Berita Bagus: Bahkan Ketawa Palsu Ada Gunanya

Berita Bagus: Bahkan Ketawa Palsu Ada Gunanya
ISTOCK

Jadi, tetap lakukan.

Senjata andalan pergaulan kita bersama: ketawa palsu—terutama saat seseorang yang baru kita kenal melucu tapi tidak lucu, krik krik krik, bleh, tapi mau tidak mau tertawa karena tidak ingin dianggap "dingin" atau "tidak asyik" atau "berhati monster." Well, teruskan kebiasaan tersebut. Pasalnya, menurut sebuah studi UCLA yang diterbitkan di Psychology Science, strategi sosial tersebut bisa membuat nilaimu naik. 

Seperti yang dilaporkan oleh Science Daily, dengan bantuan 884 studi dari Amerika dan 20 negara lain, peneliti utama Greg Bryant, Ph.D, mencari tahu apakah orang-orang dari berbagai negara bisa membedakan tawa palsu dan asli. Untuk melakukannya, Dr. Bryant dan timnya merekam potongan tawa dari sebuah percakapan dalam bahasa Inggris antara dua wanita dan juga suara LOL yang dipaksa. Setelah diedit, Dr. Bryant memainkan rekaman tersebut secara acak kepada para partisipan. 

Hasilnya: sebagian besar orang, apa pun latar belakangnya, bisa membedakan antara ketawa spontan dan yang dipaksakan. Pendengar dari daerah lokal dan terpencil lebih mahir mengenali tawa palsu, yang menandakan bahwa tempat-tempat dengan struktur sosial lebih kompleks lebih reseptif terhadap nuansa emosional. Meski begitu, penemuan ini juga mengindikasikan bahwa kedua jenis tawa tersebut membuat nilai sosialmu meningkat. Penyebabnya? Seperti yang dikatakan oleh Dr. Bryant, tidak ada yang namanya tawa "palsu". "Secara teknis, semua tawa itu nyata—perbedaannya hanya terletak pada sistem suara yang memproduksinya." Tawa asli memang akan dianggap menyenangkan, tapi yang palsu pun dipandang sebagai usahamu untuk terlihat sopan—terutama saat rapat dengan orang asing. Jadi, keduanya memberimu nilai lebih. Hahaha. 

Selanjutnya: Sementara itu, ini satu kebiasaan yang sepertinya wajib dihindari di hari pertama kerja di kantor baru.