Anak Memiliki Teman dengan SARA yang Berbeda: Pentingkah?

Anak Memiliki Teman dengan SARA yang Berbeda: Pentingkah?
ISTOCK

Orangtua dan stereotip. 

Beberapa waktu yang lalu beredar kicauan di Twitter tentang beberapa ibu yang sepertinya enggan jika anaknya berteman dengan yang memiliki SARA yang berbeda. Kicauan-kicauan dengan naratif yang sama tidak lepas dengan isu yang hiruk pikuk selama Pilkada Jakarta (yep, kita semua tahu apa itu). Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan: jika membicarakan anak usia sekolahan, se-picky dan sedetail itukah mereka memilih teman? “Seorang anak akan memilih untuk berkelompok dengan teman sebayanya berdasarkan kedekatan,” kata Fathimatuzzahroh Rahmah Gustiani, M.Psi, seorang Psikolog Klinis Anak dan Remaja, juga Psikolog di SMP/ SMA Perguruan Islam Al-Izhar, Pondok Labu, Jakarta.

Selain itu, WOOP juga bertanya tentang apakah memang penting dan signifikan seorang anak memiliki teman yang berbeda latar belakangnya. Berikut petikan penjelasan Fathimatuzzahroh tentang topik yang bisa dibilang agak sensitif ini. 

WOOP: Biasanya, apa definisi teman bagi seorang anak (yang berumur di bawah 15 tahun)?

Fathimatuzzahroh: Teman bagi anak usia 7 – 11 tahun adalah seseorang yang sering bersama mereka dan memiliki kesukaan yang sama sehingga mereka dapat berbagi mainan atau sama-sama bermain. Untuk anak usia 11 – 15 tahun, ada kemiripan definisi teman dengan anak usia 7 – 11 tahun. Perbedaan yang lebih menonjol adalah anak usia 11 - 15 sudah memiliki intimacy yang lebih kuat dengan temannya, karena mereka sudah dapat saling berbagi kesenangan dan kesedihan bersama. Mereka sudah dapat memahami bagaimana diri mereka bergantung pada teman-temannya. Kehidupan mereka juga kemungkinan besar lebih banyak dihabiskan dengan lingkup pertemanannya. Ini membuat teman menjadi salah satu pusat perhatian dalam kehidupannya.

Bagaimana biasanya seorang anak memutuskan seseorang menjadi teman? Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi pertimbangan anak tersebut? Apakah SARA termasuk di dalamnya?

Seorang anak akan memilih untuk berkelompok teman sebaya berdasarkan kedekatan, misalnya berada dalam satu kelas, tetangga, satu komunitas kegiatan, kesamaan jenis kelamin, etnis, popularitas, dan agresivitas, Anak-anak cenderung memilih teman-teman yang memiliki kesamaan dengan mereka dalam banyak hal.

Sebenarnya sampai saat ini, secara psikologis anak-anak yang berada pada satu lingkup sekolah yang homogen ataupun heterogen, jarang sekali memilih teman berdasarkan SARA (tidak ada alasan yang mendasar). Mereka biasanya akan memilih teman berdasarkan sikap dan performa akademis yang sama, dan memiliki status yang mirip dalam kelompok teman sebaya. Contohnya: anak-anak yang populer (kompeten secara sosial dan akademik) akan berteman dengan anak yang populer juga, anak yang terabaikan (anak yang jarang sekali terpilih, baik dalam hal positif maupun negatif) akan berteman dengan anak yang terabaikan juga. Namun apabila dilihat dari lingkungan dimana anak menjadi minoritas atau merupakan yang tergolong rejected (pasif, canggung dalam hal berhubungan sosial, dan beresiko menjadi korban bullying), anak tersebut dapat dijauhi oleh teman-temannya. Sebagai contoh, anak bule yang bersekolah di sekolah umum dan tidak memiliki keterampilan sosial yang baik, ada kemungkinan akan kurang diterima oleh lingkungannya.

Adakah alasan psikologis kenapa seorang anak sebaiknya memiliki teman dengan latar belakang yang berbeda? Baik secara suku, agama, ras, dan status sosial? Atau memiliki yang homogen pun sebenarnya tidak memberikan efek signifikan bagi anak tersebut?

Dampak positif bagi anak-anak adalah dari perbedaan atau keberagaman, anak bisa belajar untuk saling memahami, menghargai, dan berempati. Dalam perkembangan sosio-emosionalnya, anak akan lebih matang karena anak berpengalaman dalam berinteraksi dengan berbagai macam individu. Anak pun dapat memahami suatu situasi dan dapat menerapkannya ketika dia mendapatkan sebuah masalah. 

Bagaimana mengajarkan kepada anak bahwa setiap anak di sekolahnya mungkin memiliki latar belakang yang berbeda? Sejak kapan hal ini harus dilakukan oleh orangtua?

Pada usia prasekolah (4 – 5 tahun), sebenarnya anak sudah mulai bisa dididik untuk diberikan pengetahuan mengenai adanya keberagaman manusia. Karena pada tahap ini, perkembangan anak sudah  sangat pesat dan sudah memiliki rasa inisiatif yang tinggi untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Orangtua dapat memulainya dari sebuah mainan atau permainan. Orangtua bisa lebih membebaskan anak untuk masuk dalam sebuah lingkup permainan. Karena pada saat itu, anak sedang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi dan biarkan anak mengekplorasi lingkungannya. Orangtua bertugas sebagai pengawas. Selama anak tidak masuk ke jalur-jalur yang membahayakan dirinya atau orang lain, berikan kebebasan kepada anak. Orangtua tidak memberikan doktrin-doktrin tertentu kepada anak yang menyebabkan anak kurang memiliki rasa menerima adanya perbedaan, seperti melarang anak untuk bermain dengan ras tertentu karena alasan yang mungkin bersumber dari pengalaman orangtua atau orang lain.

Pada beberapa kasus, orangtua agak mengekang (sampai pada tahap melarang) anaknya untuk memiliki teman yang berbeda SARA, apa sebenarnya pertimbangan orangtua?

Pertimbangan orangtua kurang lebih karena pengalaman atau stereotip yang kemungkinan besar sudah terbangun di masyarakat, apalagi di Indonesia yang sangat kental dengan budaya dan adat istiadat. Kemudian karena naluriah dari orangtua adalah ingin melindungi anaknya. Pengalaman atau stereotip inilah yang juga mempengaruhi cara pandang dan pola asuh orangtua pada anaknya.

Ada anggapan: bahwa terkadang anak lebih fleksibel dan tidak begitu peduli dengan perbedaan tersebut saat memilih teman, tapi orangtualah yang sepertinya lebih ketat dan strik. Bagaimana pendapat Anda?

Dalam pemilihan lingkungan pertemanan anak dan termasuk dalam pada gaya pengasuhan, sebaiknya orangtua tidak mengikutsertakan/memasukkan stereotip tersebut, baik positif maupun negatif. Karena seorang anak juga berhak dalam mengeksplorasi dan memilih teman. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, penanaman yang diberikan kepada anak lebih pada ajaran norma kesopansantunan dan agama, tidak pada pengalaman pribadi atau stereotip. Apabila orangtua selalu melihat suatu hal dari SARA, anak tidak akan belajar untuk memahami adanya keberagaman. Anak juga tidak akan belajar menghadapi segala sesuatu yang akan ditemui dalam kehidupan bermasyarakat. Ketangguhan seorang anak bisa dilatih sejak dini, dengan adanya interaksi anak dengan berbagai macam orang, situasi, dan kondisi.