Mana yang Lebih Penting: Apa atau Bagaimana Memberi Anak Makan?

Mana yang Lebih Penting: Apa atau Bagaimana Memberi Anak Makan?
ISTOCK

BLW atau "metode pesawat mendarat"?

Mungkin, saat pertama kali mengetahuinya, kamu terkejut, terbelalak, dan menjatuhkan ponselmu, saat melihat video: seorang bayi bisa memilih makan sendiri (dengan tangannya, tanpa bantuan orang lain) dan makanannya pun padat dan utuh alias tidak dilumatkan (seperti makanan bayi pada umumnya). Contohnya, seperti metode Baby Led Weaning atau BLW yang popular di media sosial beberapa tahun belakangan. Seperti biasa, pro dan kontra bermunculan. Ada orangtua yang bilang bahwa metode tersebut harusnya sudah mereka ketahui jauh sebelum punya anak karena sangat membantu ritual jam makan anak tanpa harus saling mengejar—atau pura-pura ada pesawat meluncur dan mendarat di mulut (proses pendaratan yang bisa memakan waktu berjam-jam). Di sisi lain, ada pula yang berpikir itu bukanlah metode yang benar, tidak tepat sama sekali. Berbicara tentang metode memberikan anak makan, adakah istilah 'metode yang paling tepat'? 

Menurut dr. Caessar Pronocitro, Sp.A., MSc, seorang dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro Jaya, Banten, metode memberikan makan pada bayi adalah hak prerogatif masing-masing orangtua. "Perlu diingat, setiap anak adalah unik, dan tahap perkembangannya bervariasi. Jadi sulit untuk mengatakan suatu metode lebih sehat dari yang lain, karena bisa saja suatu metode sesuai untuk seseorang anak tapi kurang cocok untuk anak yang lain," ujarnya. 

Caessar melanjutkan, “yang bisa direkomendasikan oleh dokter anak atupun tenaga medis professional adalah metode yang dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada sebagian besar populasi bayi, berdasarkan penelitian skala besar yang melibatkan banyak bayi sebagai subyek, dan dilakukan dalam jangka panjang. Saat ini World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian makanan pendamping ASI dengan peningkatan tekstur yang bertahap, mulai dari makanan lunak, seperti puree.”

Apakah semua makanan yang diberikan harus disesuaikan dengan usia si bayi?

“Pemberian makanan tentu disesuaikan dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak, karena seiring dengan usia yang bertambah, bayi akan menguasai kemampuan-kemampuan baru. Misalnya saja menguyah, meraih makanan, dan memasukkannya ke dalam mulut. WHO merekomendasikan mulai dari usia delapan bulan bayi dapat diberikan makanan selingan berupa finger foods atau yang dapat diambil dan dimasukkan ke dalam mulut oleh bayi sendiri,” jelas Caessar. 

Untuk yang sudah menjadi orangtua, pasti paham makanan bayi tidak sama dengan makanan orang dewasa. Ada "aturan" dan jenis makanan yang sebaiknya para bayi/ anak konsumsi agar mereka mendapat nutrisi yang tepat dan maksimal. Apabila salah, bayi bisa saja terserang sakit, misalnya—pengalaman semalaman di ruang gawat darurat merupakan sesuatu yang tak satupun orangtua alami atau hadapi lebih dari satu kali. “Makanan yang diberikan tentu harus memiliki gizi yang berimbang, mengandung zat gizi makro, yakni karbohidrat, protein, dan lemak) dan mikr, yaitu vitamin dan mineral, seperti zat besi, seng, selenium, tembaga dan lainnya,” jelasnya. “Tidak ada satupun jenis makanan yang super atau mengandung berbagai zat gizi dengan lengkap. Maka, agar seluruh kebutuhan gizi bayi terpenuhi, makanan yang diberikan harus bervariasi,” sambungnya.

Caessar menyatakan bahwa di Indonesia, kekurangan zat gizi mikro yang paling banyak diderita oleh bayi adalah zat besi. FYI, sumber zat besi yang baik dan mudah diserap adalah dari daging merah atau hati. “Daging merah dan hati, idealnya diperkenalkan sejak awal pemberian makanan pendamping ASI. Selain itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia juga merekomendasikan pemberian suplementasi zat besi pada bayi dan anak. Orangtua dapat menanyakan kepada dokter anak mengenai hal ini,” sarannya.

Setelah mengetahui tentang metode pemberian makanan, dan makanan apa saja yang harus diberikan kepada bayi. Sebenarnya, dari kedua hal ini mana yang lebih penting sih, Dok?

“Tentu keduanya penting!” tegasnya. “Mengenai makanan yang diberikan harus bervariasi dan mengandung zat gizi. Tetapi cara pemberian pun perlu diperhatikan agar bayi memiliki kebiasaan makan yang baik. Kebiasaan makan yang kurang baik akan memiliki efek jangka panjang. Misalnya di kemudian hari anak tidak doyan makan, melakukan gerakan tutup mulut (GTM), atau sebaliknya makan berlebihan sehingga mengalami obesitas. Rekomendasi WHO menyebutkan pemberikan makan dengan cara responsive feeding, yakni memperhatikan tanda lapar dan kenyang dari bayi, secara perlahan dan tanpa memaksa, dengan penuh kasih sayang dan suasana menyenangkan, misalnya sambil mengajak bicara bayi dan dengan kontak mata,” jawab Caessar.

Berarti, apakah tren pemberian makanan padat alias BLW kepada bayi memang baik? 

“Sekali lagi, saya tegaskan, metode pemberian makan adalah hak prerogatif orangtua. Tetapi, tujuan dari pemberian makan adalah pemenuhan zat gizi untuk pertumbuhan bayi, serta sebagai stimulasi untuk perkembangannya. Apabila pemberian makan dilakukan tanpa menilai apakah bayi sudah mampu menjalani satu metode, akan ada beberapa resiko yang terjadi,” jawabnya. “Resiko yang pertama, bayi bisa mengalami kekurangan zat gizi, karena hanya mengambil jenis-jenis makanan tertentu yang menarik matanya, atau sekedar bermain-main dengan makanan tanpa benar-benar mengonsumsinya dalam jumlah cukup. Yang kedua, bayi bisa tersedak, karena tekstur makanan yang belum dapat dikonsumsinya. Maka orangtua perlu menilai dan mempertimbangkan banyak hal serta berkonsultasi dengan dokter anak sebelum memutuskan metode mana yang akan diterapkan,” Caessar menegaskan.