Perempuan Ingin Bertanya kepada Pasangannya: 'Mau Dibawa Kemana Hubungan Ini?'

Love
ISTOCK

Sebelum mempertanyakan seharusnya sudah ada ‘keyakinan’ sesuai nilai-nilai yang diinginkan dari sebuah hubungan

Bilang saja, kamu sudah berhubungan dengan pacarmu yang sekarang ini selama satu tahun. Keinginan dan lagu "Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita" semakin sinkron dan berada dalam repeat mode setiap kali bertemu dengannya. Kepala, leher, tenggorokan, dan bagian bokong terasa gatal setiap kali berduaan karena gelisah ingin bertanya, "mau dibawa kemana hubungan ini?" Rasanya ingin "bermain cantik dan halus" dengan memainkan lagu tersebut untuk si pacar di dalam mobil (berharap dengan begini dia akan mengerti "kode-kode"), tapi apa daya genre—band seperti itu bukan seleranya. Dia lebih suka indie, karena katanya, "lebih keren." Mau bertanya langsung (tanpa memainkan lagu untuk menyinggung atau menyindir), rasanya... "kok gimana gitu, ya?"

Jadi, (dengan nada frustrasi) bagaimana sebenarnya cara, seorang perempuan, mempertanyakan keseriusan hubungan kepada pasangan tanpa merasakan, ehem... malu atau terdengar desperado?

"Sebelum mempertanyakan baik wanita maupun pria seharusnya sudah ada ‘keyakinan’ sesuai nilai-nilai yang diinginkan dari sebuah hubungan atau kedekatan," kata Arie Radyaswati, M.Psi, dosen di Universitas Pancasila, Jakarta. "Jika wanita merasa bahwa aspek atau nilai yang ada pada calon pasangan sudah memenuhi harapannya tidak ada salahnya untuk menanyakan kelanjutan atau keseriusan hubungan," lanjutnya. 

Menurut Arie, satu hal yang sebaiknya dimengerti sebelum menanyakan hal tersebut adalah bahwa "ikatan menjadi ‘pacar’ tentu sangat berbeda dengan ikatan atau komitmen dalam hidup ‘perkawinan.'" Misalkan, sewaktu pacaran, pertemuan yang terjadi biasanya dikondisikan: menghindari konflik atau ketidak ukaan pasangannya, tampil sempurna dan bicara sebatasnya agar kedua belah pihak merasa nyaman. 

"Sedangkan di dalam hidup perkawinan semua akan berlangsung ‘apa adanya’ dalam diri pasangan," Arie menuturkan. 

Keinginan bertanya soal keseriusan ini juga makin diperumit dengan pemikiran bahwa ada hitungan waktu tertentu, 'yah, paling nggak setahunlah, baru boleh bertanya. Iya 'kan, ya?' 

"Tidak ada batasan seberapa lama waktu yang diperlukan dalam sebuah hubungan sampai pada titik putusan—semua berproses," jawab Arie. "Semakin matang pribadi seseorang akan semakin peka dalam melihat dan menilai sisi baik buruk dari calon pasangan. Hal terpenting adalah bagaimana menyadari, memahami dan seberapa jauh kesiapan penyesuaian terhadap sifat, karakter dari calon pasangan kita." 

Nah, ini lagi, nih: adakah misalnya, '10 tanda-tanda hubungan kalian siap menuju pelaminan?' 

"Ini tentunya kita harus mau belajar tahu tentang dia. Belajar memperhatikan, merasakan dan mengalami—aspek-aspek ini yang seharusnya menjadi modalitas untuk meneruskan hubungan sampai pada tahap serius," papar Arie. 

Menurutnya, proses berpacaran, terlebih hidup dalam perkawinan adalah sebuah dinamika. Waktu berjalan dan perubahan-perubahan dalam relasi dapat terjadi. Sebagai contoh sewaktu berpacaran tertarik karena kemandiriannya, namun setelah menikah kemandirian terkadang menjadi sumber masalah. Pasangan tidak komunikatif, tidak terbuka, tidak boleh bekerja di luar rumah atau dalam berbagai putusan tidak melibatkan pasangan. "Untuk ini, meminjam istilah dalam bisnis, ini perlu long-life maintenance melalui kreativitas dan inovasi terus menerus dalam membina dan mempertahankan relasi."

Namun, kembali kekhawatiran tadi, yakni pandangan bahwa ketika perempuan yang mempertanyakan keseriusan pertama kali, maka bisa dengan sah diproklamirkan: perempuan tersebut sedang putus asa, dan kebelet

"Pada individu tertentu wanita lebih banyak merasakan dibanding memikirkan proses sebuah hubungan. Ketika dirasa nyaman, cocok, bahagia, dan senang—mereka ingin kejelasan, kepastian sifat hubungan untuk lebih dari sekedar teman, atau pacar," jelas Arie. Akan tetapi, menurutnya, perempuan harus hati-hati karena, "dalam kondisi dan situasi ini, perempuan terkadang mengabaikan hal (sifat dan karakter) negatif dari calon pasangan atau faktor-faktor lain selain pribadinya yang berpotensi menjadi masalah di kemudian." 

Dari sisi laki-laki, biasanya mereka mempunyai pemikiran dan pertimbangan tersendiri mengenai kesiapan bisa tidaknya membuat komitmen dalam sebuah keseriusan. Namun, sebenarnya ketika perempuan menginvestigasi duluan, apakah pria lantas menganggap pasangannya itu 'murahan'? 

"Era sudah berkembang," jawab Arie. "Tidak ada salahnya ketika relasi sudah dirasakan semakin mendalam untuk mempertanyakan keseriusan."

Arie menjelaskan bahwa penting meminta dan mencari tahu level keseriusan pasanganmu. Alasannya: Pertama, diperlukan sebagai proses mengenal lebih dalam dan lebih jauh faktor-faktor terkait pribadi dan keluarga. Kedua, saling belajar memproses sebuah perbedaan (banyak aspek) dan bagaimana melakukan penyesuaian atau antisipasi konflik. Proses ini juga untuk mendewasakan, mematangkan pribadi.

Ketiga, belajar perlu waktu. "Untuk ini kapan dan berapa lama sangat bergantung pribadi masing-masing individu dalam berproses. Sebagai contoh merasa tidak perlu berlama-lama berteman saja atau berpacaran karena membuang waktu, sudah dikejar usia, tuntutan keluarga atau alasan lain."

Keempat, tidak semua pria mampu bicara terbuka sekalipun merasa ingin relasi menjadi tahap lebih serius. Jadi, tidak ada salahnya untuk wanita membuka diri atau mempertanyakan mengenai keseriusan sebuah hubungan.

Bilang saja kamu sudah berpacaran selama satu tahun, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa si dia mau serius, boro-boro berlutut dan memberikan cincin, diperkenalkan sama orangtuanya saja belum pernah. Padahal kalian sudah sangat cocok! Apaaaa yang sedang terjadi?!

"Ada kalanya semakin dalam hubungan, semakin merasakan atau menilai faktor-faktor penting tidak sesuai dengan yang diharapkannya," jelas Arie. "Kemungkinan lainnya pria belum ada keberanian mengungkapkan apa yang sudah dirasakan. Atau, sikap toleransi terhadap ketidaksesuiannya dan usaha memperpanjang harapan 'siapa tahu di kemudian waktu ada perubahan', dan ternyata tidak."

Ok, bilang saja pacar kita: memang pemalu sehingga belum ada keberanian untuk membicarakannya, sementara kalian sudah socok. Bagaimana cara mengangkat bahan pembicaraan 'hubungan serius' ini, tanpa membuat dirimu... malu. 

"Formal dan serius, mencari dan minta waktu khusus," Arie berkata dengan tegas. 

Pembicaraan sudah terjadi, dan ternyata dia menjawab dengan... (jeng, jeng): 'Aku mau serius dulu dengan karirku'. Ouch! Haruskah merespon dengan, 'yah, aku tunggu kok?' atau 'oh, ok, bye-bye,' atau 'sampai kapan harus ditunggu?'

"Bagi wanita perlu berpikir realistik juga. Harus ada pemikiran dan dasar yang jelas kenapa akhirnya, misalkan memberikan batasan waktu atau kesempatan belajar untuk lebih mengenalnya. Pastinya, diteruskan atau tidaknya hubungan tersebut harus ada dasarnya seperti sudah dijelaskan tadi," Arie menyimpulkan.