik," jelas Grover. Jadi harus bagaimana? "Bertingkah lakulah seperti yang kamu inginkan anakmu bersikap," ujar Grover. Jadilah teladan, dan yang paling teladan, "sebelum kamu menyalahkan anakmu atas perilaku mereka, coba perbaiki diri sendiri dulu." 

7.Perundungan. Memborbardir anak dengan perintah, arahan, ancaman dan kekerasan. Sedihnya, ini akan membuat anak cenderung cemas, susah percaya kepada orang lain dan kurang percaya diri. Dan lebih prihatin lagi, "Orangtua bisa saja membentuk anaknya menjadi seperti yang diinginkannya, tapi anaknya yang paling menderita," tulis Grover.

6.  Inkonsistensi. Orangtua yang mengubah pikirannya setiap lima menit seperti cuaca dan sulit mengambil keputusan, "kemungkinan besar akan menumbuhkan anak yang tidak stabil secara emosional," jelas Grover. "Menyediakan rumah yang stabil dan konsisten mungkin tidak selalu bisa, tapi menyediakan pola asuh yang stabil dan konsisten sangat mungkin."

5. Kritik dan membanding-bandingkan. Bagi yang pernah mengalami hal ini saat masih kecil, pasti tahu betap sesaknya saat mendengar orangtua sendiri membanding-bandingkan kita dengan anak tetangga, atau teman arisannya. Jangan ulangi kekeliruan ini. Mungkin terdengar remeh atau tidak ada maksud apa pun, tapi "hanya dibutuhkan satu momen tidak disengaja untuk menyakiti anakmu dengan kritikan atau perbandingan—tapi dibutuhkan waktu seumur untuk mereka pulih," tegas Grover. 

4. Nyaris tidak ada batasan dan struktur. Tidak ada jadwal dan rutinitas yang konsistensi. Plus, anak diperbolehkan melakukan apa pun, meskipun hal tersebut berbahaya atau tidak menghargai orang lain. Atau sebaliknya, struktur dan batasan overdosis. Tips Grover: temukan keseimbangan agar anak lebih siap saat masuk di dunia kerja atau bersosialiasi dengan orang lain. 

3. Mengabaikan. Lalai. Idealnya ini tidak terjadi, tapi banyak orang dewasa melakukan ini karena misalnya, "terlalu mencurahkan diri ke pekerjaan, mendelegasikan tanggung jawab orangtua kepada anak paling besar atau nenek/kakek." Orangtua ketinggalan acara-acara penting anak di sekolah, tidak pernah belajar mendengarkan—padahal ini merupakan obat paling mujarab untuk menyembuhkan berbagai konflik. Habiskan lebih banyak waktu bersama anak, dengarkan dan identifikasi kebutuhan mereka. 

2. Menyepelekan kesulitan belajar. Dan dengan cepat memberi label 'pemalas' atau 'tidak peduli dengan sekolah', "sehingga gagal memahami penyebab sebenarnya," tulis Grover.  

1. Meremehkan perasaan mereka. "Ketika anakmu mengungkapkan perasaan dan ketidakpercayaan diri mereka kepadamu, demi apa pun, jangan pernah menentangnya, memperbaikinya, menawarkan nasihat tanpa diminta, atau menggunakannya sebagai kesempatan untuk mengkotbahinya tentang pengalamanmu," jelas Grover. Belajarlah untuk sensitif dan mengerti kondisi mereka.