Adakah yang Namanya 'Overdosis Kardio' dan Berbahayakah bagi Kesehatan?

Adakah yang Namanya Overdosis Kardio dan Berbahayakah bagi Kesehatan?
ISTOCK

Jika kamu hanya punya waktu untuk membaca satu artikel hari ini: baca ini.

Oleh karena belum ada teknologi yang memungkinkan memiliki perut rata seperti milik Emily Ratajkowski dalam semalam, sehingga—sampai waktu itu tiba—yang bisa kita lakukan adalah berusaha dan berusaha. Berusaha: serajin mungkin mengunjungi gim (meskipun sebenarnya kita benci tempat itu) dan berlari berjam-jam di atas treadmill, sampai jantung seperti mau meloncat dari kerongkongan. Namun sebenarnya apakah yang kita lakukan itu—kardio berjam-jam sampai-sampai melewatkan jam gaul—benar? Mungkinkah kita mengalami, ehm... yang namanya OD (overdosis) kardio?

"Sangat mungkin, apalagi sekarang ini banyak sekali penggiat olahraga mengganggap kalau untuk menurunkan berat badan itu harus dengan kardio," kata Suranta Pramata Ginting, M.Kes, Fitness Program Director APKIkepada WOOP.

Kukuh Pambuka Putra, S.Or., M.Kes, dosen kesehatan dari Fakultas  Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana, Jawa Tengah, juga memberikan pendapat yang senada. "Meski, tidak ada rumus yang mengatakan bagaimana cardio yang overdosis tersebut. Akan tetapi bisa dilihat dari kadar air keringat yang keluar dan bisa saja mengalami kram otot semisal naik betis karena sekarang ini mindset orang-orang kalau kardio itu dengan berlari baik jogging ataupun treadmill," kata Kukuh. 

Kedua ahli berpendapat bahwa overdosis latihan kardio merujuk pada pembebanan sistem kardiovaskuler yang berlebihan. Pembebanan kardiovaskuler dapat diketahui dari intensitas aktivitas fisik dan dapat diukur dari frekuensi denyut jantung.

"Seseorang dikatakan overdosis jika aktivitas fisik yang dilakukan melebihi kemampuan kardiovaskulernya. Kemampuan sistem kardiovaskuler setiap orang berbeda tergantung dari kebiasaan olahraga yang dilakukan sehingga untuk mencapai status overdosis juga berbeda pula," kata Suranta. Sebagai contoh pada orang yang sedenter (tidak pernah/sangat jarang berolahraga), maka mungkin latihan dengan intensitas 50% sudah merupakan overdosis bagi orang tersebut, sedangkan pada individu yang telah rutin latihan kardio, maka gejala overdosis baru dirasakan setelah mencapai intensitas 80% ke atas.

Seperti apa gejala-gejala yang bisa dirasakan? 

"Dalam fisiologi ada konsep 'supply and demand,'" jelas Kukuh. "Demand (kebutuhan) yang dimaksud," lanjutnya, "seperti kebutuhan nutrisi dan oksigen untuk melakukan metabolisme. Kebutuhan akan meningkat jika seseorang meningkatkan intensitas aktivitas fisiknya, sehingga untuk mencukupi kebutuhan tersebut organ-organ yang bertugas dalam mekanisme supply juga meningkatkan kerjanya. Sistem kardiorespirasi (jantung, pembuluh darah dan sistem pernafasan) merupakan sistem yang berperan dalam mekanisme supply." 

Suranta menyambung bahwa overdosis kardio terjadi jika sistem supply tidak mampu mengimbangi tingginya kebutuhan tubuh, sehingga akan terjadi kekurangan oksigen di beberapa bagian tubuh yang bekerja sangat keras (dalam kondisi ini didapati jantung berdenyut sangat cepat). "Kekurangan oksigen seketika akan menimbulkan beberapa gejala umumnya pusing, berkunang-kunang, mual/muntah. Terdapat studi yang menyebutkan bahwa overdosis kardio dalam jangka waktu lama berhubungan dengan kejadian fibrilasi atrium (salah satu jenis aritmia jantung) hingga miokardiopati [penyakit dimana otot jantung menjadi lemah, longgar, atau masalah struktur lainnya]," jelasnya. 

Seram? Tunggu dulu. Baca lagi ini, terutama para pembaca perempuan. Dari beberapa artikel yang WOOP baca katanya kelebihan kardio juga bisa menganggu siklus menstruasi benarkah? "Ya benar sekali," kata Kukuh. "Bukan hanya saja dengan latihan kardio akan tetapi semua jenis latihan jika berlebihan dilakukan akan mengganggu kerja hormonal (GnRH) pada perempuan sehingga menyebabkan siklus menstruasi terganggu. Saat ini kebanyakan perempuan sering memaksakan diri untuk berolahraga demi target tertentu dan menginginkannya secara instan. Jadi pada pagi hari semisal mengikuti Zumba kemudian sorenya ikut circuit training, dll. Dimana tubuhnya belum tentu bisa adaptasi dengan latihan yang berat tersebut apalagi asupan energi tidak tercukupi," tutur Kukuh. 

Nah, target tersebut: salah satunya yang paling jamak adalah menurunkan berat badan. Sejujurnya, banyak terobsesi dengan hal ini sehingga ber-kardio ria berjam-jam di atas treadmill.

"Jika tujuan latihan adalah menurunkan berat badan (kadar lemak tubuh) maka berusaha mencapai intensitas tinggi bukan merupakan latihan yang tepat. Karena untuk mencapai intensitas tinggi diperlukan lebih dari sekedar berlari atau mengayuh sepeda, namun juga diperlukan adanya daya ledak otot di mana otot melakukan kontraksi cepat dan kuat," tambah Suranta. Dia menjelaskan bahwa kontraksi cepat dan kuat menyebabkan terjadinya metabolisme glukosa secara anaerob (anaerob glikolisis) dengan menghasilkan asam laktat, sehingga pada olahraga intensitas tinggi umumnya terdapat bagian yang perlahan akan terasa nyeri dan lemas, nyeri tersebut karena adanya asam laktat dalam jumlah besar di bagian tersebut (oleh karena bersifat asam). "Oleh karena bukan lemak yang termetabolisme melainkan glukosa, sehingga latihan hingga intensitas tinggi bahkan overdosis bukan latihan yang tepat jika tujuannya adalah menurunkan kadar lemak tubuh," tegasnya. 

Mari menarik nafas sebentar karena sejujurnya informasi ini—"intensitasnya" terlalu tinggi dengan istilah-istilah dan level krusialnya bagi pencinta olahraga—butuh waktu untuk dicerna dan dimengerti. 

Ok, jadi untuk menghindari kondisi tersebut, sebenarnya seberapa sering sebaiknya kita melakukan kardio dalam seminggu? Atau, atau lebih tepatnya, satu kali kunjungan, berapa durasi yang aman?

"Tergantung dari tujuan latihan," jawab Kukuh. "Jika hanya ingin menjaga kebugaran kardiorespirasi, latihan kardio 2x seminggu dan 30 menit per sesi sudah cukup. Jika ingin meningkatkan kebugaran, maka perlu latihan hingga mencapai intensitas tertentu—biasanya di atas kemampuan kamu saat ini."

Menurutnya, waktu bisa bervariasi tergantung model latihan yang digunakan. "Jadi jangan menggunakan acuan pada waktu," sarannya.