Cara Nadila Ernesta Mengatasi Kesulitan Memberikan ASI

Cara Nadila Ernesta Mengatasi Kesulitan Memberikan ASI
Kamu Tidak Sendirian 3 Ibu Ini Pun Mengalami Kesulitan Memberikan ASI - 0

Nadila Ernesta, Adik Monica dan Astrid Satwika. Kamu tidak sendirian, 3 ibu Ini pun mengalami kesulitan memberikan ASI

Biasanya kurang, tapi yang terjadi pada Astrid adalah produksinya melimpah ruah. Ibarat prinsip ekonomi, supply melebihi demand—dan disertai rasa sakit. 

Awalnya, saat masih hamil, Astrid sedikit khawatir karena ASI "temen-temenku udah merembes bahkan sebelum melahirkan, sementara aku sampai enam bulan pun belum ada." Oleh sebab itu, setiap berdoa, isinya adalah: "Ya Allah, ijinkanlah ASI aku nanti banyak banget, sampai berlebihan," ujarnya memejamkan mata, dan mengangkat kedua tangan di depan wajahnya. 

Tertawa kecil, Astrid berkata: "be careful what you wish for!" Menjalani Caesar, menunggu bayi yang "sempat kuning jadi masuk inkubator tapi cuma 24 jam", Astrid menyadari bahwa ASI-nya mulai banjir. Lalu, si anak diberikan susu untuk pertama kalinya, proses berjalan lumayan lancar, hanya diwarnai dengan, "dia keselek. Mungkin karena deras banget kali ya," ujarnya.

Sampai di rumah, ternyata makin banyak. "Makin banyaaak," tekannya, "sampai-sampai aku mompa itu bisa sampe satu jam lebih, kiri kanan. Itu capek 'kan?" ujarnya. Seberapa banyak? "Sehari bisa satu liter lebih, sehari bisa [mompa] sampai lima kali. Kulkas di kamarku, di dapur penuh. Sampai aku taruh di rumah mertua, rumah mama—sampai ratusan botol," katanya tanpa bermaksud melebih-lebihkan. 

Impian semua orangtua 'kan: produksi ASI cukup, bahkan berlimpah, pasti bisa memberikan ASI selama dua tahun. Lupakan dua tahun, "pas empat bulan, dia sudah nggak mau nyusu lagi," kata Astrid, menghela nafas. Rania Aishalina yang masih berumur empat bulan, sering kali menangis, menolak menyusu dari payudara ibunya. "Akhirnya, ASI perah, itu dia mau, 100 ml sekali minum, meskipun kalau sudah lebih dari dua hari dia nggak mau. Aku juga bingung itu kenapa," cerita Astrid. Namun, semakin bertambah bulan, Rania semakin tidak antusias dengan ASI, dari botol ("semua jenis dot dengan berbagai bentuk nipple aku beli") maupun dari sumber utamanya. Yang terjadi berat badannya turun, "dokter aja bingung," lanjut Astrid, "dia kayak benci banget sama ASI," tukasnya. "Dikasih nyusu, kayak dikasih makan batu," celetuknya. 

Segala cara dilakukan, termasuk menyuapi ASI dengan sendok ("nggak bisa banyak, karena dia nggak bisa diam"), hingga mendatangi ahli laktasi dan disarankan untuk diopname karena "dibilang tongue-tie", tapi "aku menolak," ujarnya. Cerita panjang dipendekkan: "akhirnya aku struggling banget," kenang Astrid dengan ekspresi sedih. Selama empat bulan, si bayi berontak, menangis setiap kali disodori ASI, "aku juga nangis terus. Setiap bangun pagi tuh, aku excited, deg-degan punya sesuatu yang baru," akunya. "Cuma satu sisi juga kayak, 'ah harus bangun lagi nih, harus mompa lagi. Gue baru istirahat, nih,'" ceritanya jujur. "Pokoknya, pas mau nyusuin tuh, kayak dikasih tantangan gitu," paparnya. "Ada juga pas nyusuin nggak sakit, itu happy-lah. Gimana sih, ibu menyusuin 'kan bonding-nya priceless banget 'kan? Tapi di sisi lain juga nggak bisa dipungkIri, sakit ya sakit," tuturnya dengan nada menyerah. 

" Lalu, "Akhirnya dia menyusu langsung itu cuma sampai lima setengah bulan, dan sampai tujuh bulan minum ASI perah. Itu juga sembari minum susu formula. Sayang banget 'kan?" tanyanya dengan serius. 

Subjek yang sedang dibicarakan, Rania yang sekarang berumur lima tahun, sedang aktif di sebelahnya; sesekali menyela ibunya saat berbicara ("inkubator itu apa?" atau, "aku 'kan udah nggak bayi lagi", dan beberapa kali meminta ibunya berhenti berbicara dan bermain saja, dalam bahasa Indonesia, dicampur bahasa Inggris). 

Bingung? Sedih?Demam (eh?)? :Itu padahal sudah dipompa, bersih, tapi [payudara] tetap gede banget, keras," tekannya. Sakit? "Kalau suster home care datang, dan diurut, aku teriaknya kayak apa tahu," katanya sambil menengadah dan memutar bola matanya. "Sementara dia [melirik anak perempuannya yang sedang berceloteh sendiri] disurun nenen nggak mau." 

Alhasil, agenda utama sehari-hari adalah "mompa dari pagi sampai malam, udah kayak sapi," dan sering kali dilakukan sambil menangis saking sakitnya. Untungnya, bala bantuan dari ibu dan adik siap membantu, juga suami. 

"Emang waktu anakku masih bayi, suamiku itu bukan yang hands-on, yang luwes, megang bayi—dia aja megang bayi kayak megang nampan," katanya sambil memperagakan seseorang yang sedang memegang nampan dan takut terjatuh. "Dia takut banget, mungkin karena masih merah, dan masih baru banget" tambahnya. "Kadang kalau aku begadang dia, tidur. Cuma semakin ke sini, bayinya semakin gede dan dia melihat perjuangan aku, dia ikut bangun, ikut gantiin Pampers. Trus, pas aku di breast massage itu, dia rela tangannya aku remes selama dua jam; malah kadang tercakar," ujarnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dan makin dia gede, malah nempel sama bapaknyalah. Mandi apa segala macam, sama bapaknya. Masak harus Papa," katanya, berdecak heran. ("Pancake buatan mama enak kok," kata Rania. "Tapi lebih enak Papa," imbuhnya dengan jahil.") 

Sesakit apa? "Lumayan bikin trauma sih, sampai kepikiran nggak mau punya anak lagi," akunya dengan intonasi serius. "Ini juga setelah lima tahun," tambahnya sambil menyentuh perutnya yang sedang berusia enam bulan. "Mungkin karena aku pegang sendiri juga, jadi masih banyak pertimbangan, masih pengen full ke dia, supaya perhatiannya nggak terbagi. Dan sejujurnya, aku juga masih trauma dengan ASI itu," tegasnya. 

Menurut dokter, Astrid mengalami overproduction, "jadi aku harus stop makan yang gimana, ya?" katanya, terdiam sebentar. "Makan yang enak-enak, makanan Jepang yang kusuka yang memang semuanya sehat, sama dikurangi makan daun-daun, katuk, dan sebagainya," ujarnay dengan nada heran. "Dan hikmahnya, yah ini," katanya sambil menunjuk ke badannya, "berat badanku cepat banget turun, hahaha," katanya terbahak. "Sampai dikira diet apa, padahal nggak ada apa-apa. Yah, tapi ASI itu 'kan 500 kalori sehari, dan aku banyak banget [produksinya]," ujarnya. "Jadi 23 kilo dalam 3 bulan. Habis. Sampai lebih kurus dari sebelum hamil. Itu hikmahnya, cuma sakitnya itu lho, ya Allah," tekannya, lalu menghela nafas. 

Dan hikmah lainnya: "Pastinya mental lebih siap, kalau hal yang sama terjadi lagi di bayi kedua ini," katanya, "Tapi berharap lancar, makanya sekarang doanya, 'Ya Allah, semoga ASI-nya cukup,'" ujarnya sambil berpose berdoa yang ditirukan oleh Rania. Selain itu, pola makan dijaga, dan Astrid mengaku sudah menyiapkan peralatan perang. Amunisi yang sudah tersedia sejauh ini: salep buat lecet, kantong ASI, botol-botol ASI, berbagai minyak untuk menyusui, double breatpump, breastpad yang banyak, dan pastinya, "get ready... eye cream! ujarnya, terbahak.

Apa pendapatnya ketika mendengar 'perempuan itu baru bisa disebut ibu kalau menyusui'? "Itu sama kayak kalau aku ngedengar ada yang bilang, ‘perempuan [yang melakukan] Caesar itu nggak melahirkan.' Terus gimana, bayinya mau dimasukkin lagi, gitu?" tanyanya dengan nada sengit. "'Kan itu juga sakit ya, jaman dulu 'kan nggak ada caesar. Sekarang ada juga untuk membantu ibu, mengurangi angka kematian ibu," Astrid berargumentasi. "Maksudku, semua ibu pasti mau lahirnya normal, tapi kalau keadaannya bisa membahayakan ibu dan anaknya, kenapa nggak pakai pertolongan lain? Sama kayak ASI, semua ibu pasti ingin yang memberikan yang terbaik untuk anaknya, cuma 'kan kasihan ibu-ibu yang nggak punya ASI, terkena pressure makin stres. Nggak bisa ngasi bayinya ASI, merasa gagal atau merasa ‘bukan ibu yang baik’ karena omongan orang, terus aku juga pernah baca bahkan ada yang sampai anaknya ‘kurang’ karena nggak mau kasih sufor," tuturnya dengan emosi.