Bagaimana agar Jatuh Cinta Lagi Saat Sayangmu Kepada Pasangan Berada di Titik Nol

Love
ISTOCK

Bahkan minus. Mati rasa. Tragis. Memprihatinkan.

Lima tahun yang lalu cintanya setengah mati—lima tahun kemudian, tepatnya minggu ini... hanya bisa menghela nafas. Bertemu saja rasanya malas, apalagi bersayang-sayangan. Hah... bolehkah absen sebentar? Salah, ya?

"Perasaan sayang terhadap pasangan bisa berubah setiap saat, itulah dinamika kehidupan perkawinan yang akan berkembang dan tumbuh dalam perkawinan," kata Rismiyati E. Koesma, dosen Psikologi dari Universitas Padjajaran, lewat surel.

Rismayati mengutip pendapat Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga marriage and relationship educator and coach, yang mengutarakan bahwa ada lima tahapan utama dalam perjalanan kehidupan perkawinan. "Hubungan suami-istri dalam pernikahan bisa berkembang dalam lima tahapan perkembangan, namun tahapan ini belum tentu sama antara pasangan suami-istri yang satu dengan lainnya.Tahapan ini akan dilalui oleh pasangan dalam waktu yang berbeda, ada yang terjadi secara berurutan, ada yang melompat ke tahap yang tinggi tetapi bisa kembali pada tahap sebelumnya. Jadi tahapan perkembangan pernikahan sangat unik individual sifatnya, tidak bisa di sama ratakan," jelasnya. 

Tahap tersebut adalah: 

  • Tahap pertama: Romantic Love. Pasangan suami-istri merasakan gelora cinta yang mengebu-gebu. Biasanya terjadi pada saat bulan madu pernikahan; pasangan selalu ingin melakukan kegiatan bersama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
  • Tahap kedua : Disappointment or Distress. Masa pasangan kerap saling menyalahkan, memiliki rasa marah, kecewa pada pasangannya, dan ada keinginan untuk menang sendiri atau lebih benar dari pasangannya. Solusinya beragam, mulai dari mendiskusikan dari hati- ke-hati, atau sebaliknya mengalihkan rasa kecewa pada aktivitas berlebih pada pekerjaan atau tugas kantor, mengalihkan perhatian pada anak atau hal lain yang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa pasangan pada situasi yang tak tertahankan lagi terhadap hubungan dengan pasangannya.
  • Tahap ketiga: Knowledge and Awareness. Di tahap ini menurut Dawn, pasangan sudah dapat memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Mereka akan sibuk mencari informasi tentang bagaimana kebahagiaan perkawinan itu terjadi, bisa dengan bertanya kepada pasangan yang lebih senior, mengikuti seminar-seminar perkawinan dan konsultasi perkawinan.
  • Tahap keempat: Transformation. Berada di tahap ini, masing-masing pribadi akan mencoba menunjukkan tingkah laku yang berkenan di hati pasangannnya, masing-masing ingin membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangannya. Pada tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang menyeluruh, kelebihan dan kekurangan pasangan sudah dapat disikapi dengan positif. Masing-masing pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
  • Tahap kelima: Real love. Suami dan istri kembali dipenuhi dengan keceriaan, kemesraan, keintiman, kebahagiaan, dan rasa kebersamaan yang kuat.  Masing-masing akan saling memberikan perhatian satu sama lain, semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. Real love tidak mungkin terjadi dengan sendirinya tanpa ada usaha dari masing-masing pasangan.

Nah, jika saat ini kamu sedang merasa kurang sayang dengan pasanganmu, bisa jadi kamu sedang berada di tahap ''Disappointment or Distress”,  yaitu ketika masing-masing pribadi merasa kecewa dan marah pada pasangannya, saling menyalahkan dan merasa benar sendiri.

Penyebabnya? Penyebabnya?

"Penyebabnya adalah ketika masing-masing pasangan mulai melihat adanya kekurangan dari pasangannya, yang dahulu tidak pernah ditunjukkan. Mungkin dulu disembunyikan. Mengapa ini bisa terjadi, karena masing-masing sudah mulai membuka 'topeng', mulai ada kebutuhan baru, sehingga tidak perlu menjaga citra diri lagi," jelas Rismayati. Psikolog ini menuturkan bahwa rasa kecewa ini akan berkelanjutan apabila masing-masing pasangan tidak berusaha mengenal dan memahami kebutuhan pasangannya. 

Itu juga level perasaan menggebu-gebunya berkurang. Namun, bagaimana jika dalam beberapa bulan/ tahun belakangan cinta itu sudah tidak ada. Nol. Nada. Tengkurap.

"Ini merupakan tanda bahwa masing-masing pasangan sudah saling tidak peduli satu sama lain, tidak ada lagi kebutuhan untuk bersama, sehingga dapat dimengerti bila tidak ada rasa sayang dan rindu kepada pasangannya," Rismayati menerangkan. Mati rasa. "Hal ini perlu diwaspadai karena bisa sampai pada kondisi masing-masing pasangan berjalan sendiri-sendiri dan tidak merasa perlu untuk mengetahui apa yang dilakukan pasangannya. Bila masih ada rasa marah pada pasangan, justru lebih sehat karena artinya masih peduli pasangannya."

Mati rasa = rasanya sudah rest in peace. Rasa marah = masih peduli, masih ada emosi yang terlibat.

Beberapa ahli dan penelitian menyebutkan bahwa salah satu penyebab hubungan putus di tengah jalan, rasa cinta tergerus adalah ekspektasi yang terlalu tinggi.  Hal ini juga berlaku pada generasi milenial

"Betul sekali, perasaan cinta mulai menghilang ketika salah satu pasangan atau keduanya mulai mengalami perubahan kebutuhan atau keinginan yang diharapkan (baca: ekspektasi) dari pasangannya. Secara alami kebutuhan seseorang memang akan berubah sejalan dengan perkembangan usianya Misalnya, laki-laki pada suatu saat [dalam hidupnya] memiliki kebutuhan yang kuat untuk bisa eksis di lingkungan/ kantornya, sehingga posisi/ jabatan menjadi kebutuhan nomor satu dan istri menjadi nomor dua." Situasi akan memburuk jika suami tidak menyampaikan—atau istri tidak mengerti. Akhirnya, kedua belah pihak kecewa. 

Namun, sebenarnya adakah yang disebut 'ekspektasi ideal'?

"Ketika berhubungan dengan orang lain sebaiknya ekspektasinya tidak berkaitan keinginan/kebutuhan mendapat perhatian, penghargaan maupun pengakuan atau kenyamanan rasa. Kalaupun akan berhubungan dengan orang lain, buatlah ekspektasi yang lain kecuali afeksi atau kasih sayang. Misalnya kebutuhan mencapai prestasi kerja di kantor, kebutuhan untuk mempelajari hal baru, dsb," sarannya. 

Menurut Rismayati istilah ekspektasi "terlalu tinggi" atau "terlalu rendah" memang berlaku di masyarakat. Biasanya dikaitkan dengan intensitas atas kebutuhan tersebut. Terlalu tinggi artinya ada obsesi untuk setiap saat mencari pemuasan dari kebutuhan tersebut; terlalu rendah berarti ia mengabaikan kebutuhan tersebut karena diantisipasikan tidak bisa dipenuhi. Intinya, terlalu tinggi atau rendah, ekspektasi apa pun biasanya tidak memberikan dampak positif, termasuk dalam hubungan cinta. 

Dan seandainya selama ini kamu ragu apakah mengutarakan level cintamu yang mengenaskan, atau menyimpan dalam hati saja, Rismayati menyarankan untuk "sebaiknya diutarakan saja." Asal, memperhatikan waktu dan momen, yakni ketika pasangan tersebut sudah sama-sama menghayati adanya perbedaan atau perubahan sikap pasangan yang mencerminkan kondisi "kurang/tidak cinta” tadi. "Hal ini harus disampaikan ketika keduanya siap mendengarkan ungkapan tersebut, bukan untuk diperdebatkan atau saling menyalahkan, melainkan untuk dikaji apa penyebabnya dan apa yang akan dilakukan kemudian. Bila disimpan sendiri, sama saja dengan menyimpan 'bom', karena bila sudah tidak tahan bisa meledak sewaktu-waktu. Mohon diingat bahwa menjalani kehidupan perkawinan adalah membangun 'team work' yang solid, yang saling mendukung bila ada pasangan yang sedang sulit," ujarnya mengingatkan. 

Jangan dibiarkan perasaan itu dorman. Mati suri—atau mati rasa. Lakukan sesuatu. Ini penting karena, "pasangan suami-istri idealnya punya target perkawinan yang bisa dimodifikasi atau diubah setiap enam bulan atau satu tahun sekali. Ada komitmen untuk menjaga keharmonisan perkawinannya serta berkembang ke tahap perkawinan keempat yaitu transformation, dan tahap perkawinan kelima yaitu real love.

Sebagai pertimbangan, Rismayati menyarankan melakukan beberapa hal praktis ini: 

  • Tanya langsung kepada pasangan tentang: apa tujuan atau target perkawinan kalian. Bila belum ada berarti ketika menikah tidak ada target bersama yang ingin dicapai. Jika ini yang terjadi, segeralah buat bersama target perkawinan berdua, baik jangka pendek maupun jangka panjang. "Ingat perkawinan adalah seumur hidup." 
  • Buatlah daftar kekuatan dan kelemahan masing-masing, kemudian diskusikan sifat atau tingkah laku mana yang sudah disetujui pasangan, dan mana yang perlu diubah. Bersediakah pasangan untuk mengubahnya? Pasangan harus mendukung bahkan harus berperan sebagai mentor atau coach dalam membantu pasangannya ketika akan mengubah sifat atau perilakunya. Kalau pasangan tidak sanggup mengubah, baru minta tolong orang ketiga/ tenaga professional. (Ini tahap ketiga: knowledge and awareness.)
  • Setelah masing-masing sepakat mengubah, analisa kembali mana sifat/ perilaku yang tidak bisa diubah, masing-masing pasangan harus ikhlas menerima kelemahan pasangannya karena ia sudah berusaha mengubahnya tetapi tidak sanggup. "Ingat tidak ada manusia yang sempurna," jelasnya. Bila berhasil, akan sampai pada tahap perkawinan keempat, yaitu transformation. 
  • Miliki dan ciptakan komunikasi yang terbuka, penuh empati dan ketulusan untuk membangun relasi yang nyaman. 
  • Miliki dan sediakan waktu untu berdua, berikan kejutan yang penuh kasih kepada pasangan. 

Namun, namun, sebelum melakukan dan menjalani langkah-langkah tersebut, sebenarnya adakah kemungkinan rasa cinta itu balik lagi? Atau bahkan lebih besar? 

"Kita bisa jatuh cinta lagi pada pasangan ketika kita sampai pada tahap transformation," jawab Rismayati. "Yaitu sudah memahami pasangan secara menyeluruh, bukan hanya kebaikannya melainkan kekurangannya. Jatuh cinta pada kekurangan pasangan adalah indah," tuturnya. 

Akan tetapi, di sisi lain, ada skenario: rasa romantis, ingin berduaan, ingin bersentuhan itu mungkin benar-benar tidak akan terwujud lagi. Alias, mati rasa dan akhirnya, benar-benar mati. Bahkan ketika sudah melakukan berbagai cara. Apakah bertahan dan berharap mungkin akan ada akhir bahagia adalah tepat?

"Keputusan untuk mempertahankan perkawinan atau berpisah terpulang pada pasangan tersebut, yang penting memahami dan mengetahui risiko yang akan terjadi ketika pasangan tersebut tetap mempertahankan perkawinan yang sudah tidak ada rasa cinta dan ketika memilih berpisah. Semuanya ada risikonya, dan yang penting dewasa dalam menyikapi keputusan tersebut," Rismayati berpendapat. 

"Yang perlu dipertimbangkan setiap saat oleh pasangan suami istri adalah: sama-sama menyusun dan menciptakan kehidupan perkawinan yang dicita-citakan bersama, sehingga komitmen untuk menjaga keharmonisan perkawinan bisa diupayakan setiap saat. Masing-masing pasangan bisa saling mengontrol untuk tetap berada di jalan yang sama dan tetap fokus pada target perkawinan bersama. Kehidupan perkawinan adalah tantangan yang bisa diupayakan untuk dicapai bersama-sama," tegasnya. 

Jadi: silakan menghela nafas panjang dulu, dan coba tips di atas. Siapa yang tahu—mungkin saja kamu akan lebih cinta lagi kepada pasanganmu, lebih daripada X tahun yang lalu!