10 Menit Bersama... Chelsea Islan

10 Menit Bersama... Chelsea Islan
WOOP.ID

Aktris ini membicarakan tentang media sosial, kapan merasa kurang percaya diri, dan apakah merasa cantik. 

Apa yang bisa kamu lakukan dalam waktu 10 menit? Mandi? Dandan? Memberi si kecil makan (ini sepertinya membutuhkan waktu paling tidak satu jam)? Kalau saya—sama sekali tidak bermaksud sombong— berhasil mendapatkan kesempatan berbicara langsung dengan Chelsea Islan. Singkat, padat, dan jelas. 

Sepuluh menit karena hanya itu jatah saya, setelah cukup lama menanti. Di belakang saya, antrian untuk mewawancarainya, lebih panjang daripada antrian di depan Nature Republic. Kami bertemu di sebuah acara peluncuran ponsel yang sudah menjadikannya sebagai brand ambassador setahun belakangan. Tidak heran jika pembicaraan kami seputar sesuatu amat, sangat, luar biasa mempengaruhi hidup banyak orang di planet ini: media sosial.

“Media sosial sih, sebenarnya.. hmm.. bagaimana orangnya sendiri, kembali ke individu masing-masing,” kata Chelsea Islan. Dalam posisi duduk dan postur santai (tidak ada penghalang antara saya dan dia), Chelsea meneruskan pemikirannya. “Kalau untuk aku, media sosial sangat bisa menjadi platform positif untuk orang-orang. Cuman memang, ya sekarang kita bisa lihatlah sendiri, ada beberapa orang yang took misadvantageTake advantage of social media, and a wrong way," katanya dengan lugas. 

Akan tetapi, menurutnya ada sisi positif media sosial. “Kalau media sosial untuk aku sih, aku ingin menyebarkan, hmm… apa ya... salam-salam, pesan-pesan positif. Itu kalau di media sosialku ya," ucapnya dengan tegas. "Intinya sih, kembali ke individunya masing-masing dan mereka maunya gimana. Karena itu 'kan freedom of expression dan freedom of speech, ya. Jadi gak bisa dikontrol juga.”

Selama ini, Chelsea memang dikenal sebagai salah satu aktris yang peduli aktif di kampanye dan kegiatan sosial. Tidak heran tahun lalu mendapatkan penghargaan Innovative Young Leader 2017 dari Institute of Democracy and Education atas kepeduliannya terhadap generasi muda. Contoh lain, di tahun 2014, dia menjadi salah satu ambassador kampanye Love Pink. Tanggung jawabnya adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat luas tentang bahaya kanker payudara. Saya pribadi paling ingat dengan pernyataannya waktu itu tentang alasannya memutuskan untuk ikut terlibat dalam kampanye tersebut: karena Ibunya pernah terdiagnosa kanker payudara dan menjadi seorang cancer survivor.

Jika kamu adalah seorang yang rajin menyelam di dunia media sosial, entah itu Instagram atau Facebook (konon lebih terkenal untuk mereka yang sudah berusia sudah tidak muda lagi), akan akrab dengan bahasa-bahasa pedas (eufimisme: kasar dan vulgar). Bagaimana dengan seorang Chelsea Islan? Seberapa sering dia memposting sesuatu di akun pribadinya?

“Sebenarnya aku, salah satu orang yang gak jarang sih, tapi ada, tapi ya gak hampir setiap hari," jawabnya. "Tapi kalau ada yang penting pasti aku bersuara di situ, gitu. Karena ya, itu menurut aku, media sosial menjadi platform positif yang bisa menginspirasi orang atau memotivasi. Misalnya, kayak ajakan peduli lingkungan. Ya bisalah, lihat di Instagram aku,” sarannya, sambil tersenyum.

Ia melanjutkan, “tapi tetap harus ada batasannya, ya. Kalau aku sendiri sih, di-balance aja, antara pekerjaan dan pribadi. Makanya di Instagram aku, ada yang aku sendiri, ada yang kerjaan, ada yang movement apa gitu, atau campaigngitu sih.”

Pro dan kontra, positif dan negatif media sosial adalah bahasan yang tidak mungkin dituntaskan dalam 10 menit. Terlalu terbatas dan pendek—bahkan bisa jadi tidak cukup untuk mengedit dan memfilter foto-foto yang kita unggah di Instagram. Yep, bagi beberapa orang prosesnya terlalu sakral. Pokoknya harus diedit berkali-kali! Setuju 'kan ya, Chelsea?

“Kalau posting di instagram, tergantung sih, kalau misalnya selfie sih engga ya. Tapi kalau dari kamera atau misalnya tergantung fotonya sih, harus diterangin, digelapin atau tidak. Tapi jujur sih, aku sih jarang memfilterin, palingan cuma brightness aja,” ucapnya. 

Ada begitu banyak aplikasi yang memungkinkan kita terlihat lebih ramping, lebih putih, tanpa selulit, tanpa jerawat—hei, boleh saja sih, jika kamu ingin menggunakannya. Itulah gunanya teknologi. Namun, terkadang batas antara penampakan versi Instagram versus penampakan asli versi foto Paspor, sangat jauuuuh berbeda. Hmm, singkatnya: terlalu banyak kepalsuan di dunia maya. 

Chelsea tertawa dan, "iya, benar banget," katanya sambil mengangguk-angguk. “Hmm, makanya kalau dilihat dari Twitter atau Instagram aku, sebenarnya aku selalu taro disitu yang benar kerjaan aku. Misalnya nih, campaign Oppoyang barusan banget aku post. Kayak aku pegang handphoneOppo, tapi itukan it's realIt's part of me yang real. Jadi walaupun ada kerjaan itu adalah sisi pribadi dan sisi kehidupan asliku. Mostly yang aku unggah pasti real, sih. Asli,” tegasnya seraya terbahak.

Sulit untuk mengkontradiksi pernyataan terakhirnya ini. Pasalnya, untuk seseorang yang sudah memiliki nama dan predikat seperti dirinya (dari tahun 2012 sampai 2018, sudah membintangi 12 film, berperan sebagai Annelies Mellema dalam produksi teater Bunga Penutup Abad—adaptasi novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa miliki Pramoedya Ananta Toer—plus nominator beberapa kali Festival Film Indonesia termasuk membawa pulang piala Pemeran Utama Wanita Terpuji dari Festival Film Bandung 2016 atas perannya sebagai Ilona Ianovska di Rudy Habibie—kehidupannya sepertinya tidak neko-neko. Jarang terlihat di acara gosip—apalagi harus mengklarifikasi sesuatu di depan mikrofon dan puluhan wartawan. Atau di akun Lambe Turah. Dia memang lebih aktif di kegiatan sosial. Terakhir yang saya ingat adalah ia pergi ke Papua untuk membagikan sepatu untuk anak-anak di sana bersama dengan salah satu brand clothing lokal,This is April. Dan yang terbaru, bersama dengan salah satu merek makanan mengadakan kampanye tentang minat baca, demi masa depan anak Timur, tepatnya di kampung Roe, Nusa Tenggara Timur.

“Aku pribadi, emang dari kecil suka banget sama aksi-aksi sosial, peduli lingkungan. Karena dari kecil diajarin juga, dari sekolah, kayak kita harus berbagi, kita harus, misalnya ngasih sedekah dan lain-lain. Misalnya, ngajarin anak-anak kecil dan lainnya,” ceritanya.

“Kayak kemarin, pas banget aku juga ikut Wahana Visi Indonesia ke Wamena Papua. ... Dari aku sendiri memang pengen banget berbagi untuk orang-orang di luar sana, terutama yang jauh, atau yang memang tidak diberikan apa, ya... hmm, begitu banyak exposure. Maksudnya, banyak yang tidak memperhatikan mereka, mereka telantar. Dan menurutku, memang harus ada yang make a change gitu. Kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi, gitu.”