Audrey, Andra, Harumi: 'Yah Namanya Juga Manusia, Pasti Berjerawat'

Beauty
WOOP.ID/YOGO TRIYOGO

Interview 3 perempuan yang berbagi pengalaman dan jatuh bangun menerima jerawat dan cara mengatasinya

Mereka yang tidak pernah jerawatan mungkin tidak tahu, tapi sekarang akan tahu: jerawat itu mempengaruhimu lahir dan batin. Ini bukan perasaan dan sentimental perempuan saja lho—percayalah. Sebuah penelitian terbaru menyimpulkan bahwa jerawat bisa menyebabkan stres, yep stres. Jerawat itu serius, super serius. Tidak peduli itu besar atau kecil, kering atau basah, bernanah atau berdarah, satu bulan atau satu tahun—dampaknya signifikan. Oleh karena itu, Woop berbicara dengan tiga perempuan yang memiliki pengalaman dengan jerawat—dan sampai sekarang masih merasakannya. 

HARUMI SUDRAJAT

View this post on Instagram

A post shared by HARUMI (@harumips) on

"Segala cara sudah aku coba, gonta-ganti dokter, segala laser, dikletekin, minum obat, antibiotik dosis tinggi—sampai minum darah ular," tutur Harumi tentang metode penyembuhan kondisi jerawat yang sudah dialami sejak berumur 17 tahun. Namun perubahannya bisa dibilang nihil. Kondisi terparahnya adalah ketika hampir tidak sudut kosong di area wajah, "semuka jerawatnya," katanya sambil melingkari wajahnya dengan tangan kanan.

Menurut Harumi, baginya jerawat tidak terlalu mempengaruhi kepercayaan diri, tapi lebih "kepada jerawat ini menghambat gue dan kasarnya, passion yang paling gue cintai yakni makeup—dia [jerawat] menghambat banget!” tekannya. Pasalnya, dengan adanya jerawat dirinya tidak terlalu bisa bereksperimen dengan bebas, "kan dikit-dikit harus hapus, kasihan kulitnya, takut nggak nafas," paparnya. Padahal, di sisi lain, jerawat ini juga berperan sebagai penolongnya karena "bisa menutupi jerawat." Dan jika ada orang yang enggan keluar rumah karena minder dengan jerawatnya, "kalau aku lebih nggak mau keluar rumah karena aku nggak mau pake makeup. Kasihan kulitnya," tegasnya. "Jadi di situ sulitnya, sedangkan aku cinta banget sama makeup." 

Akhirnya karena merasa seperti berada di lingkaran setan, tidak sembuh-sembuh padahal sudah mencoba berbagai cara, Harumi melakukan riset (sesuatu yang menjadi bagian alami dari pekerjaannya sebagai beauty blogger) sendiri—baca artikel bertanggung jawab dan berkualitas, review, blogger, YouTube, berteman akrab dengan Google. Kesimpulannya, "akhirnya aku memutuskan untuk mengambil langkah untuk mengatasi masalahku dari SMA ini dengan mengubah gaya hidupku menjadi lebih sehat," tuturnya. 

Harumi mengubah gaya hidupnya secara total selama tiga bulan. Berhenti makan gula, memilih karbohidrat yang lebih bagus, dan ternyata, ini sangat mempengaruhi hormon aku yang bisa menyebabkan jerawat. Alhamdulillah selama tiga bulan itu aku sehat, minimalis banget," paparnya. Jika dihitung-hitung, Harumi sudah mengadopsi gaya hidup ini selama hampir satu tahun belakangan. Sampai sekarang, "aku nggak makan lagi processed food, misalkan kayak junk food atau fast food. Kalau pengen yang manis-manis, aku makan buah. Real food," tegasnya. 

Apakah Harumi menderita saat melakukan transformasi itu? "Nggak sih," jawabnya tegas. "Aku happy menjalaninya karena aku lihat ada result. Ada perubahan. Kayak misalnya aku mulai makan makanan yang tingkat gulanya tinggi, tapi nutrisinya sangat amat tinggi, kayak misalnya alpukat, kunyit. Aku bisa bilang itu kayak superfood buat aku. Dimana itu amat sangat mengubah kondisi kulit aku dari dalam," ujarnya. "Aku bisa bilang this is the happiest I've been with my skin for a very very long time," ujarnya dengan mata berbinar. 

"Dan jika pun ada jerawat muncul satu dua, aku udah tahu bahwa itu artinya aku mau dapet. Lagian, selama masih manusia pasti pernah jerawatan. Itu merupakan sesuatu yang common banget," ujarnya.

Puluhan tahun berjerawat, akhirnya menemukan solusinya. Apakah Harumi pernah berpikir seandainya bisa mengetahui hal tersebut dari awal?

"Pastinyalah," jawabnya lugas. "Namun ini membuat pengalaman ini valuable buat aku dan semakin menghargai apa yang sudah kucapai. Yang pasti, kalau kamu sudah jerawatan 10 tahun, nggak mungkin bisa sembuh dalam waktu sebulan dua bulan, minimal tiga bulan. Mungkin untuk yang levelnya masih level satu, bisa satu bulan, tapi jika sudah bertahun-tahun pasti lama. Jadi memang harus sabar, berkomitmen dan pasti ada hasilnya. Pasti akan berlalu—jerawatan ini hanyalah fase dalam hidup. Pasti ada akhirnya," tegasnya.

AUDREY TAPIHERU

View this post on Instagram

It’s been awhile since my last post. Guess i’m comin back for something exciting 💛

A post shared by Audrey Tapiheru (@tapiheruaudrey) on

Bayangkan jika wajah yang selama belasan tahun kamu banggakan... tiba-tiba berjerawat? Bukan cuma satu, tapi banyak. Bukan yang kecil-kecil dan imut, tapi yang bentuknya besar, agresif, dan sangat merah. Lupakan pantat bayi, ini adalah permukaan di Jalan Pantura. Susah—dan sebenarnya tidak mau membayangkan karena siapa sih, yang jerawatan! "Tidak ada orang di dunia ini yang ingin jerawatan," tegas Audrey Tapiheru. Namun, kondisi kulit tersebut terjadi pada dirinya—yang awalnya mulus, menjadi jerawatan.

Titik baliknya menurut Audrey adalah saat berusia 17 tahun, ketika dirinya dan grup vokalnya, Gamaliel Audrey Cantika (GAC), mulai rajin manggung di teleivisi. "Yah, mulai di-makeup, secara nggak ngerti makeup dong, jadi di-makeup aja," kenangnya. "Itu tiba-tiba entah emang brush-nya yang kotor atau yang nggak cocok, tiba-tiba muncullah itu semua jerawat di pipi dan aku langsung," katanya ekspresi terkejut, mata membesar, "ini musti gimana!" tuturnya dengan nada panik. Wajahnya yang pra-17 tahun "sehalus pantat bayi," menjadi "parah, parah banget, sih. [Jerawatnya] gede-gede banget. Bener-bener parah," tukasnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, hampir kehabisan kata-kata.

Terdengar sepele, tapi Audrey mengakui jerawat "bikin stres, sih." Komentar-komentar mulai bermunculan dari berbagai pihak—mulai dari labelnya bernaung, teman, sampai orangtua. Pertanyaannya, celetukannya kurang lebih sama: 'kok bisa jerawatan', 'kok jerawatnya gede banget', dan kok, kok, kok lainnya. "Awalnya, aku menjawab, 'iya nih, nggak tahu,'"—dengan manis, "tapi lama-lama, “yah, emang gue minta?'" dengan lebih ketus dan kesal. Untuk orang yang belum atau tidak pernah mengalami kondisi kulit ini pertanyaan-pertanyaan 'penuh perhatian' seperti itu terkesan dan terdengar tidak ada bahaya. Namun untuk berada dalam situasi tersebut, "Wuaaah," responnya dengan nada super serius.

"Terutama cewek sih, kayaknya, ya. Itu parah sih, entah kenapa kayaknya kalau orang melihat cewek berjerawat tuh, pasti akan berpikirannya, ‘ih dia nggak bersih, ya?’ Padahal, lo nggak tahu gue cuci muka udah kayak apaan?" tuturnya dengan nada meratap sambil memperagakan aksi membersihkan wajah dengan semangat. meratap. "Itu satu, masalah kebersihan, pasti orang ngeliatnya gimana gitu. Terus, juga ngaruh ke kecantikan. Mau mukanya secantik apa, kalau mukanya jerawatan, pasti banyak orang kayak agak...," sambil melirik dengan sinis. "Itu benar-benar mempengaruhi kepercayaan diri. Apalagi aku penyanyi gitu ya, kayak sering banget gitu ketemu orang yang menyampaikan rasa 'kekhawatiran mereka kok-jerawatan-sih-dengan histeris'. Aku cuma [bilang], ‘nggak tahu,'" tuturnya dengan singkat sambil mengangkat bahu. "Tanya deh, sama itu jerawat kenapa pada nempel di muka gue." 

Apakah Audrey kesal dengan komentar 'kok, kok, kok' itu? "Kesel pasti iya, tapi lebih ke sedih kali, ya," ujarnya dengan nada merenung. Berangkat dari perasaan sedikit kesal dan lebih banyak sedih, suatu saat akhirnya Audrey memutuskan untuk membuat Instastory dan di video singkat tersebut, "aku bilang: nggak mungkin ada orang yang mau jerawatan basically. Jadi kalaupun punya teman yang jerawatan, kalau emang kalian care, eh.. mendingan nggak usah dibahas. Kayak nggak usah ‘kok lo jerawatan, sih’. Nggak usah, biarin aja. Nggak usah dibahas. Kecuali kalau lo ada masukan, untuk nyembuhin jerawat kita. Jangan yang justru malah menjatuhkan kita. Karena nggak perlu lo jatuhin kita, karena kita udah jatuh kok. Kasarnya gitu. Setiap pagi kita melihat muka kita di kaca, pasti kita udah yang kayak...," ujarnya dengan ekspresi sedih dan putus asa.

Meraih ponselnya, Audrey memperlihatkan "kondisi terparah yang pernah aku alami." Jerawatnya besar, berisi, merah dan menghiasi sudut wajahnya. "Aku pernah nangis gitu pas mau tidur dan berdoa, ‘ya Tuhan Ody, kok capek banget ya, harus tiap hari dandan untuk nutupin jerawat. Udah ngobatin tapi obatnya nggak ampuh-ampuh. Kayak salah lagi, salah lagi, udah ngeluarin duit, salah mulu'. Sampai melankolis itu, sih," tegasnya. Dan sensitif. Seringkali ketika sedang mencuci wajah dan ibunya ada di belakangnya, "aku langsung bilang 'mama, ngapain?' Soalnya pikiranku udah negatif, curiga, bakal dikomentarin yang aneh-aneh. Padahal mamaku nggak ngapa-ngapain," ujarnya sambil memutar bola mata. "Jadi, jika ada yang bilang, 'masak sih, jerawat sampai bikin lo bisa nangis?’ BISA. BISA BANGET," tegasnya. 

Kemungkinan kamu penasaran: apakah Audrey pernah ke dokter untuk mengobatinya? "Pernah, ke sebuah klinik kecantikan," ujarnya sambil menyebutkan sebuah nama klinik kecantikan bertaraf nasional. Hasilnya, wajahnya memang mulus, tapi "wajahku jadi putih dan tidak sama dengan leher. Jadi seperti kayak pakai topeng. Dan aku memang nggak mau putih," tegasnya, bangga dengan warna kulit aslinya. Namun, karena ingin bebas dari jerawat-jerawat itu Audrey berusaha bertahan selama dua sampai tiga tahun sampai mulus. Lalu, "aku berpikir 'bisa nggak ya, lepas dari ini? Karena [aku] pengen jadi kayak orang normal yang bisa cuci muka pake facial wash biasa aja," ujarnya dengan nada penuh mimpi. Audrey memutuskan stop, tapi seperti yang seringkali dialami orang lain, "mukaku langsung break out parah!" katanya dengan nada terkejut. "Dan juga berubah kering, 'hah muka gue yang seberminyak ini bisa kering?'"—akhirnya memutuskan balik lagi ke klinik tesebut. Namun, cuma bertahan beberapa bulan, lalu pelan-pelan memutuskan untuk lepas dan karena salah seorang temannya menganjurkan sebuah merek yang bisa kamu temuin di Alfamart, "dari situ sampai sekarang aku pakai produk itu," bocornya. "Produknya murah, tapi entah kenapa mukaku memang cocoknya sama yang murah, pakai yang mahal kok kayaknya nggak ada ngaruhnya, ya?" Audrey terkekeh sambil menyebutkan sebuah merek yang biasanya berharga nyaris jutaan. 

"Emang masalah cocok-cocok 'kan sih, kita nggak tahu, ya. Makanya, aku tadi suka ngikutin orang, dia pakai skincare apa, tapi belum tentu work di kulit kita kan. Emang musti nyobain, dan mesti baca banget sebanyak mungkin. Makanya aku juga jarang kasih rekomendasi produk, takutnya nggak valid untuk semua orang" ujarnya penuh tekanan dan motivasi. Baca review, cek apakah produk tersebut diuji cobakan oleh orang lain. "Makanya aku sebenarnya senang banget dengan beauty blogger, lumayan membantu. Walaupun aku jarang, tapi untuk case tertentu perlu sih, bacain punya mereka," aku Audrey walau mengaku membutuhkan waktu beberapa hari untuk akhirnya mencoba sebuah produk tertentu. 

"Eh, aku juga pernah suntik jerawat," tambahnya. "Itu karena bener-bener banyak dan besar-besar, kayak ‘gue nggak ngerti lagi harus gimana. Besok gue mau nyanyi!'" tuturnya histeris dan panik. Audrey menjalani ini sejak Agustus 2016, "bisa kayak sebulan dua kali suntik—tergantung kondisi muka aku," tuturnya. Dan terakhir kali suntik itu? Melihat ponselnya, mengutak-atik Whatsapp, lalu, "terakhir 23 Oktober 2017! " serunya sambil memperlihatkan layar ponselnya dengan nada bahagia dan bangga yang tidak bisa disembunyikan. Dengan mata berbinar, "berarti udah lama 'kan? Ih, proud," ucapnya terharu sambil menyentuh dada. "Senang juga gue." 

Ada masa-masa anti kaca? Tertawa, "masa-masa nggak mau lihat kaca nggak ada, tapi nggak mau ketemu orang-orang tertentu, ada," katanya denga tegas. Orang-orang yang aku tahu bakal komentarin tentang jerawat aku."

Ini baik-baik aja, ada jerawat sih (sambil menunjuk wajahnya) karena aku baru selesai dapet. Dan jerawat ini adalah salah satu pertanda kalau aku mau dapat.

Dari pihak luar, celetukan tersebut sepertinya tidak berbahaya—atau bisa jadi merupakan bentuk perhatian. "Udah dong stop ditanyain, karena jerawat kadang kalau kita banyak pikiran, kalau kita stres juga, malah jadi lebih parah," tukasnya memohan simpati. “Emang gue minta apa, jerawat?” ujarnya dengan nada emosional. "Kayak, 'bisa nggak sih, nggak ngurusin muka gue'. Kayak aku pun lagi struggling untuk menghapuskan itu, tapi nggak gampang," ujarnya sambil tertawa miris. 

Untuk sekarang Audrey memilih untuk dandan sendiri saat mau manggung, "kecuali memasangkan bulu mata palsu, karena aku nggak terbiasa," ujarnya terkekeh. Lebih cuek, "lebih ya, sudahlah," dan tetap menekuni merawat wajahnya dengan pembersih wajah dan toner dan sesekali maskeran. "Sekarang aku lebih santai, karena aku sadar bahwa ini kondisi wajahku, berminyak dan acne prone. Akan ada momen dimana aku jerawatan—biasanya kalau lagi mau dapet atau makan telur puyuh!— dan saat aku baik-baik aja—seperti hari ini. Itu mungkin juga karena aku sudah menemukan beberapa andalan aku kali, ya. Kalau misalnya aku mulai ada jerawatan yang ada matanya, aku pake plester yang buat jerawat," ujarnya menyebut sebuah merek. 

Sikap tersebut tidak datang dengan gampang atau cepat, "butuh tahunan," kata perempuan berusia 25 tahun ini. "Sekarang aku mungkin mikirnya, mau kita terima nggak terima, dia akan tetap hadir, setiap bulannya. Jadi daripada kita selalu sedih yang juga tidak akan membuatnya sembuh juga, jadi mendingan kayak, ‘yah udah, emang gue jerawatan. Yah udah, happy happy ajalah,'" sarannya. 

"Dan aku juga ingin memotivasi orang yang nggak berjerawat juga yah, untuk stop mengurusi orang atau teman lo yang berjerawat dengan hal-hal yang tidak membantu, tapi justru membuat kita malah makin sedih atau makin kepikiran. Kecuali lo punya saran atau rekomendasi," kata Audrey. 

"Seperti tadi yang aku bilang, orang jerawatan itu nggak perlu diingatin kalau dia jerawatan—kita udah tahu, tiap hari kita tahu," repetnya. "Coba bayangin hidup kita sesulit apa, dan bagian mereka cuma menahan mulut untuk tidak ngomong ‘kok jerawat lo gede banget?’ Gampang, dong?" Audrey berujar dengan tegas. "Sedangkan kita yang berjerawat ini, semisalkan diomongin apa, kita harus sabar, terus setelah mendengar itu kita harus browsing lagi, nyari obat muka. Obat jerawat. Atau misalkan ke dokter. Itu 'kan kayak ‘nggak kasihan apa sama kita?’" ujarnya dengan nada mengiba. "Intinya, yang harus digarisbawahi adalah nggak mungkin ada orang yang mau jerawatan. Udah, itu aja," tukasnya tegas dan final. "Sesimpel itu.Dan untuk yang berjerawat, "banyak-banyakin berdoa supaya lebih sabar menghadapi orang-orang yang ‘terlalu perhatian’ terhadap jerawat kita," sarannya seraya tersenyum lebar. 

"Dan kalaupun akhirnya jerawatnya tidak kunjung sembuh, yah udah," katanya sambil mengangkat bahu. "Setiap orang itu punya masalah wajah masing-masing. Daan, sebenarnya nggak ada orang jelek. Menurut aku sih, kecantikan itu akan muncul dari dalam, walaupun appearance pasti ngaruh, cuma kalau pribadinya menyenangkan mau dia senggak menarik itu mukanya, fisiknya, tetap saja orang akan senang aja gitu ada di sekitar dia. Sedangkan," tekannya,  "orang secantik apapun jika kepribadiannya kurang, yah malasnya aja. Mau secantik dan semulus apa mukanya, mau seterkenal apa—menurut aku sih, lebih pentng hati sih, kepribadian dan karakter

ANDRA ALODITA

Untuk yang sedang mempersiapkan pernikahan pusing, emosi, dan stres merupakan hal yang lumrah. Sekarang, tambahkan jerawat. Tadinya wajahmu bukanlah sebuah hal yang harus dipikirkan (kecuali satu minggu menjelang hari H dan ke salon)—tapi mendadak menjadi salah satu sumber masalah; penyebabnya: jerawat yang bermunculan beberapa bulan sebelum hari berbahagia itu terjadi. Menurutmu, apa yang akan terjadi?

"Itu stres, sih, karena jerawatnya parah banget," ujar Andra Alodita mengenang 'musibah' yang menimpanya di tahun 2011. "Itu kayak dari sini," jelas blogger kecantikan ini sambil menunjuk wajah bagian kanannya dari daerah pelipis, "sampai ke leher-leher gitu, parah banget. Parah banget, sampai separah itu,” ujarnya berulang-ulang. "Kayak sekarang jerawatnya mungkin cuma satu dua, tapi udah. Tapi pas waktu itu terparah sih seumur hidup aku, aku stres mau nikah, segala macam. Mungkin karena waktu itu masih umur 25, sedang ganti hormon atau apalah," tuturnya berusaha mencari penjelasan di balik penampakan misterius jerawat-jerawat tersebut.

Pra-25 tahun, Andra tidak memiliki masalah dengan kulitnya, "kulit badak," tukasnya tertawa geli. Tidak perlu dirawat, tidak pakai produk apapun, "nggak masalah." Namun, menjelang menikah dan selama enam bulan, jerawat-jerawat merah, radang, dan gatal itu menjadi bagian tetap wajahnya. "Mukaku kayak bukit-bukit," ujarnya sambil menggerakkan tangannya naik turun seperti lika-liku fisik daerah perbukitan.

"Itu lumayan stres, sih karena pertama aku stres ngeliat kaca, ‘kok gue bisa begini, ya'. Awalnya Mama yang nanya, 'Andra kenapa?' Terus akhirnya semua orang sih, mulai nanya, kek ketemu orang di mal, mau cipika, cipiki, langsung nanya, ‘kenapa kok mukanya jadi jerawatan?’" ujarnya menirukan nada asertif. "Yang pertama ditanya itu, fisik banget!” tekannya dengan nada heran. "Perubahan-perubahan fisik. Di situlah aku kayak yang apa, ya," ujarnya sambil meringis.

Ah, komentar. Lidah memang tidak bertulang. Semakin sulit untuk menahan diri karena wajah letaknya persis di depan. 

"Iya yah, kelihatan banget,” aku Andra paham. "Tapi jerawat itu memang beda, sih. Pertama, dilihatin orang, kedua ditanyain orang, terus ketiga nggak enak mau cipika, cipiki ‘kan? Kayak takut apa, ya...,“ ujarnya sambil mencari istilah yang tepat, “yah pokoknya gitulah, jadi kayak banyak pertimbangannya. 'Mereka terganggu nggak, ya'? Kalau aku pribadi sih, kalau ada teman yang lagi jerawatan bahkan sampai meradang, aku nggak masalah,” tegasnya dengan ringan. “Karena menurut aku itu bukan penyakit menular kok."

Datang dari seseorang yang pernah mengalami stres naik turun selama enam bulan akibat jerawat, Andra mengerti jika ada orang yang malu, kita tuh kayak apa, ya? Kayak...," terdiam sebentar, "kayak kurang percaya diri gitu," lanjutnya. "Jadi kayak misalnya ketemu 10 orang, dan ada 3 orang yang komentar tentang fisik, itu kita pasti terpengaruh banget dengan 3 komentar itu."

Apakah kamu seperti itu? "Oh, iyaalaaah,” responnya tanpa ragu. “Apalagi semua orang nanyain kok.” Apalagi, Andra mengaku bahwa dulu level percaya dirinya "tidak sekebal sekarang. Jadinya kalau ada yang komentar, makin stres," ucapnya dengan nada sedikit tinggi. "Jadi nggak ada solusinya! Haha," ujarnya seraya tertawa.

Dokter didatangi, "tapi nggak ada perubahan signifikan." Akhirnya ketemu teman yang menyarankan sebuah produk dan cocok sampai sekarang. Akhirnya, jerawatnya mulai berkurang drastis sebelum pesta pernikahan. Plus, satu yang tidak kalah pentingnya adalah waktu itu Andra memutuskan membenahi gaya hidup. "Ini ngaruh banget sih, buat aku supaya kulit tetap sehat. Aku jaga makan, makan sayur yang banyak, buah pas sarapan, jaga tidur, nggak boleh begadang, harus lahraga, itu untuk me-maintain kesehatan dan . Kalau kemarin abis makan gorengan atau nasi Padang, besoknya aku detoks misalnya dengan minum air lemon. Jadi mencoba lebih seimbang karena kepala tiga metabolismenya juga beda yaah," ujarnya terkekeh, "udah bukan abg lagi. Sadar diri aja, ya? Hahaha…." Meskipun menurutnya, rutinitas perawatan kulitnya tidak ribet: micellar water, sabun cuci muka biasa "murah dan meriah," katanya tanpa ragu, plus tabir surya setiap pagi.

Namun, Andra menyadari salah satu tantangan signifikan orang berjerawatan tujuh tahun yang lalu dengan sekarang: media sosial.

"Kalau diurut-urut jaman dulu 'kan nggak ada Instagram, ya," tukasnya menghela nafas. "Kalau sekarang ngeliat mama-mama lain, dan berpikir, ‘aduh kece banget sih, mukanya nggak berjerawat’. Atau 'aku hamil, aku berjerawat, dia kok nggak?' Gitu lho, selalu ada perbandingan karena si sosial media ini," Andra berpendapat. "Karena mengonsumsi sosial media terlalu banyak, jadi di kepala sendiri ‘kok aku nggak mulus, jerawat aku banyak’, mulai hopeless, mulai bingung. Terus, ada yang orang yang berada di tahap masih mau mencoba, nggak mau berhenti. Tapi ada juga yang hopeless yang ‘ah, gue udah ngeluarin uang segini, segala macam, kok nggak berhasil-hasil’. Tapi aku ngerti sih, perasaan itu karena aku mengalaminya. Pakai pakai obat dokter, trus kulitnya dikletek, panas, tapi nggak berubah-ubah. Hopeless, pastinya," tuturnya berempati. 

Ada orang yang mengalami masalah jerawat bertahun-tahun, ada yang hanya beberapa bulan. Namun jika membicarakan kondisi kulit satu ini hitungan besaran waktu—irelavan. "Tetap aja rasanya lama banget walau 'cuma' enam bulan'!" akunya. "Makanya ingat sampai sekarang," ujarnya dengan semangat. "Karena secara psikologis aku nggak pede, ada masa-masa dimana semua orang tuh kayak ngeliatin jerawat aku, bukan aku," tuturnya dengan nada sedih.

Andra menceritakan hal lain: suaminya pernah jerawatan dan juga sedikit stres karena hal tersebut. "Ternyata nggak cewek, cowok juga ya. Dia sampai yang stres dan bingung mau pake," kenangnya. Namun menurut Andra tetap saja seperti ada perbedaan. "Kalau cowok mungkin dikomentarin tapi yah sudahlah," ujarnya sambil mengangkat bahu. "Tapi kalau cewek tuh, kayak ada stigma masyarakat tertentu gitu, padahal 'kan yah… terserah dialah,” kembali mengangkat bahunya beberapa kali, “nggak papa juga kalau jerawatan," tegasnya. 

Dari pengalaman "seumur jagung itu" jika dibandingkan dengan orang lain, Andra berpendapat bahwa hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah, "berdamai dengan diri sendiri," tukasnya lugas. "Memang susah, tapi kita harus berusaha, tetap positif. Bukan hanya tentang jerawat, tapi masalah-masalah lain yang berhubungan dengan fisik, kita harus berdamai dengan diri sendiri," ulangnya penuh penekanan. 

"Harus punya mindset bahwa ini akan berubah, ini akan lewat, nggak selamanya kok jerawatan ampe kakek nenek, itu nggak deh, kayaknya," ujarnya yakin. "Mungkin juga jangan banding-bandingkan diri sama orang kali ya, karena 'kan badan kita beda, background kita beda sama orang. Jerawat itu bisa karena banyak hal, hormonlah, fisiklah, pikiranlah, tapi menurut aku mindset- nya harus diubah. Fokus, energi kita jangan hanya dihabiskan untuk memikirkan—yah memang mengganggu, tapi jangan terus terusan gitu," sarannya. "Karena, ehm… kayak di dunia ini 'kan ada hukum tarik menarik ya, giliran kita terlalu fokus dengan jerawat kita, orang-orang akan nanya jerawat ke kita. Sedangkan kalau kita nggak fokus ke situ, orang-orang nggak akan nanya jerawat kita," tukasnya penuh keyakinan. Ganti mindset lebih positif sehingga keluarnya juga positif. Aku mencoba begitu dan alhamdullilah akhirnya ketemu sama orang yang energinya positif juga—yang satu levelnya dengan aku," ujarnya berbagi pengalaman. 

Dan berbicara tentang membandingkan, jika ada yang bertanya 'ih, kok jerawatnya nggak berbekas ya, Ndra? Kok bisa? "Aku nggak tahu sih, kenapa bisa begitu," jawabnya seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Cuma pasti ada kalau iseng-iseng mencet , pasti ada bekasnya. Kalau ini karena ketutupan bedak aja kali, ya," ujarnya sambil menyentuh pipi kanannya. "Yah, namanya manusia—ada sih, yang mukanya kayak porselen, tapi itu perawatannya 'kan udah yang plus plus. Hahaha," ujarnya tertawa geli. "Kalau menurut aku sih, kulitku sudah sehat, akunya happy, dan nggak kurang tidur, aku sudah puas, sih," tegasnya.