Cara Nadila Ernesta Mengatasi Kesulitan Memberikan ASI

Cara Nadila Ernesta Mengatasi Kesulitan Memberikan ASI
Kamu Tidak Sendirian 3 Ibu Ini Pun Mengalami Kesulitan Memberikan ASI - 0

Nadila Ernesta, Adik Monica dan Astrid Satwika. Kamu tidak sendirian, 3 ibu Ini pun mengalami kesulitan memberikan ASI

Bayangkan ini: seorang perempuan sedang menunduk dan menatap dengan penuh cinta bayinya yang sedang terbaring di lekukan tangannya. Si bayi yang masih merah itu dengan tenang menyedot ASI dari payudara ibunya yang berukuran B. Surga, 'kan?

Lalu bayangkan kenyataan ini: seorang ibu dengan kantong mata hitam membara, rambut seperti habis jambakan dengan musuhnya di SMA, dan ketek bau yang belum menyentuh air selama lebih dari satu hari—sedang "bergulat" dengan bayi berumur satu bulan, mencoba sekuat tenaga (sampai suara dan air mata habis) menenangkan si bayi untuk kembali menyedot payudara yang lebih keras daripada baja, dan ukurannya 10 kali lebih besar dari si kepala bayi. Memberikan ASI tidak selalu gampang, dan itu yang dialami oleh tiga perempuan ini. 

NADILA ERNESTA (AKTRIS) 

img

"Pertama kali lancar, semuanya dapat, termasuk ASI pertama yang warnanya kuning itu yang katanya bagus untuk antibodi," cerita Nadila Ernesta saat berbicara kepada Woop, di rumahnya. Bayangkan ini: proses kelahiran lancar ("kurang lebih satu jam," katanya dengan bangga), kelahiran normal, dan tak beberapa lama kemudian si bayi ditaruh di dada, suasana syahdu, tapi tiba-tiba, "dia emut puting dengan keras," ungkap Nadila sambil membuat gerakan mencubit keras. "Dan tiba-tiba semua sakit jadi satu, dada terasa di peras, luka di puting, dan perut serasa di remas-remas. Sakit banget, sampai ke ubun-ubun" ujarnya penuh penekanan.

Seberapa sakit? "Ibaratnya, aku mendingan disuruh melahirkan lima kali, daripada suruh nyuruh nyusuin satu kali," tegasnya. "Karena, kalau melahirkan," lanjutnya, "oke satu hari kita sakit, abis itu selesai. Kalau ini, kita harus terbiasa sehingga akhirnya merasa nggak sakit lagi." 

Terdiam sebentar, merapikan rambut, "Sakit banget," ulangnya. Selama tiga hari di rumah sakit, "setiap kali bayi masuk dan mau disusui, aku udah 'aduuuh,'" katanya dengan nada berat hati dan sedih. Puncaknya adalah ketika satu hari si bayi menyusui dan mulutnya sulit lepas dari puting sang ibu. "Aku sampai teriak ke suster, 'suster, ini nggak mau lepas,'" kenangnya dengan ekspresi takut dan panik. "Aku takut putingku lepas," ujarnya menekankan. Mungkin terdengar tidak logis, tapi "saat itu soalnya sakit banget."

Sejujurnya, Nadila berkata, bahwa dia tidak sabar untuk pulang ke rumah. "Soalnya 'kan di rumah sakit nggak bisa cheating, kalau di rumah yah, terserah aku. Bisa disusui lewat botol aja, misalnya, nggak harus langsung dari payudara," kenangnya dengan pandangan jahil. Namun, seperti layaknya ibu kebanyakan, Nadila bertekad untuk memberikan ASI langsung dari sumbernya, "tapi ternyata nggak bisa," ujarnya sambil menghela nafas panjang. Si bayi dan puting tidak menemukan satu sama lain, "selalu copot", padahal sudah di depan mata, tapi "dia nggak dapat-dapat juga." Segala cara dan posisi dilakukan Nadila, "nungging sana, nungging sini," sambil tiduran atau berdiri, tapi hasilnya jauh dari kata memuaskan. "Dikasih susu, dia nangis terus," bebernya dengan nada bingung. 

Bayangkan, kamu di pesawat dan ada bayi menangis selama beberapa menit. Iba terhadap si ibu, tapi kemungkinan besar juga suara tangisan bayi akan mempengaruhi kepalamu. Nah, lipat gandakan itu ratuan kali, alhasil, "aku nggak happy, dan stres," Nadila mengaku sambil menghela nafas panjang. Kembali menghela nafas, "terus, karena stres, akhirnya kalau anakku tidur, aku nggak mau bangunin," ujarnya dengan lirih. "Karena di situ aku bisa… yeaaay," ujarnya sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang yang terbebas dari sesuatu yang membebankan. "Pas dia tidur, aku senang, padahal seharusnya dibangunin untuk minum susu, tapi aku nggak bisa langsung nyusuin dari sini, karena rasanya sakit banget," tekannya sambil menekan kelopak matanya. "Sakit banget. Aku stres," tegasnya lagi.

Dan selama itu terjadi, sang suami... "untungnya sangat mendukung," tukasnya. "Dia bilang, 'it's your choice—nggak usah dipaksain,'kan ada cara lain'. Setiap kali aku bangun, dia juga bangun. Mungkin dia juga kasihan melihat istrinya nangis, pas dipijat menjerit; jelek banget deh, pokoknya," kenangnya sambil meringis. 

Mengangkat kepala dan menggerakkan telapak tangan, "bukan berarti aku nggak senang ya, dengan kelahiran anakku," tambahnya dengan cepat. "Aku bahagia banget," tegasnya. Perasaan lain muncul, seperti bingung dan sedih, itu karena menurut Nadila, "bingung, kenapa [bayinya] nangis terus?" katanya sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Ya ampun, kenapa kayak nggak punya waktu untuk mandi walaupun sebentar. Kenapa nggak bisa santai, padahal kalau ngeliat foto orang lain kayaknya mereka masih bisa santai, tetap bisa cantik?" repetnya. "Dan terutama badan ini nih, kok kayak jeli semuanya? Aku pikir akan kembali ke semula dengan cepat, ternyata tidak. Bahkan baju yang kubeli sebelum melahirkan untuk dipakai setelah pulang dari rumah sakit, ukurannya M, nggak muaat!" ujarnya dengan nada panik, lalu tertawa terbahak. 

Mengangkat kedua tangan seperti menyerah, "tapi ternyata, tidak semua orang mengalami hal yang sama, nggak semua orang bisa begitu." 

Dan minggu setelah melahirkan, putra pertamanya, Gilian Gitara (sekarang berusia 8 tahun), mengalami kondisi "kuning," tukasnya. "Padahal, pas lahir, anak aku tuh, beratnya 4,29 kg—gede banget dan panjangnya 52, keluar kayak bayi sebulan," ujarnya. Dengan sedikit berberat berat hati, "karena aku memang berniat dari awal untuk menyusui langsung," akhirnya Nadila membeli pompa, memeras ASI, dan lebih sering memberikan ASI dengan botol. "Ketika dikasih botol, anaknya tenang, aku pun tenang," tutur Nadila dengan lega. "Karena dia juga dapat asupan yang dia butuhkan, tanpa ada orang yang stres sambil begini-begini," katanya sambil memperagakan posisi membungkuk dan menyodorkan dada dengan paksa. "Aku memberikan dia pilihan untuk pakai botol, dan lebih sering pakai botol. Dia happy, aku happy, akhirnya keluar ASI-nya pun lumayan banyak." 

Ceritanya belum berakhir. Empat bulan kemudian, ASI tidak berproduksi seperti biasa, "karena tidak ada rangsangan mulut bayi," katanya. Si bayi lalu melanjutkan meminum ASI sampai lima bulan, menghabiskan persediaan hasil perasan yang selama ini tersimpan di freezer. Botol-botol ASI mengosong, kuota dari sumbernya habis, lalu dilanjutkan dengan susu formula (sufor). 

"Ada perasaan sedih, sih," lanjutnya, "tapi di sisi lain senangnya juga ada," akunya sambil tersenyum jahil. "Karena berpikir, 'aduh, tugas gue mompa kelar juga, ya? Nggak harus bangun jam 1, jam 3, jam 5 pagi yah'; soalnya pola tidurnya begitu teruuus selama dia menyusui, makanya kantong mata hitam banget," ujarnya sambil membelalakkan matanya.

Dan cerita yang "persis sama" kembali terjadi saat anak kedua lahir, Nabuma Medodee (sekarang berusia tiga tahun). "Awalnya, karena pengalaman tadi, aku berpikir 'sudahlah satu anak saja'. Tapi siapa suruh nggak pakai spiral! Hahaha," ujarnya terbahak. Untungnya kali ini lebih mempersiapkan, baik fisik mau pun mental—sehingga si anak perempuan tidak perlu mengalami kondisi kuning, tapi "begitu dia ditaruh di depanku untuk disusui, aku ciut juga, sih," akunya, tertawa lebar.