Bagaimana Membicarakan Kematian dengan Anak

Bagaimana Membicarakan Kematian dengan Anak
ISTOCK

Etiskah menyebut kata 'mati' atau 'meninggal'?

Tidak ada cara yang mudah membicarakan ini: kematian—baik kepada orang dewasa maupun balita. Saat si kecil bertanya, ke mana nenek atau kakeknya pergi, sering kali orangtua terdiam, lalu bergumam tentang surga atau hidup yang lebih baik. Bagaimana mengatakannya kepada si anak tanpa membuatnya bertambah bingung, atau haruskah diberitahu?

“Berapa pun usia anak, dia perlu tahu kondisi keluarganya. Apalagi kalau ada anggota keluarga dekat yang meninggalkannya untuk selama-lamanya," jawab Anna Surti Ariani, S. Psi., M. Si., seorang psikolog anak dan keluarga. Tentunya, “berdasarkan pengalaman, cara memberitahunya juga bukan dengan berbicara secara polos-polos saja,” lanjutnya.

“Biasanya kita memulai dengan mendekat kepada anak. Kemudian, menyampaikan secara personal kepada anak. Misalnya, ‘Nak, nenek sudah meninggal’ atau ‘Ayah sekarang sudah tidak sakit lagi. Tuhan memilih menyembuhkan dia di surga’. Orang dewasa yang akan menyampaikan kabar duka ini kepada sang anak dapat mencoba untuk menenangkan diri terlebih dahulu,” sarannya. 

Sambil menenangkan diri, orang dewasa biasanya memikirkan bagaimana mengutarakannya kepada anak. Memilih eufimisme seperti 'nenek sudah di tempat yang lebih baik' atau 'adik sudah bersama kakek'. Manis, dengan harapan anak tidak stres atau terlalu sedih mendengarnya. 

“Boleh kok mengatakan langsung apa yang sedang terjadi (misalnya, nenek sudah meninggal)," tutur Anna. Menurutnya, terkadang kalimat-kalimat manis yang kita pilih itu, "sebetulnya adalah kata yang lebih nyaman untuk kita. Ketika baru saja mendapat kabar anggota keluarga meninggal, kita sendiri kadang masih sulit menerima, sehingga menggunakan kata ‘meninggal’ saat memberitahu anak bisa menjadi sebuah kesulitan sendiri untuk kita. Kalau kita sendiri sudah merasa siap, tidak apa-apa kok untuk menyampaikan kata ‘meninggal’ itu sendiri,” ungkapnya.

Menurut Anna ada banyak ungkapan lain yang dapat digunakan untuk menggantikan 'meninggal', seperti 'sudah di surga', 'dipilih Tuhan agar dekat dengan-Nya', 'disembuhkan Tuhan', dan 'jiwanya terbang menuju Tuhan'. 

“Tujuannya, supaya anak bisa membayangkan, tapi bukan berarti kita membohonginya. Boleh juga menggunakan kata-kata lain yang dirasa cukup nyaman untukmu dan untuknya, atau dirasa lebih tepat sesuai dengan budaya yang ada,” katanya.

Kata meninggal membuatnya bingung, begitu pula saat mendapati semua orang di sekelilingnya berekspresi muram dan menangis. 

“Saat si anak bertanya ‘mengapa semua orang menangis’, kita bisa mengatakan bahwa semuanya menangis karena sedih, setelah ini tidak bisa bertemu lagi dengan anggota keluarga yang meninggal tersebut. Jangan terlalu menghalangi anak untuk menangis," Anna mengingkatkan, karena, "bagaimanapun ia perlu mengekspresikan kedukaannya. Sebagai orang dewasa, boleh kok terlihat menangis. Anak juga perlu belajar bahwa tangisan adalah hal yang wajar ketika berduka. Justru, setelah menangis, rasa duka sedikit terhibur. Ketika anak melihat bahwa ada orang-orang dewasa lain yang juga menangis, ia juga bisa merasa sedikit terhibur, karena ternyata ada orang-orang lain yang juga menyayangi anggota keluarga yang disayangi tersebut,” papar Anna.

Lalu bagaimana setelah berita dan pemakaman terjadi? Anna juga menjelaskan pasca berita kematian, kita tetap harus menjalankan rutinitas seperti biasa (bangun, mandi, sarapan, sekolah, bekerja di jam yang relatif sama setiap hari). jika anak ingin bercerita, dengarkan, tapi jangan paksa anak untuk bercerita. Selain itu, keluarga juga bisa membantunya dengan:

  • Memberikan aktivitas seni, seperti menggambar atau mewarnai, aktivitas olahraga untuk melepas stres dari tubuh, juga melakukan aktivitas yang dulu biasa dilakukan anak bersama orang yang sudah meninggal.

  • Menyediakan tempat khusus untuk berduka. Misalnya, salah satu sofa atau bantal besar. "Setiap anak ingat keluarga yang sudah meninggal, ajaklah anak untuk duduk di sana dan katakan bahwa ia bisa mengambil waktu yang dibutuhkan untuk mengingatnya sambil duduk atau bahkan menangis. Setelah selesai si anak bisa kembali beraktivitas lagi. Orang lain di rumah juga bisa memberi contoh serupa setiap kali teringat tentang anggota keluarga yang sudah meninggal.

  • Memperbolehkan anak memilih kapan akan kembali bersekolah, tapi jangan terlalu lama berdiam diri di rumah. "Kepada teman di sekolah, mereka bisa diajari untuk mengucapkan turut berduka cita, tapi tak perlu diminta untuk tidak bertanya tentang keluarga yang meninggal, karena wajar teman bertanya dan anak juga mungkin merasa perlu bercerita."

Intinya, perhatikan ini saat berbicara kepada anak tentang duka dan kematian: 

  • Jangan menghambat tangisan. Biarkan anak menangis. "Kalau bagi keluarga tangisan anak sebaiknya tidak di depan banyak orang, maka carikan tempat di mana ia bisa menangis sepuasnya."

HALAMAN
12