Akhir-akhir Ini Begitu Banyak Kebencian di Sekitar KitaBagaimana Mengubahnya

Akhir-akhir Ini Begitu Banyak Kebencian di Sekitar KitaBagaimana Mengubahnya
ISTOCK

Memang berat, tapi sangat mungkin dilakukan.

Kita kemungkinan membenci sesuatu. Benci tikus, kecoa, orang yang kerjanya lelet, mereka yang memiliki pandangan yang berbeda, atau prinsip politik yang bagaikan langit dan bumi denganmu. Pokoknya, benci. Walaupun, "bukan berarti mereka semua sama," kata Sally Kohn, seorang komentator politik, aktivis dan penulis buku The Opposite of Hate: A Field Guide to Repairing Our Humanity, dalam sebuah video TedWomen. "Saya tidak mengatakan bahwa menjadi bully sama buruknya dengan menjadi Nazi... tapi membenci Nazi tetap saja sebuah kebencian, benar 'kan?" lanjutnya. 

Dalam video tersebut Kohn mengakui bahwa dulu, saat masih SD, dirinya adalah seorang pem-bully di sekolah; terutama untuk seseorang yang disebutnya bernama Vicky (dan Vicky dirundung oleh hampir semua anak di sekolah, bahkan guru). "Ketika saya berusia 10 tahun, saya memperlakukan manusia lain seperti tidak berharga... seolah-olah saya lebih baik darinya, dan dia cuma sampah. Manusia baik seperti apa yang melakukan hal tersebut?" tanyanya. Kohn berpendapat bahwa mem-bully juga merupakan sebuah bentuk kebencian karena pada intinya, kita merasa superior dibandingkan orang lain—yang merupakan salah satu definisi kebencian. Aktivis ini juga berargumen, bahwa kebencian tidak hanya berbentuk perbuatan, tapi juga pikiran—bahkan ketika hal tersebut tidak diucapkan atau disadari. 

"Saya memberikan definisi luas yang lebih luas atas kebencian karena saya merasa kita memiliki masalah yang besar. Dan kita perlu mengatasi semuanya, tidak hanya yang paling ekstrim," paparnya. 

Menariknya, menurut Kohn dari begitu banyak penelitian di dunia ini, manusia tidak diciptakan atau didesain untuk membenci. Tidak ada bayi yang baru keluar dari rahim langsung membenci orang lain. Tidak ada DNA di dalam badan kita yang fungsinya untuk menghina dina atau merendahkan orang lain. Kamu dan saya tidak lahir membenci satu sama lain karena berbeda pilihan gaya hidup atau partai politik. Kebencian biasanya terjadi karena dipengaruhi oleh budaya di sekitar. Dan sekarang ini, "saya merasakan semakin banyak kebencian di sekitar kita," tukasnya. Berita bagusnya, karena manusialah yang menciptakan budaya tersebut, ini artinya bisa diubah. Dan bagusnya lagi, "kita semua menentang rasa benci dan menganggapnya sebuah masalah," tukasnya. Hanya saja, sayangnya kita seringkali berpikir bahwa itu bukan masalah kita, tapi masalahnya mereka. "Mereka kok yang penuh kebencian, saya tidak. Benar 'kan? Salaaah," tegasnya, "... ini adalah masalah kamu dan saya." 

Kohn mengusulkan tiga langkah untuk mengubah kultur ini. 

1. Mulai mengenali kebencian di dalam diri kita. Bukan sesuatu yang terjadi dengan mudah dan cepat, tapi sebuah proses seumur hidup yang harus dijalani semua orang. Namun, "jika seorang mantan teroris... jika seorang teroris bisa belajar untuk berhenti membenci dan bahkan tetap tidak membenci ketika anaknya dibunuh, pastinya kita semua bisa menghentikan kebiasaan merendahkan dan dehumanisasi sesama manusia," tutur Kohn sambil memberikan contoh kisah hidup Bassam Aramin, seorang mantan teroris yang sekarang menjadi seorang aktivis perdamaian. 

2. Promosikan kebijakan, institusi, kebiasaan, sistem yang menciptakan rasa kebersamaan dan komunitas, baik di lingkungan sekitar maupun di sekolah. "Ketika anak-anak bersekolah di TK dan SD yang terintegritas secara rasial, maka dari awal keberpihakan mereka [terhadap suku tertentu] akan berkurang." 

3. Ubah cara bicara, cara berhubungan kita dengan orang lain menjadi lebih murah hati, berpikiran terbuka, baik, dan penuh belas kasih—bukan kebencian.

"Hanya itu, tapi memang berat," ujarnya. Pasalnya, kebencian kita rasakan terhadap grup tertentu "karena siapa yang mereka dan apa yang mereka percaya sangat mendarah daging di dalam pikiran dan masyarakat sehingga rasanya mustahil diubah. "Namun, perubahan sangat mungkin, lihat saja para teroris yang berubah menjadi aktivis perdamaian atau perundung yang belajar untuk meminta maaf kepada korbannya," tegasnya. 

Di akhir video, Kohn menceritakan bahwa suatu saat dirinya berusaha mencari Vicky, dan karena sangat sulit akhirnya memutuskan untuk menyewa seorang investigator swasta. Setelah ditemukan, diketahui bahwa Vicky memang sengaja dan berusaha mati-matian untuk menyembuyikan identitasnya. "Setahun kemudian, saya menulis permintaan maaf kepada Vicky, dan beberapa bulan kemudian dia membalasnya. Saya tidak akan bohong, saya ingin dimaafkan. Ternyata tidak," tutur Kohn. "Dia menawarkan saya satu syarat permintaan maaf...[Dia menuliskan] bahwa hal ini tidak bisa menghapuskan kelakuanmu di masa lalu. Satu-satunya cara melakukannya adalah dengan memperbaiki dunia, mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama, dan kembangkan rasa kasih. Dan Vicky benar, itulah sebabnya saya ada di sini," tegasnya.