Apakah Menikah Membuat Orang Pasti Lebih Bahagia?

Apakah Menikah Membuat Orang Pasti Lebih Bahagia?
ISTOCK

MITOS.

Untuk yang belum menikah: sudah semuak dan secapek apa kamu mendengar ocehan, "Kapan nikahnya? Milih-milih, sih." atau 'Kok belum kawin sih, emang susah banget cari pasangan?" Level kemualan semakin bertambah ketika membaca sesuatu yang bernada "Penelitian membuktikan pasangan menikah lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih panjang umur." Bla, bla, bla. Gajah memiliki satu belalai dan hari ini akan hujan. 

Benarkah? "Pada tahun 2011, sebuah grup penulis menganalisa hasil 18 penelitian jangka panjang tentang implikasi menikah dengan kebahagiaan. Mereka ingin tahu apakah menikah memang membuat orang-orang lebih lama bahagia. Jawabannya tidak," tulisBella DePaulo Ph.D., seorang psikologis dari Harvard dan Uc Santa Barbara, yang juga merupakan penulis beberapa buku termasuk, Singled Out: How Singles Are Stereotyped, Stigmatized, and Ignored, and Still Live Happily Ever After. 

Akan tetapi terlalu banyak ilmuwan sosial yang ogah menerima hasil tersebut. DePaulo berargumen bahwa adalah sesuatu yang mustahil untuk menentukan level kebahagiaan seseorang hanya berdasarkan status singel atau menikah; ada banyak hal yang patut dipertimbangkan yang tidak ada hubungannya dengan pernikahan. "Ilmuwan dan penulis dan ahli terus menerus mendengung-dengungkan mitos bahwa dengan menikah akan mengubah kehidupan menyedihkan seorang singel menjadi pasangan yang berbahagia secara magis. Ini merupakan sesuatu yang memalukan," tegasnya. 

Bukan berarti tidak boleh—atau jangan menikah. "Kekhawatiran saya adalah bahwa gerakan ini terlalu menitikberatkan pada satu-model-pernikahan-untuk-semua yang bisa membahayakan banyak orang," tulis Susan Pease Gadoua, L.C.S.W, seorang terapis pernikahan dan perceraian di Psychology Today.  

Menurutnya ada tiga jenis kelompok yang akan paling merasakan dampak negatif dari mitos "menikah pasti akan membuatmu bahagia", yakni:

1. Mereka yang ingin menikah tapi belum bisa karena masih menunggu orang, waktu, dan situasi yang tepat. 

Gadoua menuliskan bahwa dirinya sendiri menikah pada usia 43 tahun. Selama masa singel, banyak orang yang mempertanyakan kondisinya, melihatnya sebagai seseorang yang tidak beruntung atau 'ada sesuatu yang salah'. "Meskipun saya memiliki pendirian untuk tidak akan menikah dengan sembarang orang, tapi harus diakui bahwa saat itu saya tidak tahan dengan tekanan, dan beberapa kali merasa memang ada sesuatu yang salah dengan diri saya," lanjutnya. 

2. Mereka yang bisa menikah tapi tidak mau atau belum siap. 

Gadoua bertemu dengan banyak orang yang menikah karena 'harus'. Misalnya, seorang perempuan menikah karena pasangannya sudah yang mapan dan jam biologisnya terus memanggil. Tidak hanya bisa menghidupi keluarga, tapi juga akan menjadi ayah yang baik. "Kata hatinya saat sebelum menikah menyuruhnya untuk tidak menikah, tapi semua tekanan dari kepalanya, teman dan keluarganya (dan lingkungan sosial) menang. Sekarang dia, sembilan tahun dan dua anak kemudian, memasuki proses perceraian," tulisnya. Menurutnya, menikah atas dasar 'harus', pada akhirnya "hampir selalu akan menghantuimu kembali." 

3. Mereka yang sudah menikah tapi tidak bahagia. 

Ada banyak alasan kenapa seseorang menikah, dan ada banyak alasan kenapa seseorang bertahan dalam pernikahannya. Bisa jadi karena takut dianggap gagal. Takut kondisi finansialnya akan hancur jika bercerai. Padahal, misalnya pasangannya memiliki kebiasaan memukul, menganiaya baik secara fisik dan emosional. "Atau mungkin mereka tidak bahagia karena orang yang mereka nikahi bertahun-tahun lalu gagal berubah atau sangat berubah," Gadoua berargumen. "Ada banyak alasan mengapa pernikahan tidak bertahan selamanya. Terkadang orang-orang ingin mengakhirinya karena banyak hal buruk terjadi, tapi seperti yang dikatakan oleh Ester Perel, 'sekarang ini orang tidak mengakhiri pernikahan karena mereka tidak bahagia; tapi meninggalkannya karena mereka bisa lebih bahagia.'"

Untungnya, menurut Gadoua mitos ini sepertinya akan berevolusi. Berkat Milenial. "Pernikahan itu tidak untuk semua orang dan tidak ada yang lebih tahu hal ini dengan baik selain Milenial. Angka pernikahan di grup ini turun drastis dari 35 tahun yang lalu. Mereka tidak mau dipaksa atau dipermalukan untuk menikah, kecuali mereka sudah siap. Alih-alih 'berumah tangga', generasi lebih muda ini fokus kepada pendidikan dan karir terlebih dahulu dan kemudian mungkin menjalin hubungan dan berkomitmen."

Optimis bahwa mitos ini akan berubah, itu harus. Meskipun harus diakui, tidak akan berlangsung cepat. "Ini merupakan sebuah mitologi, sebuah ideologi—kepercayaan ini bahwa orang bisa mengubah dirimu mereka menjadi bahagia, sehat, panjang umur, menyelamatkan lingkungan, membangun komunitas, hanya jika mereka menikah. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak akan hilang dengan cepat atau dengan diam-diam," tandas DePaulo

Dan Gadoua ingin mengingatkan kita untuk "berhenti menekankan pernikahan tradisional sebagai satu-satunya sarana penyedia kesejahteraan dasar seperti penerimaan sosial, penjamin kesehatan, stabilitas finansial dan emosional." Menurutnya, semua orang bisa berbahagia, entah itu singel, menikah atau bercerai jika diberikan kesempatan untuk menjalani hidup yang produktif.