Jamu: Produk Asli Indonesia yang (Sepertinya) Mulai Hilang

Jamu: Produk Asli Indonesia yang (Sepertinya) Mulai Hilang
ISTOCK

Sepertinya kalah pamor dengan produk kecantikan asal Korea. 

Siapa yang masih ingat kapan terakhir kali minum jamu? Ada? Tidak? Cuma satu orang? Padahal, minuman asli Indonesia ini pernah menjadi idola pada masanya, mulai dari galian singset, sehat wanita, beras kencur, kunyit asem, dan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, jamu seperti menghilang dan tergantikan oleh produk luar negeri. Ataupun terlihat cantik terpajang di toko kecantikan, tapi dengan cepat dan tangkasnya kita melewatinya begitu saja. Padahal, lagi-lagi kita tahu persis bahwa jamu bukan hanya baik untuk kesehatan saja, tapi untuk kecantikan (fokus banyak perempuan). Ada apa dengan jamu? 

Saat menanyakan isu kepada Prof. Dr. Ir. Bernard T. Widjaja, MM.,Unit Head of Herbal Divisiondari Martha Tilaar, beliau memulainya dengan menjelaskan: "Pada dasarnya, jamu tidaklah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak nenek moyang dan selama berabad-abad, terbukti memiliki khasiat secara empirik. Jadi sebenarnya, jamu sudah sangat dikenal oleh masyarakat kita turun menurun dari generasi ke generasi. Dalam era modern seperti ini, tentu saja perubahan gaya hidup juga sangatlah berpengaruh pula dengan konsumsi jamu.”

Obat herbal asli Indonesia ini memiliki konsumen yang sangat besar dan dari berbagai macam kalangan: kalangan bawah, menengah, atas, di kota maupun desa. Dahulu jamu dijual dengan digendong dalam sebuah bakul oleh seseorang yang kita kenal (masih ingat) sebagai mbok jamu. Namun sekarang, jamu gendong sudah sulit ditemukan di kota besar maupun desa, dan digantikan oleh kemasan yang ditawarkan berbeda seperti bubuk, kapsul, sampai minuman jadi.

“Jamu modern harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat kekinian. Masyarakat modern semakin kritis dalam memilih produk, jadi keputusan pembeliannya tidak berdasarkan pengalaman masa lalu, tetapi juga berdasarkan bukti ilmiah. Untuk menjawab tantangan tersebut, perusahaan jamu harus meningkatkan kemampuan reseach-nya untuk menggali potensi jamu secara ilmiah, baik khasiat maupun jaminan keamanan produknya, bahkan jamu juga mampu memiliki kesejajaran manfaat seperti obat farmasi, yaitu fitofarmaka,” bebernya lagi. 

“Di sisi lain, representasi jamu saat ini juga harus dapat dikonsumsi secara praktis, higienis, dan nyaman, bahkan rasa yang ditawarkan juga harus enak.”

Namun, apakah jamu masih bisa tetap konsisten hadir ditengah masyarakat, walaupun banyak produk berusaha mengalahkannya, misalnya seperti produk dari Korea yang sepertinya ada dimana-mana? Bernard mengatakan hal sebaliknya.

“Jamu, produk herbal atau produk natural saat ini justru menjadi tren yang semakin hari, semakin meningkat. Ini sejalan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan, minuman, kosmetik dan produk lainnya yang berasal dari alam atau natural, karena lebih sehat dan lebih sedikit efek sampingnya. Tapi tetap harus dikonsumsi pada takaran yang tepat. Selain itu, produk jamu herbal maupun kosmetik yang dipilih juga harus baik dan dihasilkan oleh perusahaan bereputasi, misalnya memenuhi syarat GMP, atau CPOTB (cara pembuatan obat tradisional yang baik), dan memiliki ijin edar dari BPOM,” jelas Bernard.

Dari penjelasan di atas, sebenarnya produk jamu tidak kalah dibandingkan produk-produk luar negeri yang saat ini makin banyak beredar di pasaran luas. "Produk jamu/herbal Indonesia memiliki keunggulan, yaitu sumber kekayaan alam nabati yang berkhasiat, yang sangat kaya. Selain itu, memiliki kearifan lokal dengan balutan kekayaan budaya suku bangsa. Sayangnya, kehebatan ini seperti tertutupi (dipudarkan) oleh pandangan bahwa produk lokal 'memiliki kekurangan', yang berasal dari persepsi masyarakat dalam negeri sendiri. Yang selalu beranggapan bahwa produk luar negeri lebih bagus, padahal faktanya tidak selalu benar. Tidak sedikit produk luar negeri yang bermasalah, seperti over promise dan tidak memiliki ijin edar di Indonesia," ujar Bernard. 

Terdengar ironis: jamu memiliki banyak manfaat, tapi eksistensi produk kecantikan luar negeri dan persepsi lokal tentang "produk luar pasti bagus", membuat jamu terkesan inferior. Lantas apa yang bisa dilakukan? Bernard mengatakan bahwa seluruh pihak harus berperan serta dalam isu ini. Pemerintah, misalnya, harus secara konsisten dan nyata mendorong dan mengkampanyekan secara Nasional Gerakan Cinta Jamu/Herbal Indonesia, sebagai bagian dari gerakan cinta dan bangga akan produk Indonesia. "Gerakan ini selayaknya terintegrasi lintas kementrian. Bapak presiden sendiri sebenarnya sudah mencanangkan gerakan ini. Namun, program dari kementerian nampaknya harus lebih digencarkan, termasuk melalui pariwisata, kesehatan, perdagangan, perindustrian, pendidikan, kepemudaan dan kebudayaan, karena hebal/jamu adalah warisan khas dunia," tuturnya. 

Selain itu, pastinya sebagai salah satu pelaku utama, perusahaan/ industri/ pelaku usaha selayaknya terus menciptakan produk herbal/jamu dengan inovasi dan research sehingga tercipta produk yang aman, berkhasiat dan kekinian, sesuai kebutuhan dan gaya hidup masyarakat sekarang. Bersatu padu memberantas jamu dan impor produk ilegal sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan khasiat herbal/jamu. Dan, pihak akademik/ peneliti pun harus ikut aktif dalam mendorong penelitian berbahan herbal/jamu Indonesia dan hasil penelitiannya dapat didedikasikan untuk masyarakat luas. Saat ini peran perguruan tinggi juga mulai nampak, seperti misalnya telah ada Magister Herbal (S2) di UI, yang diinisiasi bersama Martha Tilaar; berdiri sejak 2010. Beberapa universitas juga telah mulai membuka program mengenai Herbal Indonesia/Jamu, seperti UNAIR dan Gadjah Mada, di samping lembaga seperti BPPT, LIPI dan juga B2P2TOOT di Tawangmangu, serta Klinik Herbal di Kampoeng Djamoe Organik-Martha Tilaar di Cikarang.

"Dan pastinya masyarakat, agar mulai dari komunitas-komunitas membantu memberikan informasi dan edukasi, termasuk peran sosmed untuk memberikan informasi yang baik dan benar tentang manfaat jamu/herbal yang baik."