Biografi Kartini, Pejuang Emansipasi Wanita Indonesia

Biografi dan Fakta Menarik Kartini
Kartini

Jasa Kartini untuk wanita Indonesa tentunya sangat berharga. Berikut riwayat hidup singkat dari pahlawan nasional Indonesia tersebut.

Jasa Kartini dalam memperjuangkan hak wanita Indonesia tentunya tak bisa dilupakan begitu saja. Di usianya yang muda, Kartini tak pernah lelah menyuarakan kepedulian dan kekhawatirannya atas kehidupan wanita Indonesia di masal lalu.

Kini berselang lama setelah kematiannya, nama Kartini akan terus dikenang sebagai pejuang emansipasi Indonesia. Menilik kehidupannya secara singkat, ini dia riwayat hidup Kartini yang perlu kamu ketahui!

Biografi Kartini, Pejuang Emansipasi Wanita

Ibunya bukan keluarga bangsawan

Kartini dan Keluarga
Kartini dan Keluarga

Ayah Kartini merupakan seorang Wedana (kepala wilayah administrasi kepemerintahan di antara kabupaten dan kecamatan). Berdasarkan kebijakan pemerintah Belanda, jika ingin menjadi bupati, maka ayah Kartini harus menikah dengan keturunan priyayi juga.

Sementara ibu kandung Kartini, M. A. Ngasirah hanyalah orang biasa. Ibunya merupakan anak dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, yang merupakan guru agama di Telukawur, Jepara. Sedangkan sang ayah masih berada di garis keturunan Hamengkubuwono VI.

Karena situasi keluarga yang seperti itu, ayah Kartini pun memutuskan untuk menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Surat-menyurat dengan sahabatnya di Belanda

Lahir sebagai anak keluarga bangsawan membuat Kartini mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hingga usianya 12 tahun. Berkat pendidikannya tersebut, Kartini mampu mengusai Bahasa Belanda dengan mahir.

Karena hal itulah, sejak ia dipingit di rumah, Kartini tetap belajar dan berkirim surat kepada teman-teman korespondensinya dari Belanda, seperti Rosa Abendanon dan Estelle "Stella" Zeehandelaar. Bahkan, beberapa kali tulisan Kartini dimuat dalam majalah De Hollandsche Lelie.

Kartini mulai tertarik dengan cara berpikir wanita-wanita Eropa berkat buku, majalah, dan surat kabar Eropa yang sering ia baca. Menurutnya, wanita Eropa punya cara berpikir yang lebih bebas dan maju dibanding wanita pribumi kala itu. Dari sanalah, timbul keinginannya untuk memajukan para perempuan pribumi yang dinilai masih memiliki tingkat sosial rendah.

Baca juga: Dian Sastro, Pegiat Seni Sekaligus Aktivis Dunia Pendidikan

Memperjuangkan emansipasi wanita

Kartini
Kartini

Aktivitas surat-menyurat menjadi senjata perjuangan Kartini, di mana ia menuliskan keluhan-keluhan tentang kehidupan wanita pribumi, khususnya Jawa yang sulit maju.

Salah satunya seperti kebiasaan wanita harus dipingit, tidak bebas menuntut ilmu, dan juga adat yang mengekang kebebasan perempuan. Kartini menginginkan emansipasi, yaitu agar seorang perempuan bisa memperoleh kebebasan dan kesetaraan baik dalam kehidupan maupun di mata hukum.

Menginjak usia 20 tahun, daya pikirnya pun kian matang dan kritis. Kartini membaca buku-buku karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis, yang semuanya menggunakan bahasa Belanda.

Baca juga: Biografi Rossa, Diva Indonesia dengan Prestasi Mendunia

Mati di usia muda

Kartini dan Suami
Kartini dan Suami

Pada usia 24 tahun, ia diminta orangtuanya untuk menikah. Kartini menyetujui dan menikah dengan K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, pada 12 November 1903. Suaminya adalah Bupati Rembang yang telah memiliki tiga istri.

Meski sudah menikah, Kartini tetap bersemangat meneruskan perjuangannya untuk menjadi guru dan mendirikan sekolah. Keinginan tersebut pun disambut baik suaminya, Kartini memperoleh kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.