Takut Jadi Jomblo Seumur Hidup? Wajar KokApalagi Jika Karir Sudah Mapan

Love
ISTOCK

Bagaimana cara mengatasinya dan tidak menjadikan status sebagai penghambat kebahagiaan.

Kamu melihat Instagram seseorang—dan terdera dan tertekan saat melihat postingan mesranya dengan pasangannya. Berpegangan tangan. Menatap dengan pandangan penuh makna. Lalu, akhirnya menerima pernyataan cinta seseorang meskipun tahu bahwa dia tidak tepat untukmu. Agar bisa yah, seperti mereka. Atau, tidak jua ada yang "menembak" sehingga menjadi takut dan khawatir setengah mati menjadi jomblo. Takut tidak bahagia—atau tidak bakalan bisa "sebahagia" proyeksi di media sosial.

“Seperti yang kita ketahui, memiliki pasangan, menjalani hidup dengan seimbang, dan memiliki pekerjaan yang menjanjikan merupakan dambaan dari banyak orang. Banyak orang yang merasa hidupnya seakan tidak lengkap jika tidak memiliki ketiga hal tersebut. Salah satu yang paling kita sering dengar adalah masalah pasangan. Banyak orang yang merasa sukses dengan pekerjaannya, mampu menyeimbangkan hidupnya tapi belum memiliki pasangan hingga merasa takut menjadi single atau jomblo dalam waktu yang lama,” kata Mohammad Adi Ganjar Priadi, M. Psi. Psikolog., seorang psikolog klinis dari Unika Atmajaya, Jakarta. Horor.

Menurutnya, tidak jarang orang menjadi terobsesi untuk memiliki pasangan—dan seakan-akan fakta tidak memiliki pasangan menjadi alasan yang kuat untuk merasa resah dan gelisah berkelanjutan. Jadi? “Sebenarnya rasa takut ini adalah suatu hal yang wajar, mengingat di usia dewasa muda (antara 20 sampai 40 tahun) memiliki pasangan adalah salah satu tugas perkembangan, selain membina karir, seperti yang diungkapkan seorang Diane E. Papalia, pakar psikologi bidang perkembangan manusia,” ujarnya.

Sebagai tugas? Berarti kita harus mengerjakannya?

“Iya! Jika kita analogikan, semua tugas pasti memiliki beban tertentu, sehingga orang-orang yang belum dapat melaksanakan tugas perkembangan tersebut akhirnya merasa terbebani karena tidak kunjung tiba mendapatkan pasangan. Situasi tersebutlah yang kemudian berpeluang memunculkan rasa takut. Sementara itu, tanpa disadari peran masyarakat secara umum juga turut mengambil andil dalam membuat orang menjadi takut menjadi single atau jomblo,” ujarnya. Lanjutnya, “sebagai contoh, ada anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa semaju dan sehebat apapun kehidupan karir dan finansial seseorang, tapi selama belum memiliki pasangan maka ia akan mendapatkan penilaian ‘minus’. Sering kita dengar ungkapan orang-orang di sekitar kita: ‘cantik/tampan sih, mapan juga, tapi kok sayang belum punya pasangan.'"

Komentar dari masyarakat di RT, RW, kompleks, plus warganet yang kebanyakan tidak kita kenal, tapi entah kenapa terkesan 'selalu benar'. Plus plus lagi, yah itu tadi media sosial yang selalu memamerkan dan menebarkan cinta, kebahagian pasangan. #relationshipgoals. Si jomblo pun akan terlihat semakin menyedihkan.

"Rasa takut juga dapat muncul dikarenakan beragam pengalaman yang tidak menyenangkan. Contohnya, mulai dari pengalaman patah hati dengan mantan kekasih, kegagalan untuk membina relasi dengan pasangan baru, hingga merasa tidak berdaya dalam mencari pasangan,” tutur Adi.

Lebih lanjut, ia mengutip teori hirarki kebutuhan milik Abraham Maslow, seorang tokoh psikologi beraliran humanistik yang mengategorikan bahwa kebutuhan manusia pada umumnya dibedakan menjadi:

  1. Physical needs atau kebutuhan mendasar, sepert makan, minum, dan bernafas.

  2. Safety needs atau kebutuhan akan rasa aman, seperti pendidikan, tempat tinggal, dan sebagainya.

  3. Love and belongingness, yaitu kasih sayang yang didapat dari lingkungan.

  4. Self-esteem: ketika mampu mengembangkan penghargaan terhadap diri sendiri.

  5. Self-actualization: kebutuhan paling puncak yaitu ketika orang merasa sudah mampu secara konsisten mengaktualisasikan diri.

“Kebutuhan tersebut sifatnya terstruktur dan sistematis. Artinya, untuk dapat memenuhi kebutuhan hingga tahap puncak, orang perlu memenuhi kebutuhan sebelumnya terlebih dahulu. Misalnya, orang yang memampu memenuhi kebutuhannya akan kasih sayang (love and belongingness) haruslah terlebih dahulu memenuhi kebutuhan akan rasa aman (safety needs). Jika dikaitkan dengan teori tersebut, kebutuhan akan memiiki pasangan menjadi sebuah kebutuhan lanjutan jika kita sudah mampu memenuhi kebetuhan mendasar (physical needs) dan rasa aman (safety needs). Umumnya, pada usia dewasa dua kebutuhan awal tersebut sudah terpenuhi, sehingga selanjutnya akan bergerak untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang,” terangnya.

Seperti yang sudah dikatakan sejak awal: hidup harus seimbang. Ini yang akan berlaku sampai kapanpun.

“Dengan melihat tahapan hidup, kita menjadi tahu bahwa kebutuhan akan self-esteem dapat tercapai setelah kebutuhan akan kasih sayang (love and belongingness) dipenuhi. Oleh karena itu, banyak orang yang merasa belum percaya diri bila tidak memiliki pasangan, meskipun sudah memiliki kemapanan karir maupun finansial yang dapat dikategorikan sebagai kebutuhan akan rasa aman (safety needs). Apalagi di Indonesia, memiliki pasangan juga merupakan salah satu hal yang membuat orang dapat diterima oleh lingkungannya.

"Dengan kata lain, ada yang orang yang merasa takut jomblo karena berpikir kebutuhan kasih sayangnya tidak akan terpenuhi," terangnya. Padahal, “sumber dari kebutuhan tersebut bukan hanya dari pasangan, tetapi juga dari lingkungan keluarga maupun pertemanan yang memberikan efek suportif dan positif. Masalah kemudian akan timbul jika orang tidak mendapatkan kasih sayang dan penerimaan yang cukup dari lingkungannya, sehingga ia akan terus berupaya untuk mencari pasangan justru demi mendapatkan penerimaan di masyarakat, bukan karena merasa ‘butuh’. Miskonsepsi tersebut yang akhirnya banyak menggiring orang untuk mencari pasangan hanya sebagai status belaka,” lanjutnya.

Lalu, bagaimana cara mengatasinya?

“Dalam mencari pasangan idealnya perlu dilakukan secara terencana mengingat tujuan akhir yang diinginkan adalah memenuhi kebutuhan akan kasih sayang (love and belongingness) secara menyeluruh sehingga kita siap melangkah untuk memenuhi kebutuhan berikutnya,” jawabnya.

Namun, “rasa takut yang terus menerus muncul sebagai akibat dari pemenuhan kebutuhan yang tidak tepat dapat mengganggu keberfungsian sehari-hari dan kesejahteraan psikologis. Bentuknya bisa beragam, mulai dari penurunan konsentrasi ketika bekerja, kehilangan minat sosial, hingga menjadi sensitif maupun reaktif ketika membahas persoalan mengenai pasangan. Kalau sudah begini biasanya kehidupan personal menjadi tidak menyenangkan. Untuk itu, kamu harus tetap fokus mengatasi persoalan. Berhenti mengembangkan rasa takut yang dimiliki dan masih banyak hal positif yang bisa dipikirkan. Selain itu, tekuni minat atau hobi yang sempat tertunda atau belum tercapai hingga bisa menjalin relasi baru dan menguatkan relasi yang sudah ada. Tidak bisa dipungkiri bahwa dukungan sosial juga banyak membantu dalam proses ketenangan dan kematangan psikologis yang dimiliki,” tuturnya, panjang lebar.

Jika semuanya sudah dijalani, dan ingin membuka hati? 

“Sebaiknya, sebelum membuka hati pada orang lain, kita pun perlu menyiapkan diri untuk dapat menerima diri sendiri. Kenali potensi, tujuan, dan keinginan yang utama dalam diri. Ini menjadi salah satu cara untuk menyiapkan hati sepenuhnya sebelum menentukan untuk memiliki pasangan. [Karena jadi nanti memiliki pasangan] kita harus siap untuk mengorbankan dan mengalihkan prioritas, waktu, tenaga, perasaan dan pikiran untuk pasangan kita. Sebagai tambahan, cara lain untuk membuka hati adalah dengan memperluas kemungkinan mendapat relasi positif, dapat juga dilakukan dengan cara mengikuti komunitas baru maupun berkenalan secara aktif dalam perkumpulan-perkumpulan sesuai dengan minat yang dimiliki,” ungkap Adi.

Intinya: kenali dirimu, bersikaplah positif, perbanyak teman—dan jangan takut jadi jomblo!