Membandingkan Anak: Efek Negatifnya Tidak Sebanding 'Hasil yang Diharapkan'

Membandingkan Anak: Efek Negatifnya Tidak Sebanding Hasil yang Diharapkan
ISTOCK

Si sulung vs si bungsu vs si tengah vs orangtua.

Orangtua yang memiliki anak lebih dari satu, seringkali melakukan ini: membanding-bandingkan mereka. Menganggap si sulung satu-satunya yang paling pintar, si anak tengah sebagai anak paling biasa, dan si bungsu paling malas dan tidak bisa diandalkan. Kebiasaan orangtua ini konon katanya dilakukan tanpa sadar, dan mungkin tidak didasari oleh movitasi setan. Namun, apakah memang sepolos itu? 

Tia Rahmania, M. Psi., Psikolog, seorang dosen psikologi dari Universitas Paramadina dan bekerja di Klinik Tumbuh Kembang Kancil Jakarta, mengatakan: “Memang tanpa disadari atau bahkan mungkin disadari, banyak orangtua yang membandingkan antara anak satu dengan anak yang lain. Hal ini kerap ditemukan, mengingat menjadi hal yang alami ketika orangtua mencari standar alias perbandingan suatu hal atau perilaku dari anaknya berdasarkan pengalaman orangtua. Nah, mereka tidak akan mencarinya jauh-jauh, bagi orangtua dengan anak lebih dari satu maka potensi membandingkan antar anak satu dengan lain adalah hal yang kerap terjadi.”

Menurut Tia, praktek ini bukan berarti negatif. Banyak faktor ditentukan oleh bagaimana cara melakukannya. "Namun, memang kebanyakan yang disarankan para ahli psikologi adalah tidak membandingkan antara anak satu dengan lain dan lebih fokus memberi perhatian pada keunikan masing-masing anak. Hal ini diharapkan akan bisa meminimalisir potensi cemburu antar anak, sibling rivalry dan hilangnya motivasi untuk menampilkan perilaku yang diharapkan/baik karena merasa tidak nyaman akibat dibanding-bandingkan.”

Orangtua—terlepas dari sadar atau tidak, memiliki berbagai alasan saat melakukannya. "Misalnya, agar anak yang dibandingkan berubah perilakunya sama atau sesuai dengan perilaku saudara pembandingnya yang dianggap orangtua lebih dapat diterima atau sesuai dengan standar mereka. Kemudian, memotivasi anak untuk mencapai prestasi tertentu.”

Bagi orangtua yang sering melakukan hal ini, sebaiknya harus tahu bahwa hal tersebut akan memberikan dampak pada anak dalam satu dan lain cara—bukan sesuatu yang tanpa efek samping, meskipun mungkin motivasinya "demi kebaikan anak." Tia menjabarkan beberapa di antaranya.

1. Merasa Rendah Diri

Bagaimanapun seorang anak juga adalah manusia biasa seperti halnya orang dewasa. Ketika dia dibandingkan dengan saudaranya, akan muncul dalam persepsi bahwa dirinya lebih jelek/di bawah saudaranya. Akhirnya anak bisa merasa rendah diri. 

2. Stress

Ketika diminta untuk sama atau meniru saudaranya, tapi sebenarnya dia merasa tidak mampu atau tidak bisa melakukannya, hal tersebut berubah menjadi tekanan/pressure bagi anak. Secara psikologis hal ini membuat anak stress, dan apabila dia tidak mampu mengatasinya, akan menghasilkan kondisi stress yang negatif atau distress. Kondisi ini akan menghasilkan efek  yang negatif baik secara psikologis dan fisik. "Dalam aspek psikologi anak merasa tidak nyaman bersama saudaranya atau berada dalam lingkungan keluarga, megnhindar ataupun cemas. Sementara secara fisik bisa saja ia mengalami sakit yang tidak diketahui penyebabnya apa sementara hasil medis anak sesungguhnya baik-baik saja.

3. Iri/Persaingan Antar Saudara (Sibling Rivalry)

Kondisi ini memicu ketidaknyamanan antar saudara. Anak merasa iri bahkan menjadi agresif baik secara verbal maupun fisik pada kakak atau adiknya. "Perasaan kasih sayang antar saudara menjadi hilang, dan berganti perasaan benci dan kemarahan karena merasa dirinya tidak diterima oleh orangtua yang selalu membandingkan dengan saudaranya sendiri."

4. Menjauh dari Orangtua

Ketidaknyamanan yang memuncak akibat kebiasaan membandingkan ini bisa membuat anak merasa jauh dari orangtua karena merasa tidak dipahami dan diterima. Anak pun belajar untuk tidak mengharapkan penerimaan dan kasih sayang dari orangtua. "Akibatnya anak akan mencari orang atau kelompok lain yang dikiranya bisa menerima mereka apa adanya. Situasi ini menjadikan orangtua bukan lagi sebagai tempat anak bersandar dan berlabuh ketika ada masalah. Akhirnya, anak menjauh dari orangtua dan malah mencari pelarian ke hal lain."

5. Acuh atau Tidak Termotivasi

Alih-alih mengubah perilaku atau termotivasi untuk lebih baik, orangtua malah akan mendapati si anak mengacuhkan apa yang diharapkan darinya. "Anak tidak termotivasi melakukan apa yang diharapkan karena dalam dirinya tertanam bahwa apa yang dilakukan tidak akan bisa diterima atau memuaskan orangtuanya, dan merupakan kesia-siaan karena akan selalu berada dalam bayang-bayang saudaranya."