Apakah Normal: Masih Mencintai Sang Mantan?

Apakah Normal: Masih Mencintai Sang Mantan?
ISTOCK

Jika kamu berpikir 'tidak mungkin dapat pasangan sebaik dia', ada yang sebaiknya diubah. 

Berhubungan serius dan bahkan sudah merencanakan ba-bi-bu-be-bo ke depannya, tapi tiba-tiba putus. Sakit hati. Lagu AdeleSomeone Like You” pun menjadi soundtrack hidup selama sebulan. Setiap jam diputar (repeat mode on), dan kamu merasa dunia ini tak adil.

Fast forward: lima bulan kemudian. Kamu mulai bisa melanjutkan hidup, dan mungkin malah sudah punya pacar baru! Hore! Namun, entah kenapa si mantan masih (istilah noraknya) terbayang-bayang di mata dan tidak luput dari ingatan. Rasa-rasanya, kok seperti masih cinta dengan yang lama, ya? Apakah ini sesuatu yang normal? 

“Tergantung seperti apa ‘mencintai’ yang dimaksudkan. Kalau mencintai yang dimaksud adalah cinta yang sama seperti saat menjadi pacar, tentu hal tersebut tidak wajar. Karena tidak sesuai realita yang ada,” jawab Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi, Psikolog., seorang psikolog klinik dewasa dari Tiga Generasi dan juga dosen psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta.

Lanjutnya, “Tapi kalau mencintai yang dimaksud adalah perasaan sayang seperti teman lama, hal ini cukup normal. Karena ia pernah menjadi orang yang penting dalam hidup kita, meskipun sudah tidak bersama lagi.”

Namun bagaimana jika ingin kembali pada mantan dan 'mengejar-ngejarnya' dengan berbagai cara? Apalagi kita tahu persis bahwa si dia sudah memiliki pasangan baru. Apakah kita sedang menyakiti diri sendiri?

“Jelas, tentu saja itu menyakiti diri sendiri jika mencintai orang yang sudah memiliki pasangan," tegas Pingkan. "Begini," lanjutnya, "sebenarnya, cinta pada mantan adalah cinta kita terhadap bayangan mengenai sang mantan. Jadi, belum tentu mencintai mantan itu sebagaimana adanya. Sesungguhnya, perasaan yang mirip cinta tersebut bisa jadi adalah ekspektasi kita terhadap si mantan.”

Ada yang menganut asas: 'tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini' atau 'selama belum ada bendera kuning, segala hal masih halal.' Kemudian ini diaplikasikan ke dalam percintaan dan berpikir bahwa kesempatan untuk balik lagi pasti ada, kok!

“Kalau ditanya ‘apakah ada kesempatan untuk bersama lagi?’ saya tidak bisa menjawab," tegas Pingkan. "Karena semua ini, waktu yang akan menentukan. Tapi ketika putus, sebaiknya tidak berpikir dulu mengenai kesempatan untuk bersama lagi. Saat hubungan berakhir, tentu saja ada sesuatu yang tidak cocok, tidak bisa diterima, atau tidak ada usaha dari salah satu atau kedua belah pihak.

"Sebaliknya sadari dulu ini, lalu perbaiki diri masing-masing, tanpa pikiran untuk kembali. Bangun dulu relasi yang baik dengan diri sendiri. Jika setelah berproses, mengembangkan diri, ternyata pada akhirnya kembali ke mantan, maka perlakukan hubungan tersebut dari awal. Karena kamu dan dia sudah menjadi individu yang berbeda, seiring berjalannya waktu,” lanjutnya.

Namun, jika ternyata tidak memungkinkan untuk berbalikan lagi, harus melanjutkan hidup, Pingkan menyarankan: "Caranya dengan mengelola pikiran kita sendiri, dengan melihat realita. Kalau misalnya, kita masih ‘cinta’ dengan mantan, dengan alasan ‘ia yang terbaik’, coba tanya lagi pada diri kita sendiri: ‘apa maksudnya yang terbaik bagi kita?’ Jika ia memilih orang lain dan memutuskan hubungan, apakah itu artinya ia masih yang terbaik untuk kita? Sadari ekspektasi kita terhadap mantan, dan lihat realita. Contoh lain: masih cinta, karena berpikir ‘saya gak mungkin dapat pasangan sebaik dia lagi’, pikiran tersebut biasanya dimiliki seseorang yang kurang percaya diri, kurang menghargai diri sendiri. Oleh karena itu, cara mengubah pikiran tersebut ialah dengan memperkuat pikiran positif bahwa ‘saya berharga apa adanya’. Caranya dengan lakukan hal-hal yang kita sukai, habiskan waktu dengan sahabat dan keluarga yang menghargai dan menerima kita."