Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua Saat Anak BosanDan Tidak Ingin Memberikan Ponsel

Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua Saat Anak BosanDan Tidak Ingin Memberikan Ponsel
iSTOCK

Jangan panik—bosan tidak selalu negatif.

Si kecil tiba-tiba berujar dengan memelas, "Aku bosan. Ngapain, ya?" Oh tidak, gawaaat! Orangtua panik dan bingung harus melakukan apa; tidak ingin memberikan ponsel tapi takut level kebosanan si anak melonjak drastis. Namun, sebenarnya kenapa orangtua cemas ketika berhadapan dengan situasi seperti ini?

"Ada beberapa kemungkinan," Lily Anggraini, S.Psi, M.Psiseorang psikolog pendidikan menjelaskan melalui email kepada Woop. Di antaranya, orangtua merasa menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk mencarikan kegiatan guna memenuhi kebutuhan anaknya, dan "orangtua memandang kebosanan sebagai sebuah hal yang tidak baik dan harus segera diatasi," terangnya. 

Mari menelaah terlebih dahulu, apa yang biasanya menjadi pemicu seorang anak bisa bosan. Pastinya, banyak. Termasuk, bisa jadi kegiatan yang dijalaninya selama ini monoton, selalu terstruktur, kurang bervariasi, minim tantangan, kurang menarik. Atau, dia tidak punya bermain. Atau, dia tidak mengetahui yang diinginkan sehingga tidak melakukan apa pun dan merasa waktu luang sebagai hal yang tidak bermakna. Atau, atau ini: "Terbiasa dengan hiburan yang pasif seperti menonton tv atau video di gadget, sehingga tidak berlatih untuk mengatur diri mencari arahan untuk dirinya sendiri," ujar Lily. 

Ah, gadget. Banyak orangtua menumpukan harapannya pada produk masa modern ini untuk menjaga anak tetap 'melakukan sesuatu'. Ibu peri modern. "Gadget memang dapat menjadi salah satu solusi untuk menghilangkan kebosanan pada anak, hal ini merupakan salah satu peran gadget di masa kini," terang Lily, maklum. "Namun memberikan gadget pada anak saat anak merasa bosan akan membuat anak terbiasa untuk mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang pasif, hanya menjadi observer dan akan meningkatkan peluang anak 'kecanduan' pada gadget."

Menurut Lily, idealnya anak membutuhkan kegiatan aktif, yang tidak hanya melibatkan jempol, tapi seluruh fisik untuk mengembangkan kemampuan dasar, mempelajari kemampuan motorik kasar dan halus, melatih konsentrasi, dan keseimbangan. "Untuk dapat mengembangkan kemampuan tersebut anak harus melakukan aktivitas dengan menggerakkan tubuhnya. Memberikan gadget pada anak akan membuat anak terbiasa untuk menjadi pasif dan kurang untuk bergerak," Lily mengingatkan. 

Perlu diingat: anak merupakan individu yang penuh dengan kreativitas, ide, imajinasi, sehingga ketika "diberikan kebebasan untuk bergerak dan mengamati, maka anak akan dapat mengeksplorasi lingkungannya. Ia akan dapat menemukan aktivitas yang menarik dan sesuai dengan passion-nya," katanya. Selain itu, saat terbiasa aktif, anak juga belajar untuk mengembangkan inisiatif, ketertarikan, dan berani mencoba "yang akan menjadi dasar bagi mereka untuk mengetahui apa yang menjadi minat dan arah yang ingin ia capai."

Namun tetap saja, sebagai orangtua, rasa cemas, panik, deg-degan dan bingung ketika mendapati anaknya bosan sesuatu yang sulit dikendalikan. Apalagi mendengar kalimat, "Ma, Pa, aku bosan"— jantung sepertinya mau copot. Asosiasinya adalah anak bosan = kabar buruk. 

"Kebosanan bisa jadi suatu hal yang tidak baik," terang Lily. "Misalnya membuat anak malas untuk melakukan aktivitas sehari-hari," lanjutnya. "Kebosanan juga dapat menjadi feedback bagi orangtua atau pengajar mengenai kegiatan anak, seperti ketika anak merasa bosan karena ia telah melakukan suatu hal yang sama dan berulang-ulang dan tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan aktivitasnya sehingga ia merasa terjebak dan terpaksa melakukan kegiatan tersebut. Namun jika kebosanan terjadi dan anak diberikan kesempatan untuk memodifikasi aktivitasnya agar menjadi lebih menarik, maka sesungguhnya kebosanan akan menjadi dasar atau pendorong bagi anak untuk mengembangkan kreativitas dan menetapkan suatu tujuan yang lebih tinggi," Lily menerangkan. 

Dengan kata lain: jika anak bosan, jangan langsung panik—atau merasa bersalah dan gagal sebagai orangtua. Jika ini terjadi, "maka sebaiknya orangtua mencari tahu terlebih dahulu apa yang menyebabkan anak merasa bosan," anjurnya. Cek: apakah karena jadwalnya yang terlalu monoton dan tidak fleksibel, "sehingga ketika berada di waktu senggang ia menjadi bingung dan tidak dapat mengarahkan dirinya untuk melakukan suatu aktvitas. Ataukah, anak tidak diberikan kesempatan untuk mengeksplor kegatan-kegiatan yang bisa ia lakukan dan hanya diperbolehkan untuk melakukan kegiatan tertentu saja, sehingga ia merasa tidak tertantang." 

Jika skenario pertama yang terjadi, "maka sebaiknya orangtua mendorong anak untuk belajar mencari aktivitas yang menarik bagi dirinya saat ia sedang luang dan tidak memiliki jadwal tertentu," tuturnya. Lily menekankan signifikansi keterampilan tersebut karena anak akan belajar untuk mencari tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan. "Banyak anak SMA yang tidak mengetahui akan melanjutkan sekolah ke mana setelah lulus SMA, karena ia tidak terbiasa memahami diri, kebutuhan dan minat dirinya." 

Jika yang menjadi penyebab kebosanan adalah yang kedua, maka sebaiknya orangtua memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan apa yang ia inginkan dan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang ia minati.

Intinya, "aktivitas yang dipilih untuk mengatasi kebosanan pada anak sebaiknya tidak bersifat pasif dan sebaiknya berasal dari aspirasi anak." Bukan semata-mata dari orangtua. "Jika anak mendapat solusi yang tidak berdasarkan kebutuhannya, maka anak akan cepat merasa bosan sebab ia belum dapat memenuhi apa yang sebenarnya ia harapkan."

Sangat bisa dimaklumi ketika otak rasanya berhenti seketika dan bibir kelu ketika anak mengatakan dirinya bosan. Jika itu yang kamu alami, Lily menganjurkan untuk mengucapkan hal-hal seperti ini: 'Oh kamu bosan. Oke, sekarang 'kan kamu sedang tidak sibuk, coba kamu nikmati dulu waktu kosongmu dan coba cari sesuatu yang tidak membuatmu bosan.'

Jika anak belum tahu kegiatan apa yang ingin dilakukan, orangtua dapat membantu anak. Dan jika berhubungan dengan gadget, jadikan teknologi tersebut hanya sebagai pelengkap, bukan bahan penghibur dan penghilang bosan yang utama.

"Sebut saja, si anak memiliki kebutuhan untuk belajar membuat patung tapi belum tahu media apa yang akan ia gunakan," Lily memberikan contoh. Orangtua dapat memberikan pilihan media, misalnya tanah liat, bubur koran dan gips, kemudian meminta anak untuk mencari kelebihan dan kekurangan dari bahan-bahan tersebut temasuk dengan harganya menggunakan gadget. Lalu, letakkan gadget.