Mengapa Semakin Banyak Suami Istri Tidur Terpisah?

Love
ISTOCK

Bukan selalu pertanda ada yang salah dengan pernikahan. Bahkan Bisa berpengaruh positif terhadap pernikahan

Akhir bulan lalu, terdengar rumor bahwa Melania Trump "menolak" tidur seranjang dengan suaminya, Donald Trump, bahkan ketika mereka berada dalam satu negara bagian. Dan seperti biasa, internet jumpalitan, salto, kayang, plank dan banyak yang berspekulasi bahwa Melania memang menderita lahir-batin menikah dengan Presiden Amerika tersebut dan harus diselamatkan secepatnya. Entah benar atau tidak, belakangan memang banyak pasangan menikah memilih untuk pengaturan tidur seperti ini. Bahkan, Queen Elizabeth II dan Prince Phillips juga dilaporkan melakukannya. Namun, tren semakin jamak ini dipraktekkan bukan atas nama ketidakharmonisan, bahkan beberapa pasangan yang melakukannya mengaku pengaturan ini berpengaruh positif terhadap pernikahan mereka. 

Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut, WOOP bertanya kepada Sinta Mira, M.Psi, seorang psikolog klinis dewasa dan juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta. 

WOOP: Sejauh apa pengaturan tidur berpengaruh terhadap hubungan suami-istri? Apakah sangat signifikan tidur berdua di tempat dan kamar tidur yang sama atau tidak sama sekali?

Sinta Mira: Tren tidur terpisah (separate bedroom) pada pasangan suami istri, dengan alasan bukan karena pertengkaran/konflik dalam pernikahan merupakan hal yang mulai cukup umum terjadi. Di Amerika 1 dari 4 pasangan menikah pernah menjalani tidur terpisah (separate bedroom) tanpa alasan pertengkaran/konflik pernikahan. 

Jadi selama alasannya memang bukan karena konflik dalam pernikahan, tidur terpisah tidak terlalu berpengaruh pada kualitas hubungan suami-istri. Bahkan beberapa terapi pernikahan menyarankan pasangan untuk menjalani 'variasi' tidur terpisah untuk mendapatkan sensasi berbeda dalam hubungannya. Termasuk juga dalam hubungan seksual. 

Kualitas hubungan suami istri bersumber dari banyak faktor, seperti komunikasi, respek terhadap satu sama lain, saling dukung, kepuasan pada hidup masing-masing, dsb. Jadi separate bedroom tidak akan terlalu berpengaruh pada kualitas hubungan selama kedua pihak tetap memiliki kepuasan dan penghargaan terhadap pernikahannya. 

Pengaturan tidur terpisah, di awal-awal pasti sangat terasa berbeda pada pasangan yang sudah terbiasa tidur bersama. Namun kembali lagi, ke tujuan semula dan komitmen keduanya untuk menjaga kualitas hubungan. 

Apa sebenarnya efek tidur terpisah? Apakah berpengaruh positif atau negatif terhadap pernikahan?

Pasangan yang memilih tidur terpisah biasanya termotivasi pada kualitas tidur. Belakangan ini banyak pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja, sehingga keduanya membutuhkan tidur yang berkualitas agar siap untuk beraktivitas keesokan harinya. Nah, masalahnya banyak pasangan yang tidak mendapatkan tidur yang sepenuhnya berkualitas saat tidur bersama pasangannya. Misalnya karena pasangannya mendengkur saat tidur, atau mengalami restless leg syndrome, atau banyak bergerak saat tidur, atau terbiasa nonton tv/main gadget sampai malam, sehingga pasangannya sulit mendapatkan tidur yang berkualitas. 

Dengan tidur di kamar terpisah, masing-masing pihak mendapatkan tidur yang berkualitas sesuai dengan caranya masing-masing. Dengan kualitas tidur yang baik, akan mempengaruhi mood dan energi keesokan harinya. Sehingga jika dikaitkan dengan kualitas tidur, separate bedroom malah bisa memberi manfaat positif dalam pernikahan. 

Akan tetapi kalau karena tidur terpisah dan tidak dikomunikasikan dengan terbuka satu sama lain, malah akan membuat ada jarak emosi antara suami istri. Pola hubungan pun jadi berubah, komunikasi berkurang, kedekatan emosi berkurang, itu yang harus segera diatasi supaya tidak berkelanjutan.

Apa kira-kira yang menyebabkan pasangan suami-istri memutuskan untuk tidur terpisah?

Seperti yang sudah dijelaskan di sebelumnya. Biasanya untuk mendapatkan kualitas tidur terkait dengan produktivitas kerja masing-masing. 

Pasangan yang memiliki anak juga bisa terbiasa tidur terpisah dengan alasan salah satu pihak ingin tidur menemani anak. Meskipun pada saat yang tepat, anak tetap harus dibiasakan untuk tidur di kamarnya sendiri. 

Kalau penyebabnya karena konflik/ketidaknyamanan bersama pasangan, itu sudah beda lagi masalah dan pembahasannya. 

Apakah perihal pengaturan perlu dibicarakan sebelum menikah? Atau setelah mengetahui kondisi dan kebiasaan tidur masing-masing? Dan jika ada perubahan pengaturan tidur, bagaimana memberitahunya kepada anak atau anggota keluarga lain?

Biasanya sebelum menikah, pasangan belum saling tahu kebiasaan tidur masing-masing. Pembicaraan pengaturan tidur biasanya baru akan dibicarakan saat fase honeymoon dalam hubungan selesai. Durasi fase honeymoon setiap pasangan berbeda-beda. Ada yang beberapa bulan, ada yg setahun, dsb. Setelah melewati fase honeymoon, masing-masing pihak baru akan memahami secara obyektif berbagai hal detil tentang pasangan, termasuk pola/kebiasaan tidur. 

Saat membicarakan mengenai kebiasaan tidur harus dilakukan dengan komunikasi yang baik dan terbuka. Jangan sampai salah satu pihak menjadi tersinggung atau menjadi defensif. Apabila memang ditetapkan untuk tidur terpisah, keputusannya juga harus disepakati kedua pihak dan keduanya paham bahwa tujuan utamanya adalah untuk kualitas tidur dan kualitas hubungan berdua. Namun tetap disepakati juga aturan-aturan lain, misalnya spontanitas untuk masing-masing pihak boleh berkunjung ke kamar pasangannya, spontanitas dalam hubungan seksual, dsb. 

Keluarga/orang yang tinggal di rumah sebaiknya memang diberi penjelasan mengenai alasan tidur terpisah ini. Berikan pemahaman bahwa keputusan tidur terpisah bukan karena masalah pernikahan. Apalagi untuk ke anak harus dijelaskan dengan baik bahwa adakalanya ayah/ibu tidur di kamar lain, tapi bukan berarti berkurang rasa cintanya. Pastikan anak juga bisa melihat bahwa kualitas hubungan antara ayah dan ibu tetap harmonis dan romantis, meskipun tidur di kamar terpisah. Anak membutuhkan hal yang konkrit, sehingga memang ayah-ibu harus menunjukkan bahwa tidur di kamar terpisah, tidak mengurangi kualitas hubungan dan romantisme. 

Beberapa berpendapat bahwa hanya pasangan yang paling bahagia yang bisa mempertimbangkan pengaturan tidur seperti ini. Mereka berargumen jika tidur terpisah nantinya mungkin akan memperparah jarak antara suami dan istri.

Menurut saya, pasangan yang berani mengambil keputusan tidur terpisah untuk alasan kualitas tidur, pastinya pasangan yang komunikasinya terbuka, ya. Berarti mereka bisa mengkomunikasikan diri dengan baik dan tetap berkomitmen untuk menjaga kualitas hubungan. 

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kualitas hubungan terdiri dari banyak aspek, komunikasi, komitmen, saling dukung, dsb. Jadi selama pasangan tetap berkomitmen menjaga kualitas hubungannya, dan merasa secure dengan hubungannya, tidak akan ada masalah walaupun tidur terpisah. 

Ada juga yang bilang bahwa sesekali tidur terpisah tidak apa-apa, contohnya jika salah satu pasangan merasa membutuhkan space untuk diri sendiri? Namun, sebaiknya tidak mengadopsi pengaturan tidur ini selamanya.

Kalau memang ingin memiliki personal space, sesekali tidur terpisah itu tidak apa-apa. Seperti yang sudah dijelaskan, adakalanya tidur terpisah dibutuhkan untuk memberi 'variasi' dalam hubungan, termasuk dalam hubungan seksual. 

Apakah akan dijalankan sementara atau seterusnya, kembali ke kesepakatan kedua pihak. Kembali ke komunikasi kedua pihak. Pilihlah opsi yang memang memberikan lebih banyak dampak positif bagi kualitas hubungan keduanya. 

Beberapa pasangan yang melakukan ini seringkali tidak terbuka karena takut orang-orang akan berasumsi bahwa ada yang salah dengan hubungan mereka. Apakah hal ini bisa dibenarkan?

Iya, pendapat umum pastinya seperti itu. Secara umum, sewajarnya memang suami istri tidur bersama. Di semua budaya saya rasa juga memiliki pandangan yang sama. Jadi memang untuk memberikan pemahaman bahwa tidur terpisah bukan berarti ada masalah dalam hubungan, harus dimulai dari lingkungan terdekat terlebih dulu. Terutama sih, pada keluarga/orang yang tinggal serumah, ya. Berikan pemahaman dan juga bukti yang konsisten bahwa memang hubungan kedua pihak tetap harmonis dan romantis walaupun memiliki pengaturan tidur yang 'tidak umum'. 

Jika pasangan memutuskan untuk tidur terpisah dengan alasan-alasan yang masuk akal, apa yang harus dilakukan oleh mereka untuk menjaga keromantisan hubungan?

Menjaga keromantisan harus dikomunikasikan juga sebelum memutuskan tidur terpisah. Misalnya dengan tetap menjaga rutinitas seperti saat tidur sekamar, contohnya kecupan/pelukan selamat malam sebelum tidur, atau pillow talk sebelum tidur. Dan juga menjaga spontanitas hubungan, misalnya masing-masing boleh berkunjung ke kamar pihak lain, spontanitas dalam hubungan seksual, dsb. 

Jika sepasang suami-istri memutuskan untuk tetap tidur seranjang meskipun ada kebiasaan pasangan yang mengganggu kualitas tidur pasangan lain, apa yang harus dilakukan agar hal ini tidak merampas hak tidur atau bahkan merusak hubungan?

Nah, kalau memang kedua pihak tahu ada kebiasan pasangan yang mengganggu kualitas tidur, dan tetap memutuskan tidur seranjang, berarti harus dikomunikasikan juga hal-hal apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Bagaimanapun kepuasan hubungan pernikahan harus berlandaskan komunikasi terbuka, dan kesediaan untuk berkomitmen dan berkompromi. Kalau gangguan tidurnya sudah di taraf sangat mengganggu, mengajak pasangannya untuk datang ke klinik gangguan tidur untuk mendapatkan solusi juga bisa dilakukan. Namun, kalau bersumber dari kebiasaan yang masih bisa diubah/dikompromikan, misalnya kebiasaan nonton tv/baca buku/main gadget sampai malam, hal-hal semacam ini harus dikomunikasikan dan dikompromikan berdua