Ayla Dimitri, On Content Creation and Social Media Craze

Ayla Dimitri, On Content Creation and Social Media Craze
WOOP.ID/ALEXIS CALVIN WIJAYA

Ayla berbagi pandangan mengenai profesi content creator dan perkembangan media sosial.

Kini tengah ramai dibicarakan keberadaan orang-orang yang menyebut dirinya sebagai content creator. Mereka berhasil memaksimalkan keberadaan media sosial seperti Instagram, YouTube dan banyak lainnya, untuk memperoleh “keuntungan” atas karya-karya mereka. Ayla Dimitri, salah satu influencer bidang fashion dan lifestyle, menjabarkannya untuk pembaca WOOP.

What is a content creator?

Content creator itu lahir dari tren website dan social media, dan pekerjaan utamanya seperti namanya, yaitu membuat konten. Setiap orang, jika sudah memiliki konten yang bisa ditulis dan di-share, atau lebih baiknya menyampaikan berita, sudah bisa disebut sebagai content creator.

On content creation…

Ada proses kreatif yang aku jalankan setiap merancang konten untuk setiap platform yang kupunya. Instagram, blog, Youtube, Snapchat semua membutuhkan treatment yang berbeda, begitupun juga dengan produk dan klien yang aku terima. Kreativitas diri ditantang, karena ada tuntutan untuk reaching pasar yang lebih besar dengan platform digital yang semakin beragam. Konsistensi juga penting, supaya kualitas karya tetap terjaga.

As a digital influencer…

Sebagai penyedia informasi, apa yang aku post dapat memberi pengaruh pada orang lain, jadi aku pun juga mencoba untuk menerapkan rambu-rambu. Aku tidak merokok, jadi aku sebisa mungkin tidak menampilkan image seseorang yang merokok. Dan sebagai perempuan yang belum menikah, aku berkomitmen untuk tidak menampilkan PDA (public display of affection,-red) dengan pasanganku, supaya tidak dijadikan pembenaran bagi adik-adik yang mungkin mengikuti akunku; bahwa hal-hal itu boleh saja dilakukan meski berbeda dengan ajaran keluarganya.

About people’s judgment…

Sebenarnya membingungkan miskonsepsi orang datang dari mana, karena setiap influencer memiliki cara berbeda untuk menggunakan media sosial masing-masing. Yang aku paling banyak alami adalah sindiran, “Enak ya, tinggal ganti baju dan foto lalu dibayar.” Padahal tidak semudah itu. Banyak kerja keras dan detail yang dibutuhkan di dalam pengerjaannya. People might say it’s easy work, but for me it’s not.

On social media craze…

Tren digital di Indonesia memang bukan hal yang baru, tapi betul jika dikatakan baru dimulai. Sebagai fenomena, respon dan aksi orang-orang akan selalu memiliki dua sisi. Pada awalnya, akan selalu ada yang setuju ataupun menolak dan menghujat, tapi itu semua akan berkembang sesuai dengan tren nantinya.

Insights about the positives and negatives?

Keberadaan media sosial sangat berguna untuk self-marketing dan self-branding. Media-media seperti Instagram dan YouTube dapat dijadikan sebagai leading platform untuk menampilkan karya-karya kreatif, apapun itu bentuknya. Sisi negatifnya ada pada kurangnya filter di media sosial: konten-konten positif dapat mudah ditenggelamkan oleh konten yang buruk ataupun improper. Ini menjadi tantangan terutama bagi orang tua dan pembimbing untuk lebih cerdas membantu menyikapi adanya media sosial. Tidak perlu sepenuhnya melarang, tapi harus ada strategi yang dibuat.