Apa Itu PCOSdan Bagaimana Gejala-Gejalanya?

Apa Itu PCOSdan Bagaimana Gejala-Gejalanya?
ISTOCK

Para perempuan harus tahu.

Woop pertama kali mendengar istilah ini dari seorang teman—PCOS. Dia menyebutkannya berkali-kali, tapi jujur Woop kurang tahu artinya. Hasil dari penelusuran di Google, ini adalah sebuah kelainan hormonal yang menyebabkan seorang perempuan bisa kesulitan memiliki anak. Penasaran, Woop berbincang dengan dr. Beeleonie, Sp.OG., seorang Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan dari RS Hermina Kemayoran, Jakarta dan mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. 

Sebenarnya, apa itu PCOS?

“PCOS adalah Polycystic Ovary Syndrome. Kenapa disebut seperti itu, artinya kelihatan seperti poli, sepertinya ovariumnya banyak mengandung kista, jadi polycystic. Tapi sebenarnya yang terlihat bukan kista, itu adalah sel telur (yang kita sebut sebagai folikel) dan biasanya mereka mempunyai susunan yang jelas seperti rantai mutiara yang berada di tepi-tepi indung telur, kalau kita lihat dari USG,” jawabnya.

Berbentuk seperti rantai mutiara? Kenapa bisa terjadi seperti itu?

“Karena sel telur setiap bulannya ada yang membesar (satu) di masa subur, tapi pada kasus polycystic ini, sel telur tersebut tidak bisa mengalami masa subur, karena ukurannya sama, makanya disebut seperti rantai mutiara. Terlihat seolah-olah banyak kistanya, padahal itu bukan kista tapi folikel. Itulah kenapa bisa disebut sebagai sindrom polycystic ovary,” jelas Dokter Bee.

Apakah penyebabnya? 

“Sindrom ini ada bagian genetiknya, tapi bisa dicetuskan dengan inparentmental,” ujarnya. Maksudnya? “Misalnya, kamu memiliki gen polycystic ovary, tapi saya tidak. Kamu malas berolahraga dan pola makannya juga berantakan, sama dengan saya. Tapi menstruasi saya normal-normal saja, saya tidak manifestasi, sedangkan kamu jadi manisfestasi. Sebaliknya, kamu punya gen polycystic ovary tapi rajin berolahraga, pola makan dijaga, stress levelnya rendah, ya tidak akan manifestasi. Jadi ya, bisa dipengaruhi lingkungan juga tapi ada faktor genetiknya juga.”

Selain itu, “banyak faktor fisiologisnya, jadi tidak 100% dari genetik atau gaya hidup/lingkungan, ya," lanjutnya. "Sebenarnya, penyebab pastinya belum diketahui, masih banyak teori dan banyak faktor yang berhubungan, banyak juga nama-nama gen yang berperan di dalamnya."

Apa saja gejalanya?

“Untuk gejalanya, sebenarnya ada dua dari tiga kriteria yang biasanya kita sebut dengan rotterdam. Yang pertama, itu ada oligo atau unovulasi, di mana tidak terjadi menstruasi (tidak ada siklus) yang membuat sel telur itu tidak mengalami masa subur setiap bulannya. Biasanya, dua sampai tiga bulan baru terjadi menstruasi. Kedua, ada hiperandroganisme yaitu timbulnya bulu-bulu di tempat yang tidak diinginkan, atau timbulnya jerawat yang susah sekali diobati. Yang ketiga yaitu gambaran rantai mutiara yang dilihat melalui USG,” paparnya. Jadi, jika “dua dari tiga  kriteria yang ada sudah, [maka] menjadi diagnosa dari sindrom polycystic ovary,” simpulnya.

Bulu? "Begini, perempuan biasanya jarang sekali yang mempunyai bulu di muka, betis, kaki, tangan. Nah, kalau pasien dengan sindrom polycystic ovary bisa tumbuh bulu-bulu di muka (seperti, kumis halus) dan di tangan atau betis,” paparnya

Apakah sindrom polycystic ovary ini memiliki efek terhadap tubuh dan reproduksi? 

“Efeknya itu siklus menstruasi yang terganggu dan tidak teratur, kesulitan untuk hamil, bahkan sampai kanker dinding rahim dan diabetes mellitus tipe 2,” katanya.

Terdengar sangat serius. Adakah cara menyembuhkannya?

“Tergantung masalahnya,” tegas Dokter Bee. “Misalnya, masalahnya hanya pada kriteria hiperandroganisme, katakanlah dia berusia 16 tahun, gangguannya jerawat dan siklus menstruasi yang tidak teratur, itu masih bisa dikendalikan. Tapi, jika dia sudah menikah dan ingin memiliki anak, yang harus dilakukan adalah dengan induksi ovulasi, kita ciptakan masa suburnya. Namun, kita juga harus mencegah risiko jangka panjang dari sindrom ini yaitu adanya kanker dinding rahim dan diabetes mellitus tipe 2. Sebetulnya, gangguan sindrom polycystic ovary ini tidak bisa disembuhkan tapi bisa dikendalikan. Jadi, kita harus mencegah risiko jangan sampai terjadi komplikasi,” tegasnya. 

Membicarakan tentang fertilitas, kehamilan dan keinginan memiliki anak, tahukah kamu bahwa baby blues dan postpartum depression bisa menyerang para ibu setelah melahirkan? Oleh karena itu, ada baiknya melengkapi diri dengan pengetahuan dasar tentang BB dan PPD tersebut seperti yang dijelaskan oleh psikolog ini.