Collaborative Parenting: Pola Asuh yang Sedang Trendan Bagaimana Melakukannya

Collaborative Parenting: Pola Asuh yang Sedang Trendan Bagaimana Melakukannya
ISTOCK

Dituntut: kesabaran.

Ada banyak pola asuh di luar sana, salah satunya yang sedang dicoba oleh banyak orangtua: collaborative parenting.

"Inti dari collaborative parenting terletak pada adanya kerjasama antar orangtua dan anak untuk mencapai suatu tujuan," jelas Mayang Gita Mardian, M. Psi., Psikolog., seorang psikolog anak dari TigaGenerasi. "Dalam hal ini orangtua dan anak berperan sebagai rekan," lanjutnya, "collaborative parenting menjembatani orangtua dan anak untuk bekerja bersama dalam mengidentifikasi masalah, berdiskusi mengenai variasi solusi yang mungkin dilakukan, menyepakati solusi, dan mengevalusi hasil. Rasanya memang terdengar rumit, tapi bisa dilakukan kok. Semua kegiatan dan perilaku dapat melibatkan collaborative parenting dalam pelaksanaannya.”

Intinya: orangtua dan anak menjadi satu rekan. Anak menjadi rekan orangtua dalam menyelesaikan masalah secara bersama-sama.

Contohnya, menurut Mayang seperti ini: “Misalnya, anak tidak mau menyiapkan buku pelajaran. Dalam hal ini orangtua dan anak harus bekerja bersama mengidentifikasi masalah (anak tidak mau menyiapkan buku), lalu berdiskusi mengenai solusi yang mungkin dilakukan (anak menyiapkan buku di sore hari, anak menyiapkan buku di malam hari, dan orangtua membantu memeriksa setelah anak selesai), menyepakati solusi (anak menyiapkan buku di sore hari dengan bantuan orangtua memeriksa kelengkapannya). Kemudian, mengevaluasi hasil di mana orangtua memantau anak sehari-hari dalam memunculkan perilaku tersebut, apakah sudah berjalan dengan baik atau terdapat kendala.”

Adakah menfaatnya yang di dapatkan (orangtua dan anak) dari menjalankan collaborative parenting?

“Tentunya ada!” tegasnya. Antara lain:

  1. Orangtua lebih mampu meregulasi diri dan menularkan hal baik kepada anak.

  2. Orangtua dapat lebih mengenal karakter anak dengan mengetahui ide pemikirannya.

  3. Menghindari kondisi “permusuhan” antara orangtua dan anak.

  4. Melatih anak menjadi pemecah masalah yang efektif untuk dirinya sendiri.

  5. Melatih anak menjadi bijaksana terhadap perilakunya sendiri dan bahwa perilakunya tersebut dapat mempengaruhi orang lain.

Namun, pada kenyataannya sering kali komunikasi dan kolaborasi sulit terjalin, atau kalau pun terjadi, hanya satu kali, setelahnya blah...

“Karena dituntut untuk bekerja bersama anak yang masih cenderung labil, maka penting bagi orangtua untuk menyiapkan diri sebelum melakukan collaborative parenting, seperti: orangtua mau dan mampu menenangkan emosi diri dan ‘hadir’ sepenuhnya untuk anak, orangtua juga mau mendengarkan anak secara terbuka, dan orangtua mau berempati pada rasa frustasi anak dan membantu anak menghadapi emosi negatif,” ujarnya.

Dengan kata lain, orangtua harus berada di sisi dan membimbing anak dengan S-A-B-A-R. Meski cara ini diklaim mendulang kesuksesan setelah dijalankan, apakah orangtua masih perlu memberikan batasan dan hukuman kepada anak?

“Iya,” jawabnya. “Karena pada dasarnya anak tetap membutuhkan batasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar menjadi lebih teratur. Namun, sering kali terdapat konflik dalam memberikan aturan dan batasan pada anak. Misalnya, anak tidak mau menjalankan aturan yang telah disepakati mencuci kaki sebelum tidur," ujarnya memberi contoh. "Pada titik inilah collaborative parenting dapat semakin berperan dalam membantu anak meregulasi diri dan memecahkan masalah dengan cara bekerjasama mencari solusi dari masalah perilakunya tersebut. Orangtua juga dapat memberikan pilihan 'yes dan yes' pada anak. Misalnya, anak tidak mau mencuci kaki sebelum tidur karena masih sibuk bermain. Berikanlah pilihan padanya, apakah mau mencuci kaki sekarang atau 2 menit lagi. Atau mau mencuci kaki di kamar mandi luar atau kamar mandi dalam. Dengan cara ini, negosiasi tetap dapat dilakukan orangtua pada anak dengan tetap mengarahkan anak pada tujuan utama yaitu mencuci kaki sebelum tidur,” papar Mayang.

HALAMAN
12