Televisi & Anak: 'Tinkerbell' atau 'Kapten Hook'?

Televisi & Anak: Tinkerbell atau Kapten Hook?
WOOP.ID

Memahami dampak televisi pada anak, terutama balita, dan cara menyikapinya.

Skenario kebanyakan orangtua modern: “membiarkan” anak menonton televisi (TV) agar si anak bisa tenang dan orangtua bisa mengerjakan hal lain. Atau orangtua bekerja di luar rumah, anak ditinggal bersama pengasuh dan terekspos dengan televisi seharian. Menyalahkan orangtua bukanlah solusi, tapi di sisi lain kita tahu, TV memiliki sisi positif dan negatif buat anak--tinkerbell dan kapten hook. What a dilemma! Tentang isu ini, WOOP berbincang dengan Imelda Saraswati, psikolog dan pemerhati tumbuh kembang anak dari Binus International School Bekasi.

Apa pengaruh yang dapat muncul pada anak dari televisi?

Screen-time bisa dikatakan sebagai mental junk food.  Tentu enak, tapi tidak baik jika dikonsumsi setiap hari. Pada saat balita terutama, menonton televisi tidak disarankan karena usia tersebut perkembangan otak anak sedang berjalan maksimal, dan potensial yang bisa diraihnya sangat terpengaruh dari interaksi sosial di dunia nyata yang dialami oleh anak. TV memang terlihat bagus sebagai media penyampai informasi dan hiburan, tapi seringkali orangtua melupakan nature televisi sebagai media 2 dimensi, bukan 3 dimensi. Anak-anak usia balita membutuhkan mental nurture dengan interaksi konkrit yang dapat dirasakan oleh seluruh indra. Televisi dengan moving visuals yang cepat juga membentuk penontonnya menjadi pasif, karena komunikasinya hanya berjalan searah. Untuk anak, ini menjadikan tidak adanya eksplorasi terhadap pilihan-pilihan yang mungkin ada, dan interaksi berjalan searah tanpa feedback. Maka dari itu, banyak muncul kasus anak-anak dengan gangguan konsentrasi, yang disebabkan oleh alur informasi cepat dari tayangan televisi.

Jika anak sudah terbiasa menonton TV dengan waktu lama…

Dapat terlihat jelas di kemampuan sosialnya, dan bagaimana ia bersikap terhadap lingkungan. Sebagai orang tua dan pendidik, kita tentu berharap anak bisa tumbuh untuk tahu bagaimana merespon kondisi di sekitarnya dan memiliki pertimbangan terhadap pilihan yang ada, untuk membentuk interaksi yang maksimal dan akhirnya menumbuhkan kecerdasan sosial. Anak yang menonton TV dengan waktu panjang cenderung terbiasa ter-entertained, dan menginginkan segala sesuatunya instan atau cepat. Banyak akhirnya yang memiliki gangguan di sekolah, karena apa yang ada di sekolah tidak memberikan efek hiburan yang sama dengan aktivitas menonton. Akhirnya anak jadi cepat bosan, dan kembali lagi ke screen untuk membuang kebosanan. Yang harus diberi pengertian adalah bahwa tidak setiap saat hidup itu menyenangkan dan kita pasti memiliki rasa bosan. Anak harus dipacu untuk berpikir bagaimana cara menghindari atau keluar dari kebosanan yang mereka alami, tanpa harus terikat dengan screen dan TV.  

Bagaimana seharusnya sikap orangtua?

Tidak bisa dipungkiri, bahwa televisi juga memiliki banyak fungsi positif. Selain dapat menunjang pembelajaran anak, tayangan-tayangan tertentu memang memiliki fungsi edukatif yang baik. Intinya, menonton televisi tentu boleh-boleh saja--asal ada batas-batas yang jelas.

Di usia berapa orangtua bisa memulai exposure pada TV?

Menurut penelitian, memang sebaiknya anak di bawah usia 2 tahun tidak diperkenalkan pada televisi atau diberikan waktu screen time. Menurut saya pribadi, sebaiknya ekspos anak pada televisi diberikan ketika anak tersebut sudah dalam tahapan mampu untuk berkomunikasi secara dua arah, yang memungkinkan ia untuk mendapatkan pengenalan terhadap fungsi dan cara kerja televisi. Proses ini bisa dilakukan secara bertahap, dan seiring anak berkembang, akan semakin kompleks. Pertama, anak diperkenalkan terhadap bentuk tayangan TV singkat, berlanjut ke jenis program televisi, dan kemudian pembatasan waktu menonton.

Cara membatasinya?

Coba metode-metode unik dan kreatif. Saya sendiri mencoba menerapkan metode reward and konsekuensi, dimana anak diajarkan bahwa menonton TV bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan dengan bebas, dan perlu usaha untuk mendapatkannya. Saya menggunakan stik es krim sebagai token. 1 stik bernilai 30 menit waktu menonton, dan untuk mendapatkan satu stik, anak harus melakukan suatu tugas lain. Jumlah stik yang diberikan setiap harinya saya batasi. Saya mencoba menanamkan bahwa “If you want something, you have to do something.” kepada anak. Penerapannya pada waktu menonton TV adalah karena saya menginginkan ada pemahaman anak bahwa kita bisa hidup tanpa televisi, so it’s not a big deal if you have to work to get it.

Kami orangtua bekerja dan anak dititipkan pada pengasuh. Bagaimana kontrolnya?

Pengasuh memang hadir sebagai variabel yang tidak bisa dikontrol. Meskipun begitu, sebenarnya tetap ada yang bisa dilakukan, kok. Rajin mengingatkan pengasuh untuk jam menonton, jenis tayangan dan aturan lain yang sudah ditetapkan. Memang sulit, ketika kita tidak bisa memastikan langsung kondisi rumah. Saya mengakalinya dengan menelpon di jam-jam tertentu untuk mengecek kegiatan anak pada pengasuh, atau sekadar mengobrol singkat dengan anak tentang aktivitasnya. Lakukan bentuk pengawasan rutin sejauh apa yang bisa kita usahakan.

Konten televisi yang baik untuk anak…

Semua yang bersifat edukasional. Anak balita dapat diperkenalkan dengan tayangan pengenalan angka, vocabulary, proses membaca, berhitung dan lain lain. Setelah berkembang lebih lanjut, saya menganjurkan untuk menggunakan film. Banyak sekali film dengan konten positif yang dapat mengajarkan bagaimana ketika bertemu teman baru, cara menghargai diri sendiri dan orang lain, serta banyak bentuk interaksi sosial lainnya. Kreativitas dan kemauan orangtua dalam proses parenting berperan besar dalam proses kurasi ini, apalagi jika orangtua memiliki perhatian khusus terhadap potensi dan tumbuh kembang anak.

Kunci keberhasilan?

Bahwa orangtua harus terlibat penuh dan menjalankan apa yang diterapkan pada anak. Anak membutuhkan sosok role model; keberhasilan orangtua menanamkan values terhadap anak bergantung pada bagaimana ia melihat orangtuanya menjalankan hal yang sama. Jika ingin anak rajin dan menyukai membaca buku, maka orangtua pun harus memperlihatkan rasa suka terhadap kegiatan tersebut. Ingin membatasi anak menonton TV, maka orangtua pun tidak boleh menonton TV di waktu anak-anak dilarang menonton. Nggak perlu perfect-perfect amat, tapi ada konsistensi, supaya anak terbiasa dengan aturan. Jika orang tua tidak konsisten terhadap apa yang ditetapkannya sendiri, akan membentuk pesan bahwa nilai yang sedang diajarkan itu tidak penting.