Ayu Utami: 'Ketika Tidak Terjadi, Berarti Its Not My Fate'

Work
WOOP.ID/YOGO TRIYOGO

Cerita seorang perempuan yang ingin punya anak dan menjadi ibu. Bercerita tentang takdir.

Apa tanggapanmu ketika mengetahui seseorang—entah itu teman lama baru bertemu lagi di sebuah acara reuni atau anggota keluarga—yang sudah menikah beberapa tahun dan belum memiliki momongan? 'Sabar, ya' atau 'Kok bisa, kenapa?' 

"Gue lebih prefer ‘kenapa?’ Kalau ‘sabar aja’, gue kayak pengen langsung bilang, ‘Bok, kali deh, itu udah pasti dong,'" ujar Ayu Utami dengan nada sedikit emosi dan tidak sabar. '"'Yah udah sabar, aja.' Duh! Bertahun-tahun lo pikir gue nggak sabar?' Ini nggak make sense aja menurut gue," lanjutnya masih dengan intonasi yang sama. 

Ayu Utami, berusia 34 tahun, berbintang Pisces ("makanya gue orangnya moody banget!”), sekarang menjabat sebagai Managing EditorGlitz Media, keturunan Padang ("gue nggak ngerti kenapa kayaknya orang Padang kalau lahiran selalu cewek"), sudah sembilan tahun menikah—dan belum memiliki anak. Dan saat bertemu dengannya di sebuah kafe di daerah Kemang (persis di samping kantornya), dalam balutan hitam dari atasan sampai celana (kecuali bandana berwarna krem), Ayu menceritakan kondisinya dengan blak-blakan—dan menariknya, sangat antusias. Wajahnya sangat emotif, mencerminkan berbagai perasaan yang senada dengan intonasi suaranya, tangannya bergerak-gerak dan saat sedang ingin menegaskan sesuatu, selalu mengetuk-ngetukkan jari ke meja. Sebelum ini saya sudah mengenal Ayu (kami pernah bekerja di perusahaan media yang sama), sehingga saya langsung mengenali ketika ada yang satu hal yang selalu menempel di jari-jarinya: rokok. 

"Gue sedang mengurangi rokok," katanya lalu terkekeh geli. Saya pun ikut tertawa karena mengingat beberapa tahun lalu setiap kali menemukannya sedang beristirahat di antara tekanan deadline, benda putih berasap itu terselip di jari-jarinya. Setelah sedikit tenang, Ayu mulai bercerita tentang kehidupan pribadinya. 

Ayu menikah saat berusia 25 tahun dan, "jadi waktu itu gue bilang sama suami gue bahwa gue memiliki masa lalu yang membuat gue eh… enggan… bukan enggan sih, sebenarnya, hmm... (terdiam, berusaha memilih kata-kata yang tepat) "membuat gue tidak memprioritaskan memiliki anak," tegasnya. "Dan alhamdulillah suami gue mengerti," lanjutnya. Meski bukan berarti tidak ingin, istilahnya menurut Ayu, "mau dapat cepat alhamdulillah, mau nggak dapat yah, nggak papa, sabar aja." 

Saat Ayu berumur 10 tahun, ibunya meninggal. Hidupnya pun lantas berpindah-pindah, satu periode tinggal di rumah tante, satu periode berikutnya tinggal di rumah nenek, setelahnya dengan uwak [kakak ibu], dan memilih mengekos saat bekerja. Inilah salah satu faktor alasannya "tidak memprioritaskan anak." 

"Gue tidak ingin punya anak, dan dia merasakan apa yang gue rasakan. Misalnya, anak gue, pas dia umur 10 tahun, terus gue meninggal… amit-amit, ya (katanya sambil mengetuk meja tiga kali), gimana? Dia tinggal sama siapa? Struggle untuk sekolah, struggle untuk mandiri," tuturnya dengan nada sedikit prihatin. 

Plus, ada satu alasan lagi yang menurutnya menjadi pertimbangannya kala itu: "Tadinya gue nggak suka sama anak kecil," katanya tanpa ragu. "Sampai range lima tahun, gue nggak suka, karena gue pikir itu annoying banget kayak teriak sana, teriak sini, nangis, gegoleran, mengganggu," ujarnya dengan nada penuh tekanan. 

Namun itu dulu, saat Ayu belum memasuki usia kepala tiga. 

"Ya biasalah, terutama umur 25 itu 'kan umur yang lo pikir lo tahu semuanya padahal lo nggak tahu apa-apa. Dua lima itu lo sotoy banget, ya. 'Oh gue tahu dunia, gue tahu ini, itu. Hidup gue harus begini, harus begitu," imbuhnya seperti masih mengingat jelas seperti apa dirinya sembilan tahun yang lalu. 

Namun seiring berjalannya waktu, sama seperti kebanyakan orang, perubahan pasti terjadi. "Ternyata nggak berasa ya, pernikahan sembilan tahun itu," tanyanya kepada saya sambil tersenyum—nyaris terkesima. "Seiring pertambahan umur lo memiliki informasi baru, pendewasaan baru, pola pikir baru, dan lingkungan-lingkungan baru. Akhirnya gue ngeliat gitu, misalnya gue punya keponakan,Tapi ternyata setelah gue bertambah umur, makin terbiasa, gue makin welcome, dan berpikir 'Kok gue fine fine aja ya, sama anak kecil?' Sampai akhirnya gue punya keponakan, sepupu gue mulai melahirkan, kakak tiri gue punya anak, eh… gue nggak papa, ya? Gue yang tadinya nggak suka sama anak kecil, jadi suka aja. Dan turn out gue sayang sama mereka (ujarnya dengan nada takjub). Begitu juga dengan sahabat-sahabat gue yang mulai punya anak, gue juga care sama anak-anaknya, gue peduli. Dan akhirnya gue berpikir 'Oh, OK ini perubahan gue yang baru,'" tuturnya dengan nada senang—seperti menemukan sebuah pisang di antara tumpukan jerami. 

Dan di usia 34 tahun inilah, "barulah gue kayaknya... 'hmm... kayaknya it’s about time deh,' gue mulai memikirkan ‘OK, gue mau deh, punya anak. Ayo, kita usaha.' Gue bilang begitu sama suami," ujarnya. 

Setelah tanya kanan-kiri tentang "dokter mana yang bagus," akhirnya Ayu memutuskan berkonsultasi dengan dokter. 

"Jadi ternyata," katanya antusias, bertepuk tangan, "gue tuh memiliki penyumbatan. Jadi bentuknya tuh 'kan kayak V gitu, ya (ujarnya sambil berusaha memperagakan dengan tangannya). Jadi tersumbatnya sebelum belokan. Dan pengobatannya itu secara kedokteran itu ada namanya apa," katanya mengerutkan kening, menggerakkan lidah, menjentikkan jari berusaha mengingat nama prosedur pengobatan tersebut.

"Gue lupa apa namanya," lanjutnya setelah beberapa detik. "Jadi itu kayak disinari oleh suatu alat, dan itu harus continuity selama enam hari berturut-turut, disertai lo minum obat— dua macam, apa tiga macam. dan kalau gue nggak salah ada suntikannya juga, tapi gue nggak tahu suntikan itu harus tiap hari atau pada saat pertama doang," tuturnya panjang lebar. 

Apakah dokter memberitahukan penyebab terjadinya penyumbatan? 

"Dia bilang faktornya bisa macam-macam," jawab Ayu. "Misalnya," lanjutnya, "bisa dari makanan, kayak lo terlalu banyak makanan berminyak, itu terjadi penyumbatan. Bisa juga kayak terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan." Namun Ayu mengeliminasi faktor terakhir ini karena, "gue tipe yang kalau flu nggak minum obat, cuma minum air putih yang banyak sama tidur. Berarti bisa jadi dari pola makan dan gaya hidup gue. Jadi, gue memang harus memperbanyak (mengetuk meja) olahraga lagi dan gaya hidup yang benar," dengan suara jernih. 

Ah, saya jadi lebih mengerti mengapa rokok absen dari jari-jarinya.

"Tapi pelan-pelan sih, karena memutuskan mata rantai rokok dan kopi itu susah banget," akunya sambil tersenyum geli. "Awalnya gue coba nggak ngopi. Gue pernah lima hari gue nggak ngopi dan ngerokok tapi akhirnya ngemil. Ini membuat gue kesal sendiri dan berpikir ‘kenapa sih, gue menyiksa diri sendiri?' Akhirnya yah udah, gue coba berkonsultasi… eh… bukan berkonsultasi," ralatnya, "tapi bertanyalah kanan-kiri dengan orang yang sudah mempunyai anak maupun orang yang sudah mempunyai anak dengan cara yang sangat susah. Ternyata... jawabannya benar-benar variatif banget! Ada yang bilang ‘Oh gue sampai berhenti ini, inu.' Ada juga yang bilang, ‘Aduh, gue aja tahu gue hamil seminggu yang lalu abis gue naik table, joget-joget di Blowfish. Hamil akhirnya,'" papar Ayu panjang lebar. 

Jadi apa kesimpulannya setelah mendengar pengalaman teman-temannya? 

"Bahwa sebenarnya lo bisa usaha, tapi at the end of the day, semua itu kembali lagi ke takdir lo. Kalau misalnya lo percaya sama Tuhan, itu kembalilah kepada Tuhan. Lo berserah diri. Itu tergantung eh, hmm… schedule-nya Tuhan. Jadi semuanya itu tidak bergantung pada: 'Oh, dengan ini sudah pastilah hamil,' nggak gitu juga. Akhirnya gue menyantaikan diri gue, tapi tetap usaha. Dalam arti, misalnya OK, gue jaga makanan, kayak hari ini gue ngopi, besok gue nggak. Atau gue ngopi dua-tiga hari setelahnya. 

"Yang pasti," tambahnya dengan tegas, "gue nggak mau menyiksa diri gue seperti teman-teman gue yang sebelum-sebelumnya yang setiap ketemu pasti dia nanya, 'Eh, lo udah belum? Lo kayak gimana? Gue udah nyoba apalah yang macam-macam itu'—sampai dia stres banget. Gue nggak mau menderita karena itu, karena gue tetap yakin bahwa semua ada jalannya. Semua ada waktunya, kalaupun belum waktunya, yah sudah jangan dibawa stres, ngapain?" ujarnya dengan santai. "Tapi pemikiran ini setelah gue berumur 34 tahun ini, ya" Ayu mengingatkan kembali. 

Dan setahu saya (melihat postingannya di media sosial): Ayu rajin yoga. Iya 'kan?

"Iya, yoga, tapi 'kan tidak didukung dengan pekerjaan, tidur yang benar, sama makan yang benar," katanya dengan jujur. "Gue yoga. Gue happy, tapi abis itu gue merokok. Tiap hari gue ngopi, bahkan satu hari bisa dua kali ngopi. Kalau rokok gue masih bisa kayak sebungkus lima hari, empat hari—nggak sebungkus satu hari juga, ya (imbuhnya dengan tangkas). Kopi yang susah," akunya terang-terangan. 

Menurut penelitian satu dari 10 pasangan memiliki masalah dengan kesuburan. Dan dari sekian banyak penyebabnya, salah satunya misalnya penyumbatan tuba falopi, banyak pasangan memilih untuk melalui cara-cara yang melibatkan obat dan suntikan, atau operasi invasif minimum seperti laparoscopy atau hysteroscopy. Apakah berminat mencobanya?

"Nggak mau," jawabnya dengan tegas, menggelengkan kepala berkali-kali. "Jadi gue itu tipe orang yang percaya banget dengan satu, Allah, kedua kekuatan semesta. Jadi dibilang kekuatan semesta itu adalah ketika lo pengen banget, kek semesta mendukung, mengamini. Itu gue percaya. Trus, gue juga merasa ‘Aduh minum obat, disinari,' kayaknya gue percaya there’s another way yang lebih friendly. Which is ini kayak ironi sih, karena gue merokok," ujarnya lalu tertawa terbahak. "Itu 'kan kimia, ya? Tapi kayaknya cukup deh, gue memasukkan nikotin ke badan gue. Jangan yang lain-lain deh. Hahaha," katanya tertawa lagi. "Tapi gue kayak ‘Aduh kayaknya badan gue belum siap meng-endure itu deh, mendingan gue mencari alternatif."

Google pun menjadi teman Ayu. Dia mencoba kurma nabi, "kalau cuma kurma nabi mah gue biasa." Lalu, bawang hitam, "yang katanya bisa mencegah kanker dan macam-macam lagi. Untuk totally kesehatan tubuh, oh OK I can do that."

Bukan berarti Ayu sok pintar karena, "Even dokternya ngomong begitu. Dia bilang ada cara kedokteran kayak begini, begitu, lo disinari, inseminasi, bayi tabung, tapi belum tentu juga berhasil," ujarnya. Ayu mengingat jelas rekomendasi dokter saat diagnosa kondisinya keluar. "Dokternya pun bilang begini: 'Sebenarnya cara paling sederhana kita hindari dulu deh yang kimia-kimia, hidup sehat dulu aja. Kita lihat selama tiga bulan. Olahraga, yang penting olahraga. Kedua, lo tidur teratur. Lo kerja, lets say in your case 10 to 6, lo pulang, suami lo juga pulang. Lo quality time, bukan as in lo pulang terus langsung ML, buat anak. Bukan. Jadi benar-benar lo menikmati kebersamaan lo di malam hari. Jadi bukan kayak yang lo sama-sama pulang jam sembilan, lo mandi, lo tidur, nggak. Lo harus benar-benar punya waktu untuk leye-leye, nonton tv, makan bareng,'" ujar bebernya panjang lebar. "Jadi dia merujuk kepada healthy minds, sebenarnya. Dimana lo punya healthy minds, lo punya healthy life, Insya Allah di situlah kejadian," katanya penuh keyakinan. 

Mendengar cerita detail tersebut, dan antuasiasme dan kesantaian Ayu menjalani situasinya, saya penasaran bertanya satu hal: bagaimana perasaannya saat mendengar diagnosa tersebut? 

"Yah pastilah, nge-drop. Perempuan mana sih, yang nggak nge-drop setelah mendengar berita kayak begitu," ujarnya sedikit emosi. "Itu gue benar-benar sedih," tambahnya. 

Kenapa bersedih?

"Karena pada momen itu, gue pengen punya anak," ujar Ayu dengan suara jernih. "Setelah bertahun-tahun, itu momennya, tapi ternyata, ada kendala, nih. Trus kayak ada perasaan ‘Kenapa gue nggak mengecek dari dulu ya?' Jadi akhirnya, kayak seandainya-seandainya gitu kan?"

Terdiam sesaat, lalu Ayu melanjutkan, "tapi kemudian gue berpikir bahwa ini udah jalannya. Ada momen, ini adalah hari dimana gue harus ngecek dan harus tahu gitu. Dan berarti ini adalah momen gue harus berusaha. Tapi gue sedihnya malam itu aja. Gue berdoa, ‘Ya Allah, tolong singkirkan rasa nggak enak ini karena gue mau usaha sekarang.' Karena gue memang nggak mau sedih-sedih-sedih, nggak mau stres. Yah udah, besoknya gue bangun fine fine aja." 

Dan sama seperti pernikahan dan kehamilan pada umumnya, ini melibatkan suami dan istri. "Suami gue pengen punya anak," tambah Ayu. "Dari awal pacaran dan kita sempat dua tahun tinggal bareng sebelum menikah, dia sudah bilang 'Kalau kamu hamil, aku siap kok tanggung jawab. Nggak masalah.' Tapi karena dia tahu bahwa gue secara mental belum siap, dia nggak masalah. Dan hal ini nggak pernah jadi isu di antara kita berdua—berantem strictly karena perbedaan. Dan itu yang gue appreciate—appreciate dari seorang pasangan yang tidak mempermasalahkan itu. Berarti dia cinta gue bukan karena ‘Oh lo harus ngasih gue anak.' Bukan. Dia cinta gue karena dia cinta me as I am (sambil menunjuk dirinya), bukan mencari keturunan," tegasnya. 

Dan apa tanggapan suaminya dengan diagnosa tersebut? 

"Justru suami gue meng-encourage," jawabnya dengan nada istri bangga terhadap suami. "Yah udah, akhirnya gue bilang ‘Gue kayaknya nggak bisa deh melalui tahap kedokteran itu, yang semua surgical itu, belum siap. Mendingan cari solusi yang herbal dulu, yang benar, yang natural.’ Terus dia bilang, ‘Yah, nggak masalah, namanya juga usaha. Kamu belum siap, yah udah.’ Suami gue gokil sih, jadi nggak papa. Dia ngomong, 'Maunya pake cara apa dulu? Cara herbal dulu, natural dulu? Yah,udah dijalanin aja,'" katanya mengingat percakapan mereka  setelah mendengar diagnosa dokter. 

Secara tradisi (paling tidak dalam budaya Timur), sebuah trajektori hidup seseorang yang ideal adalah: sekolah, kuliah, kerja, dapat jodoh, menikah, punya anak, (antara beli mobil atau rumah), punya cucu, dan mati. Terlebih untuk perempuan, ada yang namanya jam biologis dan masa kadaluarsa yang memperkecil kemungkinan memiliki turunan, lalu setelahnya... menopause. "

"Hahaha, dibandingkan dengan jam biologis yang terbatas, gue lebih deg-degan dengan menopause. Hahaha," kekehnya. "Anjir! Gue ngeliat orang yang pra-menopause itu secara emosi itu naik-turun, benar-benar yang mood swing. Dan gue yang seorang Pisces, gue nggak kebayang kayak apa hidup gue pas pra-menopause!" tuturnya masih tertawa. 

Dan jika membicarakan pola ideal tadi, biasanya pasangan suami-istri akan dibombardir dengan pertanyaan ("dulu gue pikir ini hal umum yang ditanyakan, saat itu gue belum punya knowlegde bahwa ini hal yang sensitif"): 'Kok belum isi?' 

"Yah, awal-awal pernikahan pasti ditanya, tapi jawaban gue palingan 'belum, belum'. Namun setelah dua tahun mulai risi 'kan, tiga empat lima dan seterusnya itu mulai risih. Apalagi kalau misalnya ditanya 'Sudah punya putra?' 'Oh belum.' 'Oh baru nikah, ya?' 'Nggak, udah lama,'" ucapnya menirukan percakapan semacam itu dengan nada sebal. "You know," lanjutnya dengan nada sedikit agresif dan mengetuk-ngetuk meja, "at that point lo tahu bahwa ini akan menjadi percakapan yang panjang. Either lo dibilang,'Ya udah sabar aja’ atau ‘Oh, kenapa?’ Itu leads-nya ke situ tuh, antara dua itu," ujarnya sewot. 

Dan bagaimana biasanya Ayu menanggapinya. 

"Nah," jawabnya sambil menyengir jahil, "itu tergantung mood. Kalau mood gue lagi bagus, gue jawab misalnya dengan ‘Oh, memang belum dikasih, tapi…’ Kalau malas kadang-kadang gue juga jadinya bohong: ‘Oh baru nikah, ya?’ ‘Iya’ (dengan ekspresi polos). Udah 'kan, jadi percakapannya selesai 'kan? ‘Oh enak ya, baru masih berasa pacaran' ‘Heeh,’" katanya menirukan intonasinya—manis dan lugu— setiap melakukan interaksi basa-basi itu.

Untungnya keluarga besar Ayu dan teman-teman dekatnya mengerti dan suportif. 

"Entah kenapa keluarga dari suami gue itu super, super open-minded. Itu sih, yang mungkin orang akan melihatnya dan bilang ‘Ih, kayak keluarga bule ya, padahal Jowo banget.' Dan dari sisi gue juga, mereka tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan begitu membuat gue bisa stres, jadi yah... begitu, benar-benar tidak ada anggota keluarga yang menohok dengan 'Lo sudah umur segini, nggak punya anak," ujarnya santai. 

Teman-teman? Tetangga?

"Semakin lo bertambah usia, semakin lo memilih lingkungan. Dan sejauh ini karena gue dari dulu temannya selalu sama laki-laki, gue tidak berada di dalam lingkungan dengan perempuan-perempuan cerewis. Dan somehow gue menghindar, sih dari perkumpulan yang ‘terlalu perempuan'. Haha," ujarnya tertawa geli. 

"Tapi, pernah saking kesalnya, gue jawab begini: 'Iya nanti sperma laki gue, gue botolin dan gue minum di depan lo semua.' Setelah pernyataan itu, percakapan berakhir, udah nggak ada komentar apapun lagi. Hahaha," ujarnya terbahak. Seandainya saya ada di tempat kejadian tersebut, sepertinya akan langsung pamit pulang. 

Ayu terbilang beruntung. Banyak perempuan yang tidak atau belum bisa hamil dan memiliki support system yang sangat menuntut: 'Kalau tidak punya anak, bukan perempuan. Kalau tidak menjadi ibu, bukan perempuan.'

Menghela nafas, Ayu menjawab, "Seiring gue bertambah umur somehow gue lebih rileks, gue lebih tidak peduli dengan omongan orang lain. Hmm... I feel more content, itu kali ya bilangnya. Dan gue tidak pusing, nggak yang mempertanyakan banyak hal, benar-benar I live my life aja."

Dan hal ini juga yang disarankan oleh Ayu kepada perempuan yang mengalami situasi kurang lebih serupa. 

"Hal pertama yang perlu lo lakukan itu adalah lo berusaha untuk mencintai diri lo sendiri, sih. Lo menghargai tubuh, usaha lo, intinya menghargai diri sendiri. You dont take crap from people. Lo nggak usah dengar semua apa kata orang—karena itu akan banyak banget. Misalnya gue aja pas bilang, ‘Iya gue lagi usaha ini,' langsung banyak berkomentar 'Lo udah coba dokter ini belum?’ ‘Lo udah coba cara ini belum? ‘Lo udah pijit ini belum? 'Lo udah ini, itu belum,''" repetnya dengan nada sebal. 

"Itu gue nggak dengarin. Bodo amat," katanya dengan intonasi bernyanyi. "Ketika lo sudah mencintai diri lo sendiri, lo menghargai tubuh lo 'kan? Akhirnya, apapun yang terjadi lo jadi lebih ikhlas, dan ini membuatmu lebih bebas, liberating," tambahnya berapi-api. 

Kalau begitu apakah sudah ikhlas jika seandainya akhirnya tidak memiliki anak? 

Tanpa menghela nafas atau berpikir, Ayu menjawab: "Oh, siap. karena dari awal 'kan gue juga fine nggak punya anak. Jadi ketika gue tahu ‘Oh ada masalah, berarti kemungkinannya 50-50’, mau nggak mau gue 'kan harus terima dua kemungkinan itu. Jadi, gue juga nggak masalah, kalau sudah jalannya. Yang penting gue tunjukkin gue udah mau usaha, gue tetap berdoa dan berharap dan ketika itu tidak kejadian, berarti it’s not my fate." 

Dan sepertinya memang Ayu dan suami sudah siap dengan segala kemungkinan. "Gue pernah terpikiran untuk adopsi, tapi ke sini gue malah berpikir untuk lebih memperhatikan keponakan-keponakan gue. Jadi ada keponakan gue yang kurang mendapat eh… cinta kasih yang cukup dari orangtua dan lingkungannya dia. Gue akan fokus ke dia, deh. Jadi instead of gue ngambil anak orang, yang di depan mata gue ada, nih. Kenapa gue nggak fokus ke dia, dua orang bahkan," katanya sambil mengangkat dua jarinya. "Itu sih, yang gue pikirkan. Jadi sambil menunggu, yang ada di depan mata gue urus. Sambil berharap, berdoa, berusaha, tapi tetap santai. Nggak usah muluk-muluk, hidup lo lebih damai," tegasnya. 

Dan berhenti merokok?

Ayu terbahak. "Itu kayaknya susah, tapi yang pasti gue udah bisa mengurangi sosmed," katanya dengan bangga.

Media sosial?

"Iya, karena ini juga mempengaruhi, sih. Lo bisa berjam-jam lihat sosmed dan tiba-tiba udah jam 1 saja, kapan tidurnya? Susahlah mau hidup sehat. Kalau ada cerita apa, lo bisa kebawa keselnya, kebawa auranya, energi negatifnya. Udah deh, jangan dulu, jangan terpengaruh dulu. Mendingan gue lihat meme aja, ngepost-ngepost meme, yang lucu-lucu, yang bikin gue happy. Dan akhirnya gue lebih tenang sih, orang-orang yang lebih banyak membicarakan politik juga gue hide, sih. Pokoknya, gue berusaha membalikkan rutinitas gue dulu sebelum jaman sosmed. Yang dulunya gue bawa handphone pas mau boker, sekarang nggak lagi. Biar nggak mempengaruhi emosi gue," tandasnya.