Food Review: KAUM Jakarta, Menteng

Food Review: KAUM Jakarta, Menteng
WOOP.ID

Restoran baru di Jakarta untuk pecinta kuliner nasional, dua cabang lainnya di Bali dan Hongkong memiliki reputasi premium

Rating
  • overall8/10

Lokasi: Dr. Kusuma Atmaja No.77-79, Menteng, Jakarta Pusat

Harga: ± Rp. 300.000 (berdua)

Terdengar sinis, tapi seringkali sulit mempercayakan kesedapan makanan asli Indonesia kepada restoran-restoran dengan interior mewah. Pasalnya, makanan khas Indonesia sangat sensitif sehingga misalnya salah takaran sejumput jahe, rasanya pasti akan aneh. Belum lagi dengan anggapan bahwa warung pinggir jalan, lengkap dengan vitamin debu dan resep rahasia yang berasal dari aroma campur-campur dari kendaraan hilir mudik, memberikan level kesedapan tersendiri yang sulit ditandangi high-end restaurants atas nasi goreng atau bebek goreng. Mungkin terdengar eugh… tapi untuk sebagian orang, lidah lebih tidak bisa bohong.

Oleh karena itu, saat hendak mencoba makanan di KAUM Jakarta untuk makan malam, jujur saja saya sedikit cemas dan pesimis. Untungnya, bangunan restoran ini dulunya rumah tinggal sehingga tidak terlalu mengintimidasi; rasanya seperti bertandang ke rumah sahabat baik. Ruangan terbuka lebar, tanpa sekat atau bilik; meja dan kursi diatur dengan seksama (meja super besar sepertinya berkonsep sharing table dan meja ukuran standar untuk mereka yang lebih menginginkan privasi); berkonsep open kitchen sehingga pengunjung bisa melihat dengan jelas para peracik makanan bekerja keras untuk mempersiapkan makanan untuk setiap orang. Asap yang berasal dari dapur sedikit membuat bagian terdekat agak sedikit berkabut, meski tidak terlalu mengganggu jarak pandang. 

Restoran yang baru resmi beroperasi di Jakarta (dua cabang lainnya di Bali dan Hongkong sudah eksis lama dan memiliki reputasi premium) beberapa hari lalu ini terlihat benar-benar bertekad untuk tidak hanya mengangkat kebudayaan Indonesia melalui makanan, tapi juga dari dekorasi, terutama pahatan dinding yang dengan pola khas Dayak, instalasi seni di bagian tengah, sampai dengan musik khas Indonesia tempoe doeloe (Bing Slamet, salah satunya). Konon sang pemilik restoran meminta bantuan seorang pemerhati dan penggemar musik Indonesia tahun 60-an, 70-an untuk melengkapi koleksi vinyl restoran tersebut.

Selanjutnya, berbagai makanan disajikan di meja. Harus diberi acungan jempol kecepatan dan ketelitian para staf untuk memastikan presentasi, kebersihan, sampai posisi sendok/garpu berada dalam level terbaik. Meski terkadang membuat terkejut karena tiba-tiba mereka muncul dan memperbaiki posisi garpu yang miring di atas piring.

Ada berbagai macam menu yang dengan hati-hati dipresentasikan malam itu, di antaranya Tumis Keciwis Tauco Pekalangan, Gohu Ikan Tuna, Burung Puyuh Malon Goreng Bumbu Rica-Rica dan Sate Sapi Wagyu Maranggi (dua contoh menu yang hanya ada di cabang Jakarta), Bebek Betutu (disantap dengan sambal matah), Ikan Sambal Dabu-Dabu, dan Mie Gomak. Bukan makanan asing di telinga pecinta kuliner nasional, tapi restoran ini menekankan bahwa makanan yang disajikan 100% otentik Indonesia dan dibuat dengan bahan-bahan kualitas terbaik dari industri dalam negeri. Porsinya yang lumayan besar, membuat hampir semua makanan bisa dimakan lebih dari dua orang.

Teman yang duduk di sebelah saya, seorang pecinta berat bebek, mengakui ketepatan rasa dan tekstur daging yang kering, lembut, dan gurih; tidak basah atau berminyak seperti yang disajikan di beberapa tempat lain. Untuk sayasendiri, makanan yang cukup berkesan adalah Tumis Keciwis Tauco, takaran tauco dan tumisan yang tidak begitu berminyak, membuat kami mampu menghabiskan satu porsi tanpa merasa tenggorokan dan lidah gatal. Selain itu, Ikan Sambal Dabu-Dabu yang dibakar dengan temperatur dan bumbu yang tepat sehingga kemanisan dagingnya tetap terasa (tidak tertutupi oleh bumbu-bumbu marinasi). Sayangnya, sate daging sapinya agak sulit dikunyah. “Mungkin karena sudah dingin,” kata seorang teman.

Sebagai penutup adalah kue lumpur ketan hitam. Sambil menikmati kelembutan tekstur kue berwarna kuning dan mencampurnya dengan ketan hitam, saya bertanya kepada seorang teman “Kira-kira mau balik lagi nggak ke sini?" “Iya, tapi mungkin saat lebih sepi karena tempatnya sepertinya tepat untuk bercakap-cakap dengan istri atau suami,” tandasnya. Setuju.