Ini Alasannya Ekspektasi Bisa Merusak Hubungan Percintaanmu

Ini Alasannya Ekspektasi Bisa Merusak Hubungan Percintaanmu
ISTOCK

Memiliki ekspektasi dalam hubungan percintaan memang wajar, tapi jangan terlalu berlebihan karena bisa jadi hal itu malah merusak hubunganmu

Seberapa tinggi ekspektasimu terhadap pasanganmu? Setinggi ala si dia adalah seseorang harus yang pengertian, baik budi, tidak sombong, suka bersih-bersih, rajin menabung, sabar, lucu, tidak gampang marah, kaya, dan perut rata—pokoknya, harus dan wajib setiap hari? Atau serendah apa adanya? Apa pun ekspektasimu ternyata memiliki dampak atas sukses atau kurang suksesnya percintaanmu. 

“Pertama-tama, aku mau menjelaskan dulu tentang ekspektasi, ya. Ekspektasi dalam hubungan romantis adalah hal-hal yang kita harapkan dari hubungan kita. Ekspektasi dalam hubungan romantis bisa berupa harapan akan arah hubungan, bisa juga harapan tentang perilaku pasangan. Misalnya (ekspektasi tentang arah hubungan), kita berharap pasangan akan melamar tahun ini dan (ekspektasi tentang perilaku pasangan) berharap pasangan akan mengajak kencan di hari Valentine atau Halloween,” ujar Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi, Psikolog., seorang dosen dan psikolog klinis dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta, dan pendiri Cinta Setara, kepada Woop

Ekspektasi = harapan = normal. 

“Setiap orang pasti punya ekspektasi dalam hubungan romantis. Ekspektasi ini bisa berasal dari berbagai sumber. Ada yang kita sadari, ada juga yang tidak sepenuhnya kita sadari. Misalnya saja, dari relasi dengan orangtua. Jika orangtua kita hangat dan penyayang, tentu kita berharap pasangan kita juga hangat dan penyayang. Kalau orangtua kita kurang memperhatikan dan cuek dengan kebutuhan kita waktu kecil, tanpa kita sadari kita ‘berharap’ pasangan kita akan cuek, sehingga kita pun berusaha keras mencari perhatian pasangan, ya kan?” jelasnya.

Apakah penting memiliki ekspektasi? 

“Justru penting punya ekspektasi dalam hubungan. Kita jadi tahu apa diharapkan dari sosok pasangan. Ada baiknya ekspektasi ini kita sadari," tegasnya. 

Ada anggapan bahwa salah satu penyebab percintaan generasi milenial gagal dan hancur berkeping-keping adalah ekspektasi yang terlalu tinggi. Ingin diperlakukan seperti queen bee setiap hari (maaf, hanya ada satu queen bee, yakni Beyonce, bukan kita), padahal fase bulan madu itu ada masa kedaluwarsa. 

"Ekspektasi yang berbahaya ialah ekspektasi yang tidak realistik. Inilah yang nantinya akan menjadi bahaya bagi sebuah hubungan. Kalau kita sudah sadar bahwa kita punya ekspektasi yang tinggi, ada baiknya menyadari dan lihat lagi apakah harapan tersebut realistik. Misalnya, berharap pasangan selalu ada saat kita butuhkan, 24 jam per hari. Apakah realistik? Jika tidak realistik, sebaiknya kita sesuaikan dengan yang ada di kehidupan nyata,” kata Pingkan.

Menurutnya, adakalanya kita memiliki harapan "tinggi" yang masih realistik. Misalnya, jika kita adalah seorang lulusan magister dan berharap mendapat pasangan dengan tingkat pendidikan yang setingkat atau lebih. Ini masih realistik.

“Nah, kalau kebetulan jatuh cinta dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah, ada baiknya dikomunikasikan ke pasangan. Tidak selalu kita harus menurunkan standar ekspektasi kita, lho. Punya ekspektasi yang tinggi ke pasangan artinya kita menghargai diri kita sendiri. Sekali lagi, perlu dicek apakah harapan tersebut realistis?" paparnya.

Intinya, ada ekspektasi tinggi yang realistik, dan ada ekspektasi tinggi yang tidak realistis. Seperti mengharapkan bisa mendapatkan pasangan seperti dan seganteng Chris Evans itu mungkin, tapi memiliki Chris Evans yang asli dan memproklamirkan cintanya kepadamu—hmm... mungkin hanya bisa terjadi di dunia Disney.