Menurut Sains, Ini Alasan Mengapa Kamu Tidak Kunjung Meninggalkan Dia

Menurut Sains, Ini Alasan Mengapa Kamu Tidak Kunjung Meninggalkan Dia
ISTOCK

Ada hubungannya dengan persepsi.

Berita Ryan dari Ryan ToysReview dengan pendapatan $22 juta (bintang YouTube dengan penghasilan tertinggi) tahun ini dan anak perempuan orang terkaya di India mendatangkan Beyonce dan John Legend ke pesta pernikahannya—mungkin bisa membuatmu lupa tentang misteri hidupmu saat ini. Namun, mari membahasnya: kenapa kamu ragu untuk meninggalkan pasanganmu? Kamu tahu dia melakukan kekerasan (entah emosional atau fisik), atau selalu menyalahkanmu meski sebenarnya salah dia, dan apa pun yang kamu lakukan, tidak pernah membuatnya bahagia, malah semakin histeris, emosi dan marah. 

Menurut sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology, seseorang ragu untuk memutuskan hubungan jika mereka merasa pasangan mereka butuh hubungan itu terus berlanjut. 

Untuk mengetahui bagaimana proses seseorang memutuskan apakah harus meninggalkan pasangannya, Samantha Joel, Ph.D dan timnya dari Universitas Utah mengamati sejumlah hubungan yang sedang mengalami masa sulit. Di studi pertama, 1348 orang yang sedang menjalani hubungan romantis dianalisa selama 10 minggu, sementara eksperimen kedua selama dua bulan mengamati 500 partisipan yang sedang berkontemplasi untuk putus dari pasangannya. Hasilnya memperlihatkan bahwa jika seseorang memiliki persepsi bahwa pasangannya sangat, sangat tergantung pada hubungan tersebut, kemungkinan dia meninggalkannya semakin kecil—bahkan jika hubungan tersebut sama sekali tidak memuaskan kedua belah pihak.

"Ketika orang mengetahui bahwa pasangannya sangat berkomitmen terhadap hubungan tersebut, kecil kemungkinan mereka ingin putus. Hal ini benar bahkan bagi pihak yang sebenarnya sudah tidak komit lagi atau merasa puas terhadap hubungan tersebut," kata Dr. Joel di sebuah rilisan pers. "Pada dasarnya, kita tidak ingin melukai pasangan kita, dan kita peduli dengan apa yang mereka kamu." 

Di sinilah mengapa memutuskan untuk tidak berpisah bisa menjadi bumerang: apa yang terbaik untuk pasanganmu belum tentu terbaik untukmu. Memang sih, ada baiknya memanfaatkan kesempatan untuk memperbaiki dan melalui segala badai, topan, gempa baik agar hubungan tersebut berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi jika hubungan tersebut tidak menjadi lebih baik (padahal segala daya upaya sudah dilakukan), tidak adil untuk memaksakan perasaan yang sudah tidak ada, dan hal yang sama juga berlaku untuk pasanganmu. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Joel, "Siapa sih, yang masih ingin berhubungan dengan seseorang yang sudah tidak mau berada di dalamnya?"

Pada akhirnya, entah kamu atau pasanganmu sudah tidak cinta lagi, atau kamu sudah tidak menumpahkan waktu dan energi terhadap hubungan tersebut, ada baiknya untuk menamatkannya. Paling tidak, ketika kamu menjadi pihak yang ingin keluar, kamu bisa bernegosiasi syarat dan ketentuannya. Kamu bisa mengikuti pola ini: buat keputusan, konsisten, dan jujur 100% dengan pasanganmu tentang perasaan-perasaanmu dan mengapa kamu ingin mengakhiri hubungan kalian. 

"Mengakhiri sebuah hubungan adalah satu hal yang sangat sulit dilakukan," tulis seorang terapis. Semua orang akan terluka, termasuk orang yang kamu sayangi. "Namun jika di lubuk hatimu yang terdalam kamu tahu bahwa hubungan tersebut tidak akan berhasil, mengakhirinya adalah sesuatu yang benar untuk dilakukan. Lebih cepat lebih baik." 

Ingat selalu: respek perasaan orang lain—dan juga perasaanmu sendiri. Berdamailah dengan keputusanmu tersebut, dan jalani hidupmu yang hanya sekali ini. Mengutip Dr. Seuss, "Jangan menangis karena sesuatu berakhir, tapi tersenyumlah karena itu terjadi." Terima bahwa kamu dan pasanganmu mungkin lebih baik berpisah, dan dia akan menemukan cinta lagi. Begitu juga dengan kamu. 

Selanjutnya: Masih ragu? Tiga pertanyaan ini akan membantumu menentukan sikap dan mengambil keputusan "tetap berhubungan" atau "selamat tinggal."