Obesitas pada Anak: Orangtua Harus Mulai Mengubah Pola Asuh dan Gaya Hidup

Obesitas pada Anak: Orangtua Harus Mulai Mengubah Pola Asuh dan Gaya Hidup
ISTOCK

Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa obesitas pada anak semakin memprihatinkan. 

Melihat anak-anak yang bertubuh gemuk memang membuat gemes. Orangtua pun terkadang senang ketika anaknya banyak disukai karena "bikin gemes." Faktor "gemes" ini terkadang membuat kita lupa bahwa ada kemungkinan si kecil berada di garis merah yang disebut obesitas dan kelebihan berat.

Obesitas didefinisikan sebagai kelebihan lemak badan. Sementara kelebihan berat badan diartikan sebagai memiliki berat badan yang berlebihan dilihat dari sisi lemak, otot, tulang, air, atau kombinasi faktor-faktor ini. Body mass index, atau BMI, secara umum digunakan untuk mengukur baik obesitas dan kelebihan berat bada. Persentase BMI lebih sering digunakan untuk mengukur anak-anak dan orang muda (usia 2-20 tahun) karena hitung-hitungan tersebut mempertimbangkan bahwa mereka masih sedang dalam masa pertumbuhan, dan tumbuh dalam kecepatan yang berbeda tergantung usia dan jenis kelamin. 

Data WHO (World Health Organization) mencatat pada tahun 2015 ada 42 juta anak yang mengalami obesitas di seluruh dunia, dan kebanyakan dari mereka berumur di bawah 5 tahun.

Menurut laporan dari UNICEF, ASEAN dan WHO, 12 persen anak-anak Indonesia menderita kelaparan sementara 12% mengalami obesitas. Tren yang disebut 'beban ganda' ini meningkat di negara-negara berpendapatan menengah seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand.

Penelitian baru yang diterbitkan bulan lalu menyimpulkan bahwa angka kelebihan berat badan/obesitas meningkat selama dua dekade ini di Indonesia, baik pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Pada anak-anak, rating prevalensi lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan (fenomena sebaliknya terjadi pada orang dewasa dan remaja). Penelitan ini menyebutkan bahwa harus ada intervensi pada level rumah tangga dan yang lebih tinggi untuk mengatasi masalah tersebut. 

Bukan usaha yang mudah pastinya. Terlebih dengan kesibukan orangtua, ditambah menjamurnya restoran siap saji dengan gambar dan iklan (pada saat prime time televisi) yang membuat air liur anak (dan orang dewasa) menetes dan ingin mencoba setiap menu baru yang ditawarkan (plus dengan diskon dan paket yang menggiurkan). Bagaimana sebenarnya orangtua bisa melakukan intervensi? "Sebagai orangtua, harusnya kita bisa menyadari apakah anak-anak memiliki kemungkinan obesitas atau tidak. Hal itu bisa dilihat dari faktor-faktor penyebab obesitas," kata Dwita Priyanti, M.Psi, Psikolog, seorang seorang psikolog anak dan dewasa dari Rumah Dendalion dan Raqqi Consulting.  

Lebih lanjut Dwita menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan obesitas. Antara lain: faktor genetik yaitu ada keluarga yang memiliki keturunan obesitas, biasanya hal itu bisa diturunkan ke anaknya; gaya hidup yang tidak sehat, kurangnya olahraga dan kualitas tidur yang kurang; kebiasaan memberikan makanan yang tidak sehat seperti junk food; dan pola asuh orangtua. Kurangnya pengawasan dan kebiasaan memanjakan anak dengan makanan yang tidak sehat menjadi faktor obesitas pada anak. 

“Sebagai orangtua kita harus mulai mengubah gaya hidup dan pola asuhnya. Jangan berikan makanan yang tidak sehat kepada anak lagi. Mulailah dengan memasak makanan sendiri yang sehat agar anak tidak mengalami obesitas,” tambah Dwita.

Obesitas dan kelebihan berat badan bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Obesitas pada anak memiliki dampak langsung dan jangka panjang dari sisi fisik, sosial, dan kesehatan mental. Contohnya: 

  • Anak dengan obesitas memiliki resiko tinggi terkena penyakit kronis yang berefek pada kesehatan fisik, seperti asma, sleep apnea, masalah tulang dan sendi, diabetes tipe 2, dan resiko penyakit jantung. 
  • Dalam jangka panjang, obesitas pada masa kanak-kanak memiliki kaitan yang erat dengan mengalami obesitas pada saat dewasa, yang berubungan dengan penyakit serius seperti diabetes tipe 2, sindrom metabolisme, dan beberapa jenis kanker. 
  • Anak dengan obesitas lebih cenderung mengalami bully dan dijadikan bahan olokan dibandingkan teman mereka yang berberat badan normal, dan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami isolasi sosial, depresi dan rasa rendah diri. 

Menilik dari seriusnya dampak dan ditambah dengan kasus bully yang makin marak dan terekspos belakangan ini, orangtua harus melakukan sesuatu dan tidak membiarkan anak mencapai kondisi ini, meskipun mungkin nantinya si anak tidak lagi dianggap "menggemaskan". 

Untuk hal ini, Dwita memberikan beberapa solusi yang harus dilakukan oleh orangtua. 

  • Jadilah teman untuk anak. Usahakan agar anak membuka diri kepada orangtua dan bisa bercerita mengenai perasaannya.
  • Bersama-sama dengan anak mengubah gaya hidup yang tidak sehat. Sehingga, dapat mengatasi obesitas dan untuk menimbulkan rasa kepercayaan diri anak.
  • Libatkan guru sebagai pengawas jika anak sedang di sekolah.