Apa yang Harus Dilakukan Saat Anak Mengalami Trauma di Sekolah

Apa yang Harus Dilakukan Saat Anak Mengalami Trauma di Sekolah
ISTOCK

Kata psikolog ini: trauma bisa sangat membekas pada anak-anak.

Misalkan saja si kecil yang biasanya membawa bekal ke sekolah setiap hari, tiba-tiba satu pagi menolak dengan tegas dan bercucuran air mata. Dan penolakan ini terjadi tidak hanya hari itu saja, tapi juga keesokannya, keesokannya, dan keesokannya lagi. Usut punya usut ternyata ada sebuah kejadian tidak menyenangkan di sekolah: seorang teman merebut kotak bekalnya, membukanya, dan memakan isinya. Sejak itu, si kecil enggan membawa bekal ke sekolah. Bisakah dikatakan anak tersebut sedang mengalami trauma? 

"Sebenarnya harus ditelusuri juga mengenai kronologis kejadiannya, apa yang terjadi dari awal sampai akhir," kata Fathimatuzzahroh R.G., M.Psi., Psikolog, dari SMP/SMA Perguruan Islam Al-Izhar, Pondok Labu, Jakarta. "Karena," lanjutnya, "bisa saja traumanya bisa berasal dari hal lain, yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti anak kaget karena miliknya diambil tiba-tiba, dipaksa oleh temannya, atau ada suasana yang tidak membuatnya nyaman selama kejadian itu. Dalam kenyataannya anak tersebut yang mengalami kejadiannya jadi hanya dia yang mengetahui kejadian atau situasi apa yang membuatnya tidak nyaman. Bisa juga ditelusuri dari guru atau teman yang merebut, tapi untuk satu ini biarkan guru atau pihak sekolah yang menanyakan kepadanya."

Berbicara tentang trauma, Fathimatuzzahroh menjelaskan bahwa trauma adalah suatu respon emosi yang terjadi akibat dari suatu kejadian atau situasi yang buruk/mengerikan. Selain itu, sebuah kejadian atau situasi tidak perlu terjadi berulang kali untuk menimbulkan trauma pada diri seseorang. Namun untuk menjadi suatu gangguan psikologis yang serius, ada beberapa kriteria tertentu. Trauma sendiri dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu trauma fisik dan psikis. "Trauma pada kasus di atas kemungkinan termasuk pada trauma psikis," jelasnya. 

Dan trauma psikis tidak hanya terjadi pada anak-anak, tapi pada siapa saja dan kapan saja. Trauma tidak mengenal usia, jenis kelamin, atau latar belakang. "Namun akan sangat membekas apabila terjadi pada anak-anak," tuturnya. Penyebabnya adalah karena perkembangan kognisi dan emosi pada anak belum berkembang dengan sempurna. "Oleh karena itu, anak belum dapat menghadapi kejadian/situasi yang membuat trauma tersebut."

Saat orangtua mengetahui anaknya mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan di sekolah, ada dua kemungkinan yang akan terjadi: pertama, menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, dan berkata, 'Toh anaknya masih mau sekolah. Yang penting 'kan itu?' Kedua, ASAP menelepon atau mendatangi sekolah dan histeris. 

"Kejadian apapun yang terjadi pada anak, sebaiknya orangtua menyikapi sesuai dengan porsinya. Tidak dengan mengabaikan atau berlebihan. Karena setiap kejadian pada anak bisa saja akan berdampak panjang atau seumur hidupnya apabila tidak disikapi dengan baik. Orangtua sebaiknya memahami bagaimana atau siapa anaknya agar orangtua lebih paham apabila terjadi perubahan-perubahan negatif pada anak sehingga dapat ditanggulangi atau diperbaiki," saran psikolog ini. 

Menurut Fathimatuzzahroh, yang patut menjadi bahan pertimbangan adalah hal-hal yang dapat memperburuk kondisi anak apabila orangtua tidak melakukan penanganan sesuai porsinya. "Misalnya orangtua mengintervensi teman dari anaknya tersebut (turun tangan sendiri), atau orangtua memarahi anaknya sendiri karena menganggap hal yang dialami anaknya adalah hal kecil padahal kejadian/situasi tersebut membuat anak tidak nyaman."

Jika anak mengalami sebuah kejadian tidak menyenangkan dan membuatnya trauma, Fathimatuzzahroh menyarankan orangtua untuk melakukan beberapa hal ini: 

  • Buat anak merasa aman dan nyaman, seperti meyakinkannya bahwa orangtua ada di sampingnya dan ajak anak bicara.  
  • Terima dan pahami respon perilaku anak setelah kejadian/situasi yang membuatnya trauma, seperti anak menangis, menyendiri, atau berteriak.  
  • Luangkan lebih banyak waktu dengannya, seperti berkegiatan bersama agar anak tidak merasa sendirian.  
  • Jika setelah orangtua mengetahui penyebabnya dan tetap saja anak belum mau membawa bekal ke sekolah, maka orangtua dapat mengonsultasikan pada sekolah/psikolog.

Dan pastinya, guru, tenaga pengajar dan pihak sekolah pun sebaiknya bersikap aktif dengan mengambil tindakan sebagai berikut: 

  • Melakukan penulusuran kepada kedua anak tersebut (korban dan pelaku) serta anak lain yang melihat kejadian.  
  • Memberikan pemahaman kepada anak apabila ada sesuatu hal yang salah (dari hal yang telah dilakukannya).  
  • Mengajak anak saling memaafkan.  
  • Dan apabila dibutuhkan dapat berkonsultasi dengan konselor atau psikolog sekolah.