Ini Sebenarnya Kenapa: Sudah Berolahraga Tapi Tidak Ada yang Berubah

Life
ISTOCK

Diet terlalu ketat? Coba baca penjelasan panjang-kali-lebar-kali-tinggi dari ahlinya. 

Hidup sehat itu sulit. Jika ada yang mengatakan sebaliknya, kemungkinan besar mereka belum pernah merasakan enaknya Indomie rasa soto, atau martabak rasa keju susu—atau membohongi diri sendiri. Belum lagi, dari sisi sejarah evolusi, insting untuk melahap makanan tinggi kalori sudah tertanam di gen manusia. Teori ini disebut'gorging gene' dan kebenarannya diterima oleh banyak kalangan. Seorang nenek moyang kita 30.000 tahun yang lalu ketika menemukan sebuah buah matang, akan buru-buru melahapnya sampai habis di tempat (yep) sebelum direbut oleh seekor babon. Dengan kata lain, obsesi kita terhadap segala yang manis memang sudah dari sononya. Namun, tentu saja kita tetap ingin hidup sehat, dan hey... salut untuk kamu. 

Hidup sehat itu sulit. Mengurangi berat badan? Lebih mati-matian lagi. Olahraga? Cek. Makan sehat (sepertinya, seingat saya, kayaknya, terlalu malah)... cek. Namun mengapa seperti tidak ada yang berubah? 

"Sebelum kita mengetahui tujuan olahraga sebaiknya kita paham dahulu pengertian apa itu olahraga," kata Andri Suyoko, S.Pd., M.Kes, seorang profesional personal dan group trainer, Certified Fitness Trainer APKI, guru, dan dosen tamu di beberapa universitas swasta di Surabaya. "Apakah berjalan, menyapu, mengucek baju sudah termasuk olahraga?" tanyanya. Hmm... ada yang bilang sih, iya.

Menurutnya, aktivitas fisik yang kita lakukan bisa dibagi menjadi dua yaitu aktivitas fisik sesaat dan aktivitas fisik berulang. Jenis kedua, yang berulang dan terukur serta teratur disebut olahraga. "Nah olahraga inilah yang akan berpengaruh terhadap kesehatan dan kebugaran kita. Jika olahraga yang dilakukan dengan baik dan benar, terprogram sesuai prinsip-prinsip latihan tentunya akan membuat tubuh kita semakin sehat dan bugar," ujarnya. Sebaliknya, apabila olahraganya dilakukan tidak  sesuai juga bisa membuat kesehatan kita akan menurun, cedera dan bahkan hal paling buruk bisa terjadi kematian karena olahraga. 

Andri menjelaskan bahwa ada tujuan berolahraga ada bermacam-macam, misalnya olahraga rekreasi (berolahraga sebagai sarana untuk bersenang-senang, atau hobi) dan olahraga kesehatan (berolahraga sebagai sarana preventif terhadap suatu penyakit, sebagai rehabilitasi atau penyembuhan pasca cidera/operasi, sebagai obat untuk mendukung penyembuhan suatu penyakit seperti diabetes, jantung dll).

Apa sebenarnya yang terjadi ketika berolahraga, sampai-sampai mendukung penyembuhan penyakit-penyakit seperti yang disebutkan di atas?

Mari mengingat lagi pelajaran olahraga yang (mungkin) pernah diberikan saat sekolah dulu. Jadi, saat kita berolahraga otot-otot pada tubuh kita akan berkontraksi. Kontraksi terjadi karena ada perintah dari otak, tepatnya dari korteks motorik utama, yang mengirim impuls atau perintah ke batang otak kemudian sampai di medula spinalis atau sumsum tulang belakang yang lalu akan mengirim perintah ke saraf motorik yang membuat otot kita berkontraksi. Ketika otot kita  berkontraksi, akibatnya kebutuhan energi pada tubuh meningkat. Sehingga sirkulasi aktivitas paru dan jantung akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang diikat oleh sel darah merah kemudian dialirkan ke seluruh tubuh sebagai energi kontraksi otot yang terjadi.

Wah, panjang ya. Rasanya seperti berolahraga—paling tidak olahraga otak. 

"Berdasarkan mekanisme di atas, dengan pola yang teratur dan terprogram, olahraga tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan fisik kita tetapi juga penting terhadap kesehatan mental kita," papar Andri. Mulai dari peredaran darah semakin lancar, tulang kuat, mencegah cepat lelah, dan daya konsentrasi bagus, rasa percaya diri bertambah dan stres berkurang.

"Semua orang pasti mengalami stres baik karena tekanan fisik, ataupun pikiran karena masalah pekerjaaan, pendidikan atau masalah pribadi," tutur Andri. "Saya sering menangani klien yang awalnya terlalu sibuk dan stres karena kerjaannya, sehingga wajahnya terlihat kusam, kurang cerah dan tertekan. Namun setelah menjalani program latihan teratur, dalam kurun waktu tertentu sudah mengalami perbedaan, seperti wajahnya lebih segar, ceria dan lebih enjoy dalam melakukan aktivitasnya baik saat latihan olahraga maupun dalam bekerja. Hal ini diakibatkan karena berolahraga secara teratur dan terprogram dapat meningkatkan kadar hormon endorfin kita yang dapat mempengaruhi mood jadi lebih baik, merasa senang dan berenergi." 

Teratur. Terprogram. Pertanyaannya sekarang: bagaimana melakukannya? Kami ini hanyalah manusia biasa, dengan pengetahuan minim olahraga, hanya sebatas Google dan YouTube. 

"Sama halnya saat sekolah, kita juga bisa belajar sendiri melalui artikel, membaca buku dan juga melalui internet. Tetapi terkadang bahkan setelah melakukannya, tetapi saja belum menemukan jalan keluarnya. Solusinya, pastinya meminta bantuan kepada orang yang lebih berpengalaman dan berkompeten di bidang tersebut. Dalam olahraga misalnya, personal trainer yang sudah bersertifikasi secara legal," imbuhnya. 

Untuk manusia imortal seperti kita, Andri mengatakan: "Memulai suatu program latihan atau olahraga secara sederhana bisa menggunakan variabel FITT." 

FIIT ini merupakan singkatan dari Frequency, Intensity, Type dan Time. Frequency = berapa lama kita berolahraga dalam sehari atau seminggu; intensity = seberapa berat/ringan latihan yang dilakukan. "Paling mudah mengetahui berat ringan latihan bisa dilihat dari detak jantung selama latihan. Semakin cepat denyut jantung berdetak, berarti semakin berat latihan yang kita kerjakan," katanya. Berikutnya: type = variasi latihan, "Karena tubuh kita pintar sekali untuk beradaptasi terhadap suatu latihan. Di samping itu juga untuk menghindari kebosanan latihan yang monoton." Terakhir time = berapa lama kita berolahraga. "Durasi yang baik antara 30-60 menit tergantung dari tipe dan latihan yang dilakukan."

Gampang 'kan ya diingat: FIIT. Ulang sekali lagi, FIIT. 

Di samping  variabel tersebut, menurut Andri ada beberapa prinsip dasar yang harus kita perhatikan saat berolahraga.

  • Prinsip individu. Setiap berbeda (bahkan kembar sekalipun). "Anggap saja latihan jenis A cocok untuk si Ajeng, tetapi belum tentu cocok untuk si Rani."
  • Prinsip Overload(beban berlebih), yakni berat suatu latihan harus ditingkatkan secara berkala. "Jika latihan dilakukan secara sistematis maka tubuh akan dapat menyesuaikan diri semaksimal mungkin. Jika beban latihan terlalu ringan peningkatan kemampuan pun tidak akan terjadi." 
  • Recovery (pemulihan). Lamanya pemulihan tergantung dari kelelahan yang dirasakan dari latihan sebelumnya. Semakin berat latihannya, semakin lama pula pemulihan yang dibutuhkan tubuh kita untuk siap kembali memulai olahraga kembali. "Di saat pemulihan ini nutrisi juga berperan penting terhadap baik tidaknya pemulihan yang terjadi." 
  • Prinsip adaptasi. Jika olahraga yang dilakukan tidak cukup berat pada tubuh kita, maka proses adaptasi tidak akan terjadi. "Oleh karena itu kita harus mengetahui seberapa berat dan untuk tujuan apa olahraga yang kita lakukan."
  • Reversibility (reversibilitas). Kondisi tubuh yang bugar akan kembali melemah apabila kita berhenti melakukan olahraga yang rutin dikerjakan.
  • Prinsip specificity (kekhususan). "Jika berolahraga bertujuan untuk memperbesar massa otot, latihannya harus sesuai seperti latihan beban, baik dengan alat atau juga bisa dengan bodyweight." 

Di samping penyusunan program olahraga yang baik dan benar, menurut Andri, yang tidak kalah pentingnya (siap-siap untuk yang belum tahu)... yaitu pengaturan pola makan makan (diet) yang baik dan benar. "Penyusunan pola makan ini tergantung dari tujuan dari olahraga tadi. Jika tujuan untuk penurunan kadar lemat (fat loss), prinsip utama yaitu defisit kalori artinya jumlah kalori yang kita buang untuk aktivitas harus lebih banyak daripada kalori yang kita masukkan ke dalam tubuh kita," katanya.

Nah, setelah penjelasan panjang-kali-lebar-kali-tinggi tadi, tibalah kita ke pertanyaan yang paling penting: jadi kenapa tidak ada perubahan setelah berolahraga?

"Setelah beberapa bulan melakukan latihan dengan benar dan diet ketat terkadang tubuh kita tidak lagi mengalami perubahan yang signifikan, hal ini wajar terjadi karena tubuh kita sudah beradaptasi terhadap suatu pola latihan yang kita kerjakan, begitu juga terhadap diet atau pola makan yang kita lakukan dengan teratur," jawab Andri.

Wow! Susah mencerna informasi terakhir ini. Terkejut? Understatement!

"Oleh karena itu kita harus pandai mengenali tubuh kita sendiri, kapan waktunya kita harus mengganti pola latihan dan pola diet kita," jelas Andri dengan kalem.

"Semisal yang biasanya hanya berlatih beban dengan free weights, bisa mencoba latihan menggunakan bodyweight (beban tubuh) selama beberapa pekan. Kemudian kembali lagi menggunakan mesin, atau yang biasanya kardio menggunakan treadmill bisa diubah dengan berlari mengelilingi kompleks perumahan atau menggunakan sepeda statis dan elliptical. Karena perbedaan tipe latihan tersebut juga akan direspon berbeda oleh tubuh kita," sarannya panjang lebar.

Selain cara tersebut, Andri juga menyarankan untuk mencari teman yang level kemampuannya "di atasmu" sehingga kamu termotivasi untuk "naik kelas".

Plus, "tambah aktivitas fisik sehari-hari. Misalnya  yang biasanya ke mall naik lift, sekarang gunakan tangga," sarannya.

Lalu yang juga signifikan dan sering diabaikan karena percaya 'nila setitik rusak susu sebelanga': DIET TERLALU KETAT.

"Diet terlalu ketat juga akan membuat kita sedikit tertekan. Jadi, jangan lupa untuk seminggu sekali atau dua minggu sekali untuk makan makanan yang sebelumnya dihindari," katanya. "Tetapi," lanjutnya, "ingat tetap dalam jumlah wajar. Dan yang tidak kalah penting juga adalah kebutuhan cairan dalam tubuh dan serat, harus selalu terpenuhi dengan perbanyak minum air putih dan makan sayur dan buah."

Pyuuh... ini berita bagus. Meski hidup sehat itu akan tetap sulit, yah... paling tidak sekarang kita tahu bahwa sesekali makan Indomie, akan membuat proses hidup sehat menjadi sedap.