Paman Gery: Mendongeng, Jangan Dulu Tentang Kekerasan atau Horor

Love
WOOP.ID/ALEXIS CALVIN WIJAYA

Hari ini adalah Hari Dongeng Nasional dan Paman Gery berbagi tips dan trick mendongeng, terutama bagi orangtua yang super sibuk.

“Kalau masih kecil, jangan diceritain Tangkuban Perahu dulu, deh,” begitu kata Paman Gery yang biasa menyapa para orang tua dan anak-anak setiap pagi lewat sebuah sesi mendongeng di FeMale Radio. Suaranya yang berat dan berintonasi khas memiliki efek hipnotis: anak-anak menghentikan aktivitas mereka dan memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan cerita pagi itu.  

Saat “mendongeng” di depan WOOP, Gery Puraatmadja menuturkan bahwa profesi yang ditekuninya sekarang ini tidak direncanakan. Seorang teman yang mengenali bakatnya, kemudian mendaftarkannya ke sebuah lomba dongeng tingkat nasional pada tahun 1991, dan keluar sebagai juara andrest is history. Dalam 25 tahun sebagai pendongeng profesional Paman Gery bertemu banyak orang dalam berbagai kondisi dan berani menyimpulkan, “Semua orang tua bisa mendongeng. Cuma nggak mau aja.” 

Hal utama apa yang harus diperhatikan dalam mendongeng?

Kita harus tahu dulu siapa audience-nya, alam pikirannya, umurnya berapa, dia suka apa, kebiasaanya apa, dan sebagainya. Tapi kalau anak sendiri harusnya tahu, ya. Misalnya, anaknya udah kelas 6 SD, udah nggak mungkin diceritain tentang Mickey Mouse, kan? Di samping itu, orang tua juga harus tahu nilai-nilai apa yang mau dimasukkin saat mendongeng.

Jadi dongeng itu lebih dari sekadar bercerita?

Nah, ini publik salah kaprah, menganggap bahwa dongeng itu hanya sekadar bercerita. Di balik itu ada tanggung jawab gede, kamu lagi mau bawain message apa, nih? Nggak cuma cerita-cerita aja.

Itu artinya ceritanya benar-benar harus dipikirin?

Orang tua harus tahu dulu ceritanya sebelum didongengkan ke anak-anak. Judul itu nggak penting, tapi ada hal-hal yang harusnya belum diceritakan sebelum mencapai usia tertentu.

Untuk di bawah lima tahun, unsur-unsur apa yang harus dihindari?

Satu violence, nggak usah deh, cerita sama anak-anak tentang itu, “Akhirnya raksasa membunuh pangerannya!” Aduh, jangan dulu, deh! Ceritanya lebih baik diplesetin sedikit menjadi, “Akhirnya sang raksasa mengajak pangeran untuk berteman.” Tujuannya agar nilai positif yang lebih terekam di otak. Kedua, aktivitas seksual, misalnya yang terdapat di cerita rakyat Tangkuban Perahu. Itu kan menceritakan tentang anak yang ingin menikahi ibunya! Itu cerita incest dan bisa membuat mereka bingung! Dan satu lagi, horor. Jangan dulu deh, anak ditakut-takutin! Horor itu sesuatu yang imaginatif dan menimbulkan kesan menakutkan terhadap si anak.

Banyak juga ya, yang harus diperhatikan.

Makanya aku bilang dongeng harus dekat sama dunia pedagogik. Lihat umurnya, kalau udah masuk usia dewasa, hal-hal itu bisa dimasukkin. Tapi kalau belum janganlah. Secara insting aku yakin kok orang tua tahu si anak itu sudah siap apa belum, tapi suka sok pinter! Dongeng harus diteliti. Sebelum mendongeng, penting orang tua tahu bahwa ceritanya nggak akan nakutin anak.

Tapi nggak semua orang bisa mendongeng seperti Paman Gery!

Sebenarnya bukan nggak bisa, nggak mau aja; karena naluriah manusia itu adalah mahluk bertutur, mahluk ngomong. Misalnya, seorang istri hamil dan si suami ngomong di depan perutnya, “Adek, kalau Adek udah lahir, nanti main sama Papa, ya? Kita jalan-jalan, lalu….” Itu mendongeng.  Jadi sebenarnya kalau orang tua bilang nggak bisa tuh, bukan nggak bisa, nggak mau aja memang. Orang tua pasti bisa!

Tapi mungkin nanti dianggap nggak lucu dan nggak didengarin.

Nah, dongeng bukan hanya menjadi sesuatu yang sifatnya komedi. Dongeng itu juga harus punya sesuatu yang mengikat antara dia dan anak. Kalau orang tua terbeban nanti takut nggak lucu, nggak menarik dan lantas anak jadi bosan, harusnya nggak, sih. Soalnya dia pasti kenal kan sama anaknya? Dia suka makan atau nggak, malas bangun atau gimana? Kalau orang tua yang benarnya, ya. Nah, di situ bisa dimasukkin dongeng. Misalnya cerita begini: “Ada seekor beruang namanya Huma, dia suka malas bangun pagi.” Dia sebenarnya mau ngomongin anaknya, tapi pakai karakter lain.

Kapan paling tepat mendongeng?

Sampai sekarang masih dalam perdebatan kapan waktu yang paling tepat untuk mendongeng karena ini ada kaitannya dengan siklus anak itu sendiri. Tapi dominan, psikolog berpendapat bahwa mendongeng yang paling tepat itu sebelum tidur. Alam pikiran sebelum tidur itu adalah saat gelombang di dalam otak sedang transisi. Nah, kalau orang tua masukin nasihat, kemungkinan besar anak akan ingat. Tapi kapan waktu yang tepat, sebenarnya kapan aja juga tepat.

Bagaimana dengan orangtua pekerja yang saat pulang kantor anaknya sudah tidur?

Orang tua sibuk banget, nggak mungkin bisa ketemu malam hari, berarti mendongengnya bisa pagi hari di dalam mobil, pada saat nganterin anak ke sekolah. Walaupun cuma setengah jam di dalam mobil, tapi itu bisa dijadikan waktu untuk mendongeng. Orangtua sambil nyetir, dan cerita. Yah, kalau ternyata momen itu yang paling tepat, yah nggak papa.

Kalau pas mendongeng anaknya tertidur, itu indikasi bagus atau berarti dia bosan?

Itu indikasi bagus! Jadi kalau secara psikologis itu artinya dia berada dalam situasi aman, makanya dia jadi tenang dan kalem. Kalau lagi ngomong aja, tiba-tiba dia tidur, berarti dia merasa aman banget: “Aku dekat sama Mama, Mama lagi cerita. Terserah deh, mau cerita apa, yang penting aku merasa aman.” Itu sebenarnya yang dicari!

Selain mama, bapak juga bisa ikutan mendongeng?

Bapak juga mendongeng. Selama ini ada jargon salah di masyarakat, yang bilang bahwa yang bisa dekat sama anak itu cuma ibu, dan bapak terlalu kasar untuk mendongeng. Bapak mendingan main bola deh, ke lumpur deh, guling-gulingan deh; itu peran bapak. Tapi sebenarnya peran bapak itu bisa juga masuk saat lagi mendongeng. Apakah menjadi kurang maskulin? Sebenarnya nggak. Lihat orator terbesar di dunia, rata-rata laki-laki. Soekarno dan Barack Obama. Pendongeng dan pembuat dongeng juga rata-rata laki-laki, misalnya Hans Christian Andersen, dan lain-lain.

Apa pengalaman yang paling berkesan sebagai pendongeng?

Saat mendongeng untuk audience yang awalnya aku agak curiga dan khawatir mereka tidak bisa menangkap dan mengerti ceritaku. Mereka adalah anak-anak dengan celebral palsy: anak-anak yang fungsi otak terganggu sehingga fungsi tubuhnya nggak bekerja maksimal. Awalnya merasa aduh gagal, nih. Aku yang dongengnya udah segala macam dan sok lucu, mereka responnya biasa aja. Namun, tiba-tiba setelah selesai, ada satu anak dengan kursi roda, datang menghampiri dan bergumam-gumam tapi aku nggak ngerti dia ngomong apa. Terus si pengasuhnya bilang bahwa si anak mau ngomong sesuatu. Setelah diterjemahkan oleh pengasuhnya, ternyata si anak mau bilang kalau dia suka banget sama dongengnya dan berterimakasih atas itu. Aku jadi terharu! Satu lagi, anak seorang teman yang memiliki autisme. Dia nggak bisa tatap mata dengan orang lain, bahkan ibunya dan  sangat hyperactive. Saat di restoran, dia nggak bisa diam. Kalau di rumah nggak bisa tenang, satu-satunya saat dia tenang adalah ketika tidur. Begitu dia bangun, loncat-loncat, naik ke atas kursi, segala macam. Tapi saat mendengarkan radio pagi dan Paman Gery ngomong, “Adik-adik,” dia tiba-tiba diam selama 10 menit. Kata ibunya itu jarang terjadi. Tapi setelah dongengnya selesai, yah dia lari lagi.  Nah, ini membuat aku percaya, siapapun anak dan bagaimanapun kondisinya, mereka suka dongeng!