Seberapa Jauh Kita Bisa Percaya Google untuk Mendiagnosa Keluhan Kesehatan?

Seberapa Jauh Kita Bisa Percaya Google untuk Mendiagnosa Keluhan Kesehatan?
ISTOCK

Salah-salah... malah salah.

“Google aja, sih."

Seberapa sering kalimat itu tercetus saat penasaran akan sesuatu? "Jawabannya sudah ada di otak nih, tapi susah keluar," katamu. "Udah, Mbah Google aja," ujar yang lain. Bahkan, ketika kepala cenat-cenut, sambil menahan sakit, kita mengutak-atik Google untuk mengetahui apa yang mungkin sedang terjadi pada tubuh. Akhirnya, misalnya menemukan sebuah artikel yang mengerikan, yakni yang menerangai bahwa itu adalah tanda-tanda sebuah penyakit kronis—dan polosnya kita, percaya dengan diagnosa "dokter" lulusan dunia maya itu. Nah! 

“Sebetulnya, informasi kedokteran yang patut dipercaya harus berasal dari jurnal penelitian,” ujar dr. Fienda Ferani, seorang dokter umum dari Rumah Sakit Dr. Sutoyo dan RSUD Jati Padang, Jakarta. Ia melanjutkan, “jika hendak di telaah lagi, setiap jurnal pun juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Jurnal ilmiah kedokteran dapat kita cari melalui Google Scholar, Pubmed, dan lain-lain. Namun, tentunya hal tersebut sangat sulit dipahami bagi orang awan. Saat ini banyak bermunculan web-web kedokteran yang secara resmi ditulis oleh dokter.”

Menurut Fienda, sebuah pernyataan ilmiah yang baik biasanya harus ditulis dengan (contohnya), ‘berdasarkan jurnal xxx, radiasi memiliki presentasi 80% sebagai pencetus utama kanker’ dan dilengkapi pula dengan daftar pustaka yang baik. Namun, “kita sadari bahwa saat ini masyarakat awam cenderung mencari informasi yang mudah untuk didapat dan dicerna,” katanya.

Itulah keuntungan teknologi: membuat kita lebih inisiatif mencari informasi, dan pada saat yang bersamaan sebaiknya kritis karena tidak semua informasi memiliki kualitas yang sama. A.K.A: hoax. Adakah saran yang bisa diberikan agar tidak cepat percaya dengan yang didapatkan di Google?

“Ada,” jawabnya. “Saran saya jika hendak mempertimbangkan suatu artikel kesehatan lihat dulu siapa penulisnya, apakah ia seorang dokter spesialis, dokter umum atau profesor. Karena saat ini banyak blog pribadi bermunculan yang memuat konten kesehatan tanpa sumber yang jelas. Kemudian, perhatikan juga website tersebut, apakah itu website resmi yang memiliki reputasi baik atau hanya sekedar blog atau opini pribadi saja," Fienda menyarankan.

Satu hal lagi: "Yang terpenting adalah apabila mengalami keluhan dalam kesehatan, sebaiknya langsung dikonsultasikan ke dokter. Karena suatu penyakit tidak dapat ditegakkan diagnosisnya hanya bersadasarkan karakteristik umum saja (seperti, sakit kepala, mual, muntah), tapi juga harus melalui anamnesis yang terarah dan pemeriksaan fisik yang baik."

Dengan kata lain, harus jelas: nama dokter, spesialisasi, praktek dan institusinya, dsb. Kecuali dokter itu memang diberikan nama Google oleh orangtuanya, sepertinya kamu perlu ekstra hati-hati saat "menerima" diagnosa dari Dr.www.google.com. Pasalnya, pengaruh membaca Google banyak.

“Sangat banyak,” tekan Fienda. Dan dampaknya serius. “Begini, misalnya seseorang memiliki tanda-tanda sakit seperti batuk lebih dari dua minggu, keringat di malam hari, demam, dan lain sebagainya. Kemudian, ia mencari, men-searching di Google dan menemukan tanda-tanda penyakit TBC. Karena membaca hal itu, orang tersebut langsung aware dan konsultasi ke dokter," ujarnya. Jadi, tidak selalu negatif. Banyak sisi positifnya dari membaca dan bergerily di Google.

"Informasi-informasi tersebut boleh saja dibaca sebagai bahan masukan dan wawasan kita, tapi tidak boleh ditelan mentah-mentah. Sebagai dokter adanya Google juga mempermudah kami dalam mencari jurnal-jurnal kedokteran, apalagi dengan adanya Google Scholar, yakni situs resmi Google untuk mencari jurnal-jurnal ilmiah kedokteran,” pungkasnya.

Selanjutnya: dan jika kamu sudah menikah dan sampai sekarang tidak kunjung mengalami gejala hamil, mungkin ini salah satu penyebabnya. Dan oh, informasi ini berasal dari seorang dokter spesialis kandungan.