Abimana Aryasatya: Saya Masih Sering Bolos sebagai Ayah

Abimana Aryasatya: Saya Masih Sering Bolos sebagai Ayah
WOOP.ID/ALEXIS CALVIN WIJAYA

Abimana berbagi tentang kehidupannya sebagai seorang suami dan ayah.

Abimana Aryasatya hadir sebagai sosok aktor pria yang berbeda dengan banyak teman sejawatnya. Di antara sekian banyak aktor yang memilih untuk mempertahankan masa lajang, Abimana justru hidup berbahagia dengan keluarga ‘besar’ yang terdiri dari dirinya, istri dan empat orang anak. Dengan karir aktingnya yang semakin lama semakin cemerlang, bagaimana sosok seorang Abimana sebagai suami dan ayah? Ditemani oleh sang istri, Inong Ayu, Abimana berbincang dengan WOOP mengenai lika-liku hubungannya dengan keluarga.

Kesepian Sebelum Berkeluarga

Tumbuh sebagai anak tunggal dari keluarga yang tidak utuh (hanya dibesarkan oleh ibu), ayah empat anak ini dulunya sering merasa kesepian sehingga timbul keinginan untuk segera membina rumah tangga. Dengan keberadaan orang-orang di sisinya yang siap mendukung, Abi berharap dapat memiliki tempat yang bisa disebut ‘rumah’ dan alasan untuk pulang.

Karir yang pada saat itu masih goyah, tidak mengubah pendiriannya untuk melamar. “Saya tipe orang yang malu menarik kembali kata-kata yang sudah pernah diucapkan. Saya harus bertanggung jawab pada omongan saya sendiri,” tuturnya, lugas. 

“Kehidupan Pernikahan itu Tidak Mudah”    

Menikah 16 tahun lalu di usia yang terbilang masih sangat muda (saat berusia 18-19 tahun), ternyata Abimana tidak punya kiat apapun dalam mempertahankan pernikahan. Ia hanya terus terfokus pada bagaimana  membina keluarga, mencari rejeki, dan saling menjaga perasaan. “Kalau dicari formulanya ya, sulit, karena pada dasarnya kehidupan pernikahan itu tidak mudah. Ada bentuk dedikasi yang kita tak perlu mengharap timbal balik. Pasti akan ada ganjalan, tapi semuanya harus dinikmati.”

Inong pun ikut menimpali. “Kami berdua memilih untuk terus menjaga komitmen awal, yaitu memiliki ‘rumah’, seperti definisi yang Abi sebutkan. Kami akan selalu punya rumah, jika ada alasan untuk pulang. Kalau soal bosen sih, ya bisa saja. Mau cari yang lebih dari dia (Abi, -red) bisa, tapi nggak akan pernah cukup. Pasti akan selalu ada yang lebih. Nggak berakhir, buat apa,” tandasnya, sambil tertawa ringan.

Ayah yang Absurd

Dalam hubungannya dengan keempat anaknya, Abimana mengaku lebih memilih untuk melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya hari ini. Kesibukan sebagai aktor memang kadang menyulitkannya untuk menghabiskan banyak waktu dengan anak, tapi dia mencoba menggunakan waktu-waktu yang ada semaksimal mungkin. Seperti apa? “Nggak ada yang spesial, paling ya, makan saja sama-sama. Meskipun memang kadang saya suka absurd. Inginnya menciptakan momen untuk anak, ngejarsunset ke pantai misalnya. Kadang berhasil, kadang juga tidak. Yang penting kebersamaan,” ujarnya semangat.

Inong pun bercerita lebih lanjut soal kebiasaan Abi yang satu ini. “Abi pada dasarnya memang nggak suka mal atau tempat-tempat lain yang ramai, dan memang orangnya absurd. Jadi aku dan anak-anak sudah terbiasa. Tiap kali Abi mengajak pergi, kami sih, nggak pernah tanya mau kemana. Biasanya memang belum ada tujuannya, atau ya kalaupun ada, random banget!”

Untungnya, anak-anak paham betul dengan kebiasaan ayahnya ini. Si bungsu misalnya, sudah cukup senang asal bisa pergi jalan-jalan bersama keluarga. “Yang penting bagi anak-anak kan sense of journey-nya,” kata Abi.

“Anak Harus Bermain, Tidak Bekerja”

Anak memang memiliki peranan luar biasa dalam hidup Abimana. Tak hanya berperan sebagai support system, anak-anak pun memiliki kuasa atas pilihan-pilihan dalam perjalanan karirnya. “Semua peran yang saya lakonkan dipilih atas diskusi dan persetujuan dari keluarga, terutama anak,” ceritanya. Ternyata Abi concern terhadap dampak dari profesinya sebagai public figure yang bisa sampai ke anak. “Pekerjaan saya memiliki expose yang besar. Jika ada impact buruk yang saya datangkan dari pekerjaan, anak-anak bisa kena imbasnya. Tujuan saya mencari rejeki dari akting pada akhirnya kan, untuk menghidupi mereka.”

Meskipun begitu, Abimana tidak menutup pintu bagi anaknya untuk terjun ke bidang yang sama, hanya tidak sekarang. “Anak-anak saya, ya itu… masih anak-anak. Anak harus bermain, tidak boleh bekerja. Ketika seseorang sudah terjun ke industri, tentu mereka dituntut untuk bekerja dan menjadi profesional. Anak harus memiliki waktu untuk bermain dan bersenang-senang. Akan ada saat yang tepat nantinya bagi mereka untuk meniti karirnya sendiri. Saya mencoba untuk tidak membatasi impian dan kesukaan anak.”

Apa kunci dari Abimana untuk menjaga hubungan dengan anak-anak? “Prinsipnya sederhana. Hal-hal yang pernah dilakukan orangtua yang membuat kita tidak senang, jangan lakukan hal itu pada anak.”??

“Satu Tahun Belakangan Ingin Berhenti Jadi Aktor”

Di mata Abimana, kesuksesan seorang pria bukan hanya dilihat dari segi kemapanan ekonomi atau kemajuan karir. Sebagai aktor, Abi merasa sudah cukup banyak menjalani peran, dan ingin berpindah fokus ke bagian lain. “Sudah dari satu tahun belakangan ingin berhenti (menjadi aktor),” paparnya. “Saya selalu punya keinginan untuk menjadi produser, ataupun belajar menjadi sutradara film. ‘Pensiun’ saya sebagai aktor bisa terjadi kapan saja: sekarang, mungkin tahun depan, atau 10 tahun lagi.”

Sebagai seorang suami dan kepala keluarga, Abi cenderung tegas dalam menyatakan bahwa ia sesungguhnya merasa belum cukup. “Saya berkewajiban membesarkan dan menjaga anak-anak, serta menyediakan kebutuhan keluarga. Itu mungkin sudah saya lakukan, tapi masih ada jalan panjang. Sebagai kepala keluarga, saya masih sering ‘bolos’ dalam hal kehadiran, karena masih sulit menyeimbangkannya dengan pekerjaan. Idealnya, jika anak menelepon karena ingin bertemu, seharusnya sebagai orangtua saya harus ada. Nantinya, saya ingin bisa memberikan itu 100% untuk mereka.”

Pada akhirnya, tak ada yang lebih disyukuri Abimana selain keluarga. Karir dalam film mungkin sudah menjadi bagian hidup, tetapi baginya, keluarga terutama anak-anak tetap yang utama. Untuk keluarga-keluarga lainnya di luar sana, Abi memberikan sedikit pesan. “Saya tahu rasanya menjadi anak tanpa keluarga yang benar-benar ‘hadir’. Coba lebih mendengarkan anak. Sekarang bukan lagi soal apa yang diinginkan orangtua, tapi apa yang diinginkan anak. Rasakan apa yang mereka rasa. Saya berpikir, sesungguhnya keinginan seorang anak itu sederhana, bukan materi atau apapun: yang diinginkan anak sesungguhnya hanya orangtuanya, dan itu saja.”