Blue Whale Challenge: Sebaiknya Orangtua Harus Bagaimana?

Blue Whale Challenge: Sebaiknya Orangtua Harus Bagaimana?
ISTOCK

Pentingnya orangtua melek teknologi dan tahu isu terkini.

Another month, another challenge. Belum selesai geleng-geleng kepala dengan ‘huh challenge’, ‘skip challenge’, ‘eraser challenge’, bulan ini kita “ditantang” lagi dengan Blue Whale Challenge. What the … is this-fishy-giant-mammal-coloury-challenge?

APA ITU BLUE WHALE CHALLENGE?

Blue Whale Challenge mengharuskan pemainnya untuk melakukan serangkaian tantangan yang tujuannya menyakiti diri sendiri yang diberikan oleh seorang master atau kurator yang tidak diketahui identitasnya selama 50 hari penuh. Bentuk tantangannya dari yang biasa sampai yang super ajaib/ aneh/ mengerikan/ tidak masuk akal, dari menonton film horor, sampai mengukir berbagai macam bentuk paus di tangan dengan menggunakan senjata tajam dan puncaknya adalah melakukan bunuh diri. Sialnya, meski sudah berdarah-darah, pemain tidak bisa berhenti seenaknya, karena sang kurator ini memberikan sebuah ancaman seperti akan membunuh ibunya apabila tidak menyelesaikan permainan tersebut. Target tantangan adalah remaja yang mempunyai tingkat emosi yang tidak stabil serta yang menjadi korban bullying.

Berkat “jasa” internet dan media sosial, saat ini, Blue Whale Challenge sudah menyebar ke berbagai negara, mulai dari benua Eropa, seperti Spanyol, Ukraina, Portugal, Perancis, dan juga Inggris, sampai yang terbaru ditemukan di Brazil. Apakah bermain lompat tali, PlayStation, XBox, dan permainan terbilang “aman” lainnya sudah tidak lagi bisa menghibur remaja saat ini? “Ada banyak challenge yang beredar sejak lama, tapi faktor media sosial itu sangat besar. Ditambah, para remaja ini lagi ingin mencoba sesuatu yang baru, ingin menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan mendapat pengakuan dari banyak orang, sehingga melakukan sesuatu hal yang populer dan tidak biasa. Istilahnya, pengakuan dan media sosial merupakan sebuah duet maut,” kata Imelda Saraswati, M.Psi, seorang Psikolog Anak.

BAGAIMANA ORANGTUA MENGANTISIPASI?

"Di atas semua itu, anak-anak ini sangat vulnerable. Plus, emosinya yang juga belum matang-matang banget. Perkembangan otak yang mengatur penalaran objektif belum berkembang dengan sempurna," lanjut Imelda.

Oleh karena itu, orangtua sebaiknya sensitif dengan kondisi dan perkembangan anak. Hati-hati agar anak-anak tidak menjadi sangat tertutup dari dunia nyata sekitarnya dan seperti mempunyai dunia sendiri, apalagi jika mereka sedang di depan komputer ataupun handphone. Juga, saat mereka terlalu sering menghabiskan waktu dengan internet dan media sosial, mempunyai banyak nomor telepon dan alamat e-mail yang tidak jelas di handphone atau komputernya. Dan, ketika mereka terlalu cepat marah saat habis menggunakan internet atau mengirim pesan, orangtua pun butuh lebih waspada. 

Usaha lain yang bisa dilakukan oleh orangtua menurut Imelda adalah agar berusaha melek teknologi dan sadar akan isu-isu yang sedang berkembang saat ini, dan mengetahui siapa saja teman dekatnya dan lingkungan pergaulan sehingga tidak mempunyai kekhawatiran yang berlebihan kepada anaknya dan membatasi mereka untuk bermain media sosial.

“Isu-isu seperti ini akan ada terus hanya saja bentuknya yang berubah. Solusi dasar kembali ke komunikasi antara orangtua dan anak. Dan bagaimana cara orangtua men-treat anaknya, sehingga meskipun dalam masa gamang mereka bisa berdiskusi ke orangtuanya," tandas Imelda.