Apakah Ini Hanya Perasaan Saya Saja? Namun Sepertinya Dia Memang Sudah Tidak Cinta

Love
ISTOCK

Tanda-tanda rasa sayang sudah jauh berkurang. 

Seorang teman mengaku dengan tegas bahwa sudah tidak lagi mencintai suaminya. Sejak kapan? Dia hanya mengangkat bahu dengan wajah datar. Padahal, hubungan mereka sudah berumur puluhan tahun dan dulunya, cinta setengah mati. Apakah cinta benar-benar sudah hilang? Sebelum mati rasa, adakah yang bisa dilakukan? 

“Untuk mengenali tanda-tanda bahwa seseorang sudah tidak lagi mencintai pasangannya bisa dilihat dan dinilai dari perkataan dan perilakunya. Keduanya merupakan representasi dari pikiran dan perasaan yang terkadang tidak dapat diketahui," kata Irma Gustiana A, M.Psi, Psi., seorang psikolog anak dan keluarga dan pendiri Irma and Co. 

Lebih lanjut Irma mengatkaan bahwa untuk mengetahui tanda-tanda bahwa pasangan mulai menurun kualitas rasa sayang dan cintanya, bisa juga dilihat dari apa yang telah ia lakukan, "misalnya saja cuek, sering mengabaikan bahkan untuk hal-hal penting yang terjadi dalam diri kita.”

Selain itu, menurutnya adalah frekuensi berbohong atau tidak jujur yang semakin sering untuk menutupi sesuatu, yang mungkin saja kebenarannya diketahui oleh pasangannya. "Mengungkapkan kata-kata yang menyakiti, bahkan bisa juga ditandai dengan sikap agresif atau bahkan KDRT. Mereka juga sering mendahulukan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan berdua atau keluarga. Apalagi untuk yang sudah menikah, bisa saja melantarkan kebutuhan material, seperti tidak lagi memberikan nafkah kepada istrinya," ungkap Irma. 

Namun, sebenarnya apa penyebab cinta yang dulunya membara tiba-tiba suam-suam kuku, dan pelan-pelan mati? Irma mengatakan bahwa ada banyak alasan di balik situasi ini. Beberapa di antaranya:

1. Komunikasi kurang hangat, "kurang terbuka dan sikap acuh."

2. Kurangnya perhatian dari pasangan, "bisa karena kesibukan masing-masing sehingga tidak punya waktu kualitas berdua."

3. Kurang bisa memahami bahasa cinta pasangan, misalnya saja pasangan yang akan pujian ternyata kurang mendapatkannya dari pasangan karena kurang peka. 

4. Keduanya memenangkan ego masing-masing, tidak mau mau mengalah sehingga muncul konflik. 

5. Adanya pihak ketiga dalam keluarga, misalnya pria atau wanita lain. "Atau bahkan keluarga besar yang seringkali melakukan intervensi." 

Dengan banyaknya penyebab yang muncul, apakah psikologis pasangan akan terganggu? “Sangat mungkin kondisi psikologis atau kesehatan mental pasangan menjadi terganggu. Contohnya, menjadi sedih, sulit fokus, melamun, kuatir berlebihan, bahkan pada mereka yang diabaikan dalam kategori yang berat bisa menyebabkan depresi.”

Kondisi "tanda-tanda cinta mulai menghilang ini" bukan berarti tidak bisa diatasi; Irma mengatakan bahwa ada banyak cara yang bisa dilakukan pasangan. Misalnya:

1. Mengurai persoalan yang sedang terjadi. Ini harus dilakukan dalam keadaan tenang, melepaskan ego masing-masing. Fokus pada penyelesaian bukan pada penyebab agar tidak saling menyalahkan. 

2. Mengingat kembali komitmen awal menjalankan hubungan pernikahan. Mengingat hal-hal yang membahagiakan yang pernah dilakukan besama dan mengulang kembali peristiwa tersebut. 

3. Merancang quality time berdua, sempatkan untuk bepergian hanya berdua. Lepaskan ketegangan dan coba kembali mendalami karakter masing-masing dari perjalanan tersebut. 

4. Bila sulit diselesaikan berdua, maka cari bantuan dari konselor pernikahan. 

Idealnya, pasangan pastinya berharap semua usaha di atas berakhir dengan cinta tumbuh kembali dan semakin kuat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa setelah susah payah, terkadang jalan keluarnya adalah mengakhiri hubungan tersebut. 

Semakin rumit, terlebih jika suami-istri sudah memiliki anak. “Persiapan sebelum membuat keputusan berpisah itu penting sekali, karena akan berpengaruh pada anak dalam jangka panjang. Mengajak anak berbicara, tanpa saling menyalahkan antara ayah dan ibu itu penting dilakukan. Yakinkan anak bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik untuk keluarga. Orangtua akan tetap menjadi orangtuanya, sehingga anak bisa mengetahui kapan waktunya bersama ayah dan ibunya, dan perpisahan yang terjadi bukan kesalahannya," sarannya. 

Sebagai pertimbangan, Irma memberikan beberapa saran saat pasangan berada dalam situasi ini: 

Pacaran: Jika memang tidak saling mencintai lagi dan merasa tidak cocok, mungkin ada baiknya mengevaluasi hubungan agar tidak memaksakan diri dan terburu-buru menuju ke jenjang pernikahan. "Dan jika hubungan harus putus, akhiri dengan baik." 

Suami-istri: Ada baiknya berkomunikasi lebih mendalam, berefleksi, evaluasi perasaan dan perilaku, mengingat kembali komitmen awal menikah, dan jika kesulitan bisa melakukan konseling perkawinan. "Tetapi jika segala cara dan media ditempuh dan nyatanya sulit untuk menyatukan kembali pasangan karena konflik lebih berat dan mengakibatkan salah satu atau kedua pasangan menderita baik secara fisik dan psikologis, bukan hanya karena sekadar tidak saling cinta lagi, maka keputusan paling sulit memang harus ditempuh, yakni berpisah."