Bagaimana Memahami Teman atau Kerabat yang Sakit Keras

Bagaimana Memahami Teman atau Kerabat yang Sakit Keras
ISTOCK

Oleh Sinta Mira, M.Psi (Psikolog klinis, founder VIDA Rumah Konsultasi, dan pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atmajaya, Jakarta). 

Sakit keras yang bisa disebut juga sebagai sakit kronis (chronic illness) adalah kondisi sakit untuk waktu yang lama dan biasanya tidak bisa disembuhkan sepenuhnya. Sakit kronis bisa menjadi penyakit terminal (terminal illness) saat penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan dan sejalan dengan waktu malah memberikan hasil negatif yang mengarah pada kondisi fatal (kematian).

Menerima diagnosa mengidap penyakit kronis/ terminal, adalah sesuatu yang berat dan penuh dengan kondisi emosi campur aduk bagi yang mengidapnya . Namun, tidak hanya bagi si penderita, emosi campur aduk juga dialami oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya. 

Menerima kondisi sakit berat ini tidak mudah. Ada beberapa fase emosi yang dialami oleh seseorang yang didiagnosa mengidap penyakit berat. Fase ini juga bisa terjadi pada keluarga dan orang-orang terdekat penderita : 

1. Mengingkari (denial),  berupa rasa tidak percaya dan belum bisa menerima bahwa dirinya mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan tersebut. Bahwa hidupnya akan berubah drastis karena diagnosa penyakit tersebut. Dari bisa aktif dan beraktivitas sehari-hari, sekarang harus banyak menghabiskan waktu di tempat tidur atau di rumah sakit. 

2. Kemarahan (anger), terhadap kondisi, terhadap Tuhan, dan terhadap penyakit yang dideritanya. Biasanya penderita merasa Tuhan tidak adil memberinya cobaan yang berat seperti itu. Keluarga pun bisa merasakan kemarahan yang sama. 

3. Tawar-menawar (bargaining), yaitu mulai menawar pada Tuhan untuk diberi kesembuhan karena rasa sedihnya terhadap kondisi sakit tersebut. 

4. Depresi, rasa sedih yang mendalam yang berujung pada keinginan untuk menghindari dunia luar, tidak mau bertemu orang lain, dan hanya ingin menangis dan meratapi nasib sendiri.

5. Penerimaan (acceptance), akhirnya penderita bisa menerima kondisi sakitnya itu—menerima dengan ikhlas segala cobaan yang dialami. Dan menjalani dengan tabah. Begitu juga dengan keluarga, akhirnya bisa menerima bahwa orang terdekatnya tidak akan pulih sempurna lagi. 

Bagi keluarga atau pihak yang sehat, saat memiliki kerabat atau kenalan yang mengalami sakit keras, sebaiknya sungguh bisa memahami dan berempati pada penderita. Karena kondisi yang dialami penderita adalah sesuatu yang berat secara fisik dan psikologis. Bukan sekedar sakit seperti  flu yang bisa segera sembuh dalam 2-3 hari, atau demam yang akan pulih kembali dalam waktu 1-2 minggu saja. 

Rasa empati ini bisa ditunjukkan dengan cara memahami apa yang dialami penderita. Jadi bagi keluarga dan orang sekitar, sebaiknya memahami ini dengan memberikan situasi yang tenang dan senyaman mungkin bagi penderita.

Pahami kondisi psikologisnya dengan juga berusaha memahami bahwa penderita sakit sedang berada di fase yang mana. Kalau ia sedang di fase marah, biarkan ia marah. Dengarkan saja, jadilah sahabat yang baik baginya. Jangan menghakiminya dengan kemarahan yang ia rasakan. 

Jika ia sedang di fase depresi dan tidak ingin ketemu orang lain, pahami. Biarkan ia menangis, berikan waktu untuknya sendiri. Namun tunjukkan bahwa keluarga dan orang terdekat selalu akan mendukung di dekatnya. 

Jangan paksakan sudut pandang kita pada penderita. Karena tidak mudah bagi penderita untuk bisa memahami itu semua saat ia sedang bergumul dengan kondisinya. Biarkan penderita di kondisi yang ternyaman baginya saat itu dengan menunjukkan dukungan emosi bahwa keluarga dan kerabat dekat akan selalu ada baginya. 

Apabila penderita sakit sedang dirawat di rumah sakit, ikuti kebijakan-kebijakan kunjungan dari rumah sakit. Karena rumah sakit membuat jadwal waktu berkunjung untuk kebaikan pasien. Apalagi untuk penderita sakit keras yang secara fisik memang sudah terbatas, sebagian besar waktu ia butuhkan untuk beristirahat dan membuat tubuhnya nyaman dalam kondisi sakit yang tidak mengenakkan tersebut.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah media sosial. Seiring dengan berkembangnya kebiasaan sharing di media sosial, seringkali foto-foto kunjungan ke penderita sakit juga diunggah di ranah tersebut. Sebenarnya kunci utama untuk posting apapun di media sosial tetaplah sama: Think twice. Apalagi saat menunjukkan kondisi penderita yang sedang sakit keras. Asas empati pada penderita harus selalu diutamakan sebelum klik ‘post’ di smartphone. Karena saat sebuah foto atau postingan sudah terpampang di media sosial, kita sudah tidak bisa mengontrol lagi komentar, reaksi, atau apapun yang mungkin muncul dari dunia di luar sana. Padahal sesungguhnya, pada momen berat dalam hidup tersebut, yang paling dibutuhkan oleh penderita adalah rasa empati dan dukungan yang bisa meringankan rasa sakitnya dan membuatnya nyaman.