Apa yang Orangtua Harus Tahu Tentang Eraser Challenge?

Apa yang Orangtua Harus Tahu Tentang Eraser Challenge?
ISTOCK

Menantang orangtua lebih sering berdiskusi dengan anak. 

Beberapa bulan belakangan, anak-anak sekolah ramai memposting sesuatu yang diberi judul ≠eraserchallenge.

Fenomena aneh ini mulai menarik perhatian sejak Februari tahun lalu, saat sejumlah anak sekolahan membagikan ke publik foto-foto tangan atau lengan berdarah di media sosial seperti Instagram. Tantangan-tantangan seperti ini bukan hal baru, ada banyak jenisnya, mulai dari salt dan ice challenge, skip challenge atau pass out challenge. Tantangan salt/ ice challenge mengharuskan anak meletakkan garam dan es di kulit dengan temperatur es sampai -17 derajat Celcius. Pemenangnya adalah siapa yang paling lama bisa menahan rasa sakit terhadap proses pembekuan tersebut (tidak peduli sakit dan kulit terluka). Usai melakukannya, lukanya pun dipajang di akun media sosial, simbol sebuah "prestasi".

Eraser Challenge atau anak sekolah membakar diri mereka dengan penghapus, sepertinya bukan hal yang baru. Beberapa yang berkomentar di media sosial menyatakan bahwa mereka pun pernah melakukannya saat masih muda. Namun, saat itu media sosial masih belum eksis dan belum ada hashtag dalam bentuk apapun.

Di era ini, tantangan-tantangan aneh seperti itu dapat menyebar super cepat, diketahui oleh lebih banyak anak usia sekolahan dan kemudian ditiru. Salah satu versi ≠eraserchallenge adalah menantang anak-anak untuk membacakan alphabet sambil menggosok penghapus ke kulit lengan mereka (tak heran tantangan ini juga dikenal dengan nama ABC challenge). Tujuannya adalah menjadi yang paling lama melakukan hal tersebut—meski kulit terluka atau terbakar.

Penghapus pensil mungkin terdengar tidak terlalu berbahaya—bahkan terlihat imut. Namun tidak jika digosokkan ke kulit dan menyebabkan rasa sakit dan akhirnya luka permanen—sama sekali tidak lucu.

Akan tetapi apa sebenarnya yang membuat anak-anak usia sekolahan ingin melakukannya? Ini sepertinya bisa disebabkan oleh beberapa faktor, ujar Reneta Kristiani, M.Psi, seorang psikolog anak dari Klinik Pelangi.

“Ini merupakan sesuatu yang baru bagi mereka, sesuatu yang sedang tren. Mereka merasa ini sesuatu yang akan menghasilkan sensasi yang berbeda, terlebih mereka yang suka dengan tantangan, menguji adrenalin,” ujarnya. Selain itu, menurut Reneta ada juga kemungkin faktor ingin diterima oleh teman-teman, ingin dianggap macho, keren, dan lain sebagainya.

Menurutnya lagi, fenomena ini adalah sesuatu yang khas dengan usia remaja yang meskipun sudah tahu persis resikonya seperti apa, mau tetap mencoba karena berpikir dirinya “kebal”. “Mereka berpikir bahwa hal buruk yang terjadi dengan orang lain, belum tentu terjadi pada dirinya. Ini sesuai dengan teori Elkind tentang kesalahan berpikir pada usia remaja,” papar Reneta.

Untungnya, ada banyak yang memberikan komentar negatif terhadap hal tersebut dan beberapa anak memperlihatkan penyesalan karena ikut mengambil bagian.

Orangtua memang mustahil berada secara fisik dengan anak selama 24/7, tapi tetap saja ada hal yang bisa dilakukan. “Orangtua perlu banyak berdiskusi dengan anak tentang resiko-resikonya, sementara tetap memberikan perhatian dan pengawasan terhadap anak. Sarankan anak untuk menyalurkan energinya dan kesukaannya menerima tantangan ke hobi-hobi yang positif, seperti olahraga, seni, dll,” saran Reneta.