Apakah Menjadi Orang Baik Lemah?

Apakah Menjadi Orang Baik Lemah?
ISTOCK

Dilema.

Ada yang bilang: “jangan terlalu baik, nanti kamu dianggap lemah." Jadi salah nih, menjadi orang baik? Yah, sudahlah kalau begi...

“Menjadi orang baik tentu bukan suatu kelemahan. Menjadi orang baik atau bersikap baik adalah kewajiban bagi manusia, karena pada dasarnya manusia memiliki akal budi, etika, dan moral dan hal inilah yang membedakan kita dengan ciptaan Tuhan lainnya,” jawab Cecilia Helmina Efranie, M.Psi., Psikolog, seorang psikolog klinis dari Pion Clinician Jakarta Selatan dan Klinik Pelangi, Cibubur.

Ia melanjutkan, “sebagai makhluk sosial, kita memiliki bermacam-macam kebutuhan dan salah satunya adalah mendapatkan kasih sayang dari orang lain di sekitar kita, bisa berupa perhatian, bantuan, interaksi dan lain sebagainya. Hal ini yang menjadikan dasar dalam hidup bersosialisasi, yakni cara kita berinteraksi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kadang kita berpikir menjadi orang baik merupakan suatu kelemahan. Hal ini dikarenakan kita tidak bisa mengontrol sikap atau respon orang lain kepada kita, sehingga terkadang perbuatan/ sikap baik kita dianggap atau dibalas dengan kejahatan, orang lain bersikap tidak baik." 

Serba salah. Membuat bingung. Bilang saja, kamu sedang ingin membantu seseorang—tulus, ikhlas—eh, malah dikira sedang mencari keuntungan. Ada udang di balik batu. “Benar sekali. Sekarang kembali lagi kepada kedewasaan seseorang. Ketika seseorang benar-benar sudah dewasa, tentu bisa memahami mana yang baik dan buruk, dan memiliki ‘kasih atau kemampuan untuk mengasihi orang lain tanpa pamrih’. Maka ketika kebaikan yang kita lakukan tidak mendapatkan balasan dari orang lain pun, kita tidak merasa dirugikan. Toh, kita tidak bisa mengontrol atau mengatur cara orang lain berespon bukan? Tentunya, hal ini tidak bisa lepas juga dari nilai-nilai agama yang dianut masing-masing orang,” jelasnya.

Lalu, mengapa banyak orang yang malah mengsalahartikan kebaikan seseorang ya?

“Banyak alasan di balik itu semua. Biasanya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang mereka alami sebelumnya, yaitu pengalaman yang kurang menyenangkan. Misalnya, pengkhianatan, kejahatan atau perbuatan yang tidak menyenangkan lainnya. Selain itu, kurangnya pemahaman nilai-nilai agama juga bisa mempengaruhi, sehingga mulai timbul kecemasan, ketakutan, dan kekecewaan setalah melakukan hal yang baik. Mereka merasa bahwa apa yang dilakukan akan sia-sia, tapi jika seseorang benar-benar memahami bahwa kebaikan adalah kewajiban tanpa memandang/ memikirkan respon timbal balik dari orang lain,dia akan tetap melakukan kebaikan kepada orang lain dengan ikhlas dan senang,” tutur Cecil.

Hal itu memang lebih mudah dikatakan, daripada dilakukan. Setuju? Apalagi jika orang tersebut memang menyebalkan, sulit sekali untuk tetap menjadi orang baik di depan dan baginya. Kasarnya, bisa jadi mereka menganggap kita mahluk tidak kelihatan—alias menganggap remeh, rendah atau tidak selevel dengannya. Ini harus nih, tetap nih, baik terhadap mereka? 

“Harus!” tegas Cecil. “Karena hidup di dunia ini bukan untuk menyenangkan orang lain atau mendapatkan impresi dari orang lain saja. Tapi setiap apa yang kita lakukan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan,” sambungnya.

Hmm... baiklah. Diusahakan. Sekuat tenaga.