Menjadi Jomblo Tidak MudahApalagi Jika Semua Temanmu Sudah Menikah

Menjadi Jomblo Tidak MudahApalagi Jika Semua Temanmu Sudah Menikah
ISTOCK

Ugh....

Selamat! Di antara teman-temanmu yang sudah menikah atau punya pasangan, kamu termasuk spesies langka. Faktor penyebabnya: kamu adalah satu-satunya yang masih jomblo. Satu-satunya yang masih belum membicarakan tentang susu dan popok, dokter kandungan dan ngidam. Dan tidak jarang menurut mereka, hidupmu itu, "enak banget ya, nggak usah pusing-pusing ini itu, tidurnya masih nyenyak." Sekilas terdengar lucu, tapi pesan Woop untuk yang seringkali mengeluarkan pernyataan ini dengan lugu (bahkan tanpa maksud setan sekalipun)—stop. Kita tidak pernah tahu isi, kesusahan hati dan pikiranmu seseorang, bahkan teman akrab sekalipun. 

Dan bagi mereka, kamu adalah "proyek abad ini" alias mencarikan siapa pemberi tulang rusukmu. Nama dan orang silih berganti diperkenalkan. Tujuannya? Yah, banyak, salah satunya adalah supaya hidupmu sebahagia mereka. Alhasil, si jomblo seringkali merasa tertekan dan ada sesuatu yang salah dengan hidupnya, dan akhirnya... beberapa kaum singel menolak bertemu kangen dengan para teman. Malas, lebih baik di rumah atau jalan sendirian. Oh, belum lagi undangan pernikahan yang mendarat setiap minggu di WhatsApp dan penderitaan (yang dengan berjalannya waktu akan mati rasa) yang dialami setiap kali menghadirinya. Skenario yang sama setiap kali (dan anehnya selalu dengan pelaku yang sama): kapan menyusul? jangan terlalu milih-milihlah. Dan responmu: mulai dari semangat sampai ingin memberikan si jari tengah (paling tidak di dalam hati). Inilah yang menyebabkan pertanyaan: bagaimana bertahan hidup sebagai jomblo di tengah mereka yang sudah berpasangan—menjadi sangat relevan. Dan mengapa orang ingin agar kamu memiliki pasangan? Apa yang salah dengan menjadi singel?

Tergantung. "Namun banyak orang menganggap perempuan singel sebagai sangat kesepian, depresi, dan pada akhirnya kehilangan kesempatan untuk merasa bahagia dan aman," tulis Theresa E DiDonato Ph.D, psikolog dari Loyola University Maryland. "Mitos bahwa perempuan singel biasanya menderita dalam kesendirian mereka merupakan sesuatu yang tertanam dalam hati dan pikiran banyak orangtua, kolega, dan teman-teman," lanjutnya. 

Berikutnya, yang seringkali terjadi adalah banyak perempuan yang merasa takut menjadi singel. Atau bahkan iri terutama saat melihat postingan super mega mesra mereka dengan pasangan (dan keluarganya). Kemana semua laki-laki baik di dunia ini? tanyamu histeris dan putus asa. Awalnya cuma bertanya-tanya tapi kemudian yakin teguh bahwa sepertinya memang ada sesuatu yang salah denganmu karena tidak kunjung menemukan belahan jiwamu. 

“Iri adalah suatu perasaan saat kita menilai bahwa kita kurang dibandingkan orang lain. Dalam kadar yang sedikit dan justru dapat kita arahkan ke hal yang positif, tentunya ini masih normal. Sebagai contoh, rasa iri melihat teman yang sudah menikah, kemudian kitapun berusaha memperluas pergaulan dan memperbaiki diri serta banyak mendekatkan diri pada Tuhan. Ini tentunya iri yang dapat kita arahkan secara positif, karena justru dapat memotivasi kita melakukan hal yang lebih baik,” ujar Maharsi Anindyajati, M. Psi, Psikolog, seorang psikolog klinis dewasa dari Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta.

Menurutnya, jika rasa iri ini justru membuat kita berperilaku negatif, ini tentunya harus diwaspadai. Jangan sampai kita malah membuat berita yang mengada-ngada dan tidak sesuai fakta—misalnya, menciptakan pacar imajiner. Namun, sayangnya, iri lebih banyak bernuansa negatif, karena kita lebih sering hanya membanding-bandingkan siatuasi yang dinilai kurang dengan situasi yang lebih menguntungkan. Es cendol buatan tetangga selalu terasa lebih manis daripada buatan sendiri.

Lalu, adakah cara bertahan hidup di antara teman-teman kita sudah memiliki pasangan? 

“Jangan sampai ada rasa iri di dalam diri kita. Itu yang harus diingat. Membiarkan rasa iri mengendalikan diri kita bukan solusinya. Jangan berhenti berdoa, berusaha, dan bersyukur. Seringkali, saat kita didominasi perasaan iri, kita lupa bersyukur. Yakinlah, bahwa setiap orang memiliki ceritanya masing-masing,” saran Maharsi.

“Namun, kita tentunya perlu juga berusaha ‘menghampiri’ apa yang menjadi ketentuan Tuhan. Doa perlu, tapi usaha juga penting. Salah satu usaha yang bisa kita lakukan adalah selalu berpikir positif. Buatlah sebuat target spesifik. Misalnya nih, bukan sekedar tahun depan menikah, tapi sebelum pertengahan 2019 menikah, dengan seizin Tuhan. Target spesifik akan masuk ke alam bawah sadar kita dan akan menjadi motivasi tersendiri untuk melakukan hal-hal yang akan membawa kita ke tujuan,” kata Nina.

Manusia bisa disebut (maaf) makhluk yang tidak bisa berhenti mengomentari urusan orang lain. Bagaimana cara menghadapinya? “Benar, omongan atau komentar orang pasti tidak akan pernah berhenti. Saat kamu sudah menikah, bisa saja kamu ditanya ‘kapan punya momongan?' Saat kamu sudah memiliki satu anak, ada saja komentar yang menanyakan ‘kapan nambah anak?’ dan seterusnya. Jangan biarkan omongan atau komentar orang mengganggu ketenangan hidupmu. Latih kemampuan mengabaikan hal-hal tidak penting yang dapat merusak kesehatan mental kita,” terangnya.

Dan tidak perlu takut menjadi singel—entah itu karena situasi atau adalah pilihanmu sendiri. DiDonata menyarankan agar setiap orang (kamu, temanmu, keluargamu) mengevaluasi kembali rasa takut menjadi singel karena status dan kondisi ini tidak memustahilkan kamu untuk menemukan "passion-mu, dan menemukan kebahagiaan saat mendapatkan kesempatan-kesempatan yang datang karena [status] singel, sehingga [akhirnya] tetap membuat orang [singel] bahagia dan sehat dengan cara-cara yang berbeda-beda," tulisnya.

Oh, dan jika orang-orang di sekelilingmu memiliki asumsi bahwa single = selfish (karena sepertinya tidak mau pusing memikirkan orang lain, anti punya anak karena nanti jam tidurnya tergantung, ogah berkeluarga karena bla bla bla)—tidak perlu didengarkan 'cos hater gonna hate, hate, hate.