3 Masalah Paling Sering Dihadapi Oleh PasanganDan Solusinya

3 Masalah Paling Sering Dihadapi Oleh PasanganDan Solusinya
ISTOCK

Kamu bukan satu-satunya yang ingin melempar sesuatu.

Bahkan ketika hubunganmu semesra dan se-Instagramable John Legend dan Chrissy Teigen, setiap pasangan pasti melalui pasang surut (baca: permasalahan yang membuatmu mengelus dada berkali kali atau ingin menjambak rambut seseorang). Berikut tiga masalah paling umum yang dihadapi oleh pasangan—dan bagaimana mengatasinya, bersama-sama.

MASALAH: "SATU MENGEJAR, YANG LAIN MENGHINDAR"

Ciri-ciri: Di antaranya, kamu merasa dia mendadak "bisu", tidak pernah memberitahukan apa yang ada di pikirannya, butuh waktu 5 jam membalas pesan, tidak pernah mengambil inisiatif, merasa dia sudah tidak peduli lagi, dan beberapa kali mendapatinya berbohong. Bah! Sementara si dia, merasa kamu: selalu curiga, sedikit-sedikit melihat ponselnya, selalu ingin tahu dia dimana dan sama siapa, reaksi berlebihan saat dikasih tahu, dan selalu mencoba mengontrol hidupnya. 

SolusiRobert Taibbi, L.C.S.W., seorang penulis banyak buku, salah satunya "Doing Family Therapy: Craft and Creativity in Clinical Practice"menuliskan bahwa persamaan kamu dan pasanganmu adalah, kalian sama-sama cemas. Dan biasanya, akarnya adalah masa lalu. Sebut saja kamu merasakan cemas karena pernah diselingkuhi, sementara si dia cemas karena punya pengalaman berhubungan dengan perempuan yang terlalu posesif. Dari pengalamannya sebagai terapis pasangan dan keluarga, Taibbi menyarankan untuk "memecahkan pola tersebut," artinya, berhenti menghindar dan cari jalan keluar. Di antaranya: kedua belah pihak memberitahukan dengan jujur ekspektasi dan apa yang dibutuhkan, dan membuat solusi konkrit yang akan dilakukan (misalnya, membalas pesan pasangan lebih cepat, mengubah kebiasaan lama dari yang "terlalu kritis dan reaksi berlebihan ke "menahan diri dan tidak ofensif"). Terapkan "beberapa minggu, kemudian evaluasi dan lakukan perubahan bila perlu," Taibbi menyarankan. 

MASALAH: SEKS HANYA SEBUAH RUTINITAS

Ciri-ciri: Bulan madu sudah lama berlalu, sehingga merasa tidak perlu lagi memakai sesuatu yang cantik—memilih daster lusuh berumur 10 tahun yang memang nyaman, memprioritaskan istirahat dan tidur daripada berasyik-masyuk. Hubungan seks hanya sebuah rutinitas mingguan, diberikan tanda √ begitu selesai dilakukan. 

Solusi: Ini masalah yang serius, harus diatasi A.S.A.P. Terdengar klise, tapi berikan waktu dan energi, bahkan ketika itu berarti kamu harus menyalakan alarm sebagai pengingat (segala sesuatu tidak harus spontan). Atau, kurangi beban di kantor sehingga masih ada energi tersisa ketika kembali ke rumah untuk bermesraan dengan pasangan. Seperti yang dituliskan olehThe New York Times, "Banyak pasangan menemukan bahwa jika mereka memaksa diri mereka untuk berhubungan seks, segera hal tersebut tidak lagi menjadi sebuah pekerjaan dan [akhirnya] ingat lagi bahwa mereka menyukai seks. Tubuh merespon dengan mengeluarkan senyawa-senyawa kimia di otak dan perubahan lain yang bisa membantu." Intinya, dari sisi ilmu pengetahuan pun, langkah awal untuk memiliki kehidupan seks yang lebih baik adalah... seks itu sendiri. 

MASALAH: "SETELAH PUNYA ANAK..."

Ciri-ciri: Percaya atau tidak, selama puluhan tahun para peneliti sudah mempelajari apa efek memiliki anak terhadap perkawinan, dan hasilnya konklusif: kualitas hubungan menurun setelah anak lahir. Orangtua lebih memiliki jarak, bertingkah laku layaknya dengan kolega kerjanya saat membicarakan tentang anak, jarang melakukan sesuatu yang bisa disukai oleh pasangan. Lupakan membicarakan apa yang ada di dalam pikiranmu, atau diskusi tentang politik—topik utama setiap obrolan adalah anak ini, anak itu. Oh, tapi ironisnya bahkan ketika kepuasanmu terhadap pernikahanmu jauh berkurang setelah memiliki anak, kecenderungan pasangan bercerai pun berkurang. Jadi, intinya 'kalian sengsara bersama-sama'. 

Solusi: Berbagi tugas mengerjakan hal-hal di rumah (beres-beres, bersih-bersih, mengganti popok dll) merupakan langkah yang baik—tapi tidak cukup. Apalagi bagi ibu yang pada kebanyakan situasi menjadi pihak yang merasa paling 'bertanggung jawab terhadap pertumbuhan anak' (yang akhirnya membuat sang ayah merasa menjadi 'pihak yang bertanggung jawab menyediakan nafkah'), dan membuatnya merasa terisolasi, lingkungan sosial mengecil dan tidak punya teman. Akhirnya, depresi. Jangan anggap enteng—kaitan antara kondisi psikologis dan problematika perkawinan sangat erat sehingga para peneliti berkesimpulan bahwa terapi pasangan adalah salah satu satu cara yang paling efektif untuk menyembuhkan depresi dan beberapa penyakit mental lainnya. Sebuah penelitian lain juga menyarankan bahwa meskipun seseorang sudah menjadi orangtua, sangat penting untuk selalu mengingat bahwa dia juga memiliki peran sebagai suami/ istri—dan menjaganya, agar hubungan tetap harmonis dan langgeng.

Pasangan Instagram tidak seglamour yang kamu pikirkan. Tidak percaya? Baca cerita dua pasangan ini.