Kenapa ya, Susah Sekali Berhenti Membanding-bandingkan Pasangan dengan Orang Lain?

Love
ISTOCK

Melirik Instagram teman, kok kayaknya suaminya selalu mesra dan baik?

Ketika kabar Kate Middleton menikah dengan Pangeran William tujuh tahun yang lalu, bisa dipastikan banyak perempuan (dari berbagai penjuru dunia) yang iri dengan calon istrinya. Agak sedikit lokal, saat Raisa menikah dengan Hamish Daud tahun lalu, efek yang sama (atau mungkin) bisa dirasakan. Bukti kuat: hari pernikahan mereka diperingati sebagai #haripatahhatinasionaljilid2—jilid 1? Hari pertunangan. Pasalnya, banyak perempuan berandai-andai; yang singel bermimpi memiliki pacar seperti Hamish, yang sudah memiliki pacar/suami berharap pasangannya seperti dia—cokelat dan manis.

Perkara membanding-bandingkan pasangan sendiri dengan orang lain seperti ini seringkali kita lakukan. Terutama, saat sedang berantem dan level cinta berkurang drastis. Atau ketika (tidak sengaja) melirik Instagram teman atau selebritis yang kehidupan cintanya sepertinya selalu berbunga-bunga, wangi, bahagia seperti di nirwana. Entah kenapa, perasaan yang muncul adalah: berharap pasangan berubah menjadi seperti itu, sepeti William dicampur Hamish—pangeran, tapi tidak botak. Merasa bersalah... pasti. Namun, ini seringkali terjadi! Apakah hal ini normal? 

Untuk menjawab keingintahuan ini, Woop menghubungi Liza Marielly Djaprie, seorang psikolog klinis dan hipnoterapis dari Sanatorium Dharmawangsa Mental Health Clinic, Jakarta. 

APA UMUMNYA YANG MENYEBABKAN SESEORANG MEMBANDINGKAN PASANGANNYA DENGAN ORANG LAIN?

"Hal ini umumnya terjadi karena ada ketidakpuasan dalam hubungan kita dengan pasangan yang akhirnya menimbulkan gap antara kita dengan pasangan. Semakin lama ini terjadi tanpa dikomunikasikan semakin jauh gap tersebut yang menyebabkan kita makin merasa terpisah dari dia," tutur Liza. 

MAKIN TERPISAH? JADI INI SESUATU YANG NEGATIF? 

"Sebenarnya ini belum tentu negatif juga, karena bisa saja melalui perbandingan tersebut kita bisa lalu berdiskusi dengan pasangan mengenai hal tersebut," jawabnya. Menurutnya dengan hal ini kita bisa tahu bahwa kita memiliki ketidakpuasan atas satu atau beberapa hal darir pasangan: bahkan sebaliknya. "Ketika kemudian kita mampu mendiskusikan hal tersebut, justru itu dapat menjadi ajang perbaikan diri serta hubungan.

JIKA SERING MELAKUKANNYA DAN TERUS MENERUS, APA DAMPAKNYA?

"Dampak berkepanjangannya tentu adalah perpisahan, yang diakibatkan dari rasa jauh dengan pasangan. Mengapa rasa jauh ini timbul tentu akibat dipupuknya perasaan tidak puas yang dihasilkan dari proses membandingkan terus menerus.

"Tapi sekali lagi, proses membandingkan seperti ini belum tentu sesuatu yang buruk, bisa saja justru ini yang menjadi awal perbaikan diri serta hubungan."

INSTAGRAM TEMAN MEMBUAT KEBIASAAN INI SEMAKIN SULIT DIHENTIKAN. IRI BANGET! BAGAIMANA MENGHADAPI PERASAAN TERSEBUT?

"Hal seperti ini harusnya menjadi latihan berkelanjutan buat diri kita, dimana kita tanpa henti mengingatkan diri bahwa apapun yang kita lihat di medsos itu belum tentu apa yang semestinya terjadi. Bahwa dunia nyata dengan dunia medsos bisa sangat jauh berbeda. Kita harus bisa berlatih untuk menggunakan logika dan tidak hanya bergantung pada perasaan saja setiap kali melihat postingan-postingan di medsos," jawabnya.

"Cemburu adalah suatu hal yang wajar. Kadang berawal dari cemburu yang sewajarnya, justru kita jadi termotivasi untuk memperbaiki diri berdasarkan apa yang kita lihat atau baca. Tapi kalau diikuti terus tanpa melibatkan logika bisa membuat kita menjadi individu iri hati tanpa ada niat untuk perubahan diri," Liza mengingatkan. 

APA BAROMETER "SEHAT" DAN "SUDAH BERLEBIHAN" MEMBANDING-BANDINGKAN?

Liza mengingatkan bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak akan pernah berhenti berinteraksi dengan lingkungan sehingga proses membandingkan itu akan selalu ada. 

"Dikatakan sehat jika kita tahu bahwa kita masih bisa menggunakan logika secara tepat dan menjadikannya motivasi untuk perbaikan diri.

"Dan menjadi berlebih-lebihan ketika tanpa henti kita melakukan itu, diikuti dengan perasaan cemburu berlebihan yang mungkin membuat kita menampilkan perilaku atau emosi yang tidak tepat, seperti marah tanpa henti, depresi hingga berselingkuh, tanpa ada keinginan untuk introspeksi diri atau perbaikan diri," tegas Liza. 

JADI APAKAH HARUS DIBICARAKAN DENGAN PASANGAN? KALAU DIA MARAH...

"Seperti yang tadi sudah dijelaskan, hal-hal seperti ini seharusnya menjadi bahan diskusi dengan pasangan. Kita harus mampu melatih kemampuan berdiskusi, menyampaikan maupun mendengarkan. Kita harus siap untuk mampu menyampaikan dengan cara yang bijak dan harus mampu juga untuk mendengar secara bijak. Semakin lama disimpan, maka akan semakin besar ledakannya ketika hal tersebut sudah tidak bisa ditahan lagi."

ADA YANG BILANG BAHWA INI SAH SAJA-SAJA KARENA BERARTI KITA MEMILIKI HARAPAN.

"Rasanya ini bukan hal yang buruk. Pada dasarnya, harapan justru sesuatu yang membuat kita bergerak maju. Pertanyaannya hanya apakah harapan itu sesuatu yang membangun atau malah menjatuhkan? Membangun ketika itu menjadi bensin untuk perbaikan diri, menjatuhkan ketika jadi bom."

BAGAIMANA CARA MENYAMPAIKAN INI KEPADA PASANGAN TANPA MEMBUATNYA SAKIT HATI?

"Sebelum menyampaikan ada baiknya kita memikirkan terlebih dahulu apakah harapan kita tersebut masih masuk akal atau tidak. Apakah itu secara obyektif mampu dilakukan oleh pasangan atau tidak. Apakah mungkin ada cara lain dimana kita bisa ketemu di tengah sehingga pasangan dapat lebih mudah untuk terlebih dahulu mencapai target tersebut. 

"Setelah melalui proses pemikiran bijak dan obyektif itu, umumnya kita jadi mampu untuk menyampaikannya secara lebih luwes tanpa menyakiti pasangan. Pemilihan kata, pemilihan intonasi bahkan pemilihan waktu akan menjadi titik terpenting saat melakukan percakapan tersebut. Yang harus diingat, tujuan kita menyampaikan bukan untuk balas dendam atas perilaku pasangan selama ini. Tujuan terutamanya adalah bagaimana diri sendiri, pasangan serta hubungan tersebut bisa sama-sama berubah menjadi lebih baik serta positif