Baper dan Semua Terlalu DipikirinBagaimana Mengatasinya?

Baper dan Semua Terlalu DipikirinBagaimana Mengatasinya?
ISTOCK

Sayangi otakmu.

“Hmm.. kira-kira boleh nggak, ya?” Lalu, “Jangan-jangan dia marah lagi...” Lima menit kemudian: “Kayaknya bener deh, dia tersinggung.”

Pernahkah kalimat-kalimat tersebut bercokol di dalam otakmu, silih berganti dalam waktu lima menit, atau bahkan saling berdesakan selama satu jam. Istilahnya: terlalu memikirkan segala sesuatu, overthinking, apa-apa "tapi, tapi, jangan-jangan." Ukuran kepala dan otak kecil, tapi entah kenapa bisa memuat semua pemikiran intens dan teori "jangan-jangan" yang ada di bumi ini. Membuat capek, tapi seringnya mereka bermunculan secara otomatis. Tidak diundang sama sekali. 

“Hal-hal yang membuat kita overthinking lazimnya adalah hal-hal yang dirasakan penting bagi individu yang overthinking itu,” jelas Cahyo Amiseso, M. Psi., seorang psikolog klinis dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI). 

Hah? Jangan-jangan...

Gini, misalnya, overthinking apakah atasan akan menyukai hasil pekerjaan kita atau tidak. Bisa juga, overthinking apakah mertua memaklumi keputusan kita menyekolahkan anak kita di satu pre-school tertentu,” sambungnya memberikan contoh.

Dengan kata lain adalah subjek yang menghantui pikiran dan hati kita selama berjam dan berhari-hari adalah sesuatu yang krusial, yang mempengaruhi hidup, bukan sesuatu yang bisa "ah, sudahlah" sambil mengibaskan tangan. Namun, jika membicarakan hal ini lebih dalam, apa sebenarnya yang memicu pikiran-pikiran liar dan begitu mendominasi itu, sampai-sampai membuat susah tidur dan tidak selera makan?

Overthinking dalam kacamata psikologi lazimnya didasari oleh kecemasan,” kata Cahyo. "Ada hal-hal yang mencemaskan bagi individu yang bersangkutan, sehingga ia terus-menerus memikirkan suatu hal yang sebetulnya tidak mengkhawatirkan. Misalnya, kecenderungan seseorang untuk ingin segala sesuatunya serba sempurna, dan merasa khawatir hasil tidak sedemikian sempurna yang ia inginkan. Ketakutan akan kegagalan terus menerus muncul sehingga individu kerap berpikir [overthinking] untuk bisa menenangkan diri dari rasa cemas tersebut.” Menurutnya lagi, pertanyaan-pertanyaan tesebut bisa menjadi sebuah “obat” dalam bentuk informasi yang menenangkan. Kamu memikirkannya terlalu sering dan menyita energi, tapi pada saat yang bersama itu juga membuatmu lebih tenang, karena yah... paling tidak, meski belum ada solusi nyatanya, kamu sedang "melakukan" sesuatu. 

Akan tetapi, tentunya sangat menguras jika harus memikirkan hal yang sama selama berhari-hari, membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk, tersiksa karenanya—padahal belum atau mungkin tidak akan terjadi. Menurut Cahyo, ada beberapa cara untuk menenangkan rasa cemas tersebut, di antaranya: 

  1. Cek fakta. Saat seseorang berada pada posisi overthinking yang perlu dilakukan adalah melakukan fact checking. "Memastikan fakta dan kondisi yang dikhawatirkan betul layak dan memang perlu dipikirkan secara terus menerus," jelasnya. 

  2. Buat daftar hal-hal yang menimbulkan kecemasan dan membuat kita berpikir terlalu berlebihan. Persis di samping daftar tersebut, tulis daftar lain tentang kebutuhan dan upaya yang sudah dilakukan. "Sehingga, terlihat jelas yang apa kebutuhan  minimal hal tersebut dan sudahkah upaya-upaya logis ditempuh.

Contohnya: overthinking atas apakah mertua kira-kira setuju atas pilihan pre-school untuk anak kita. Tuliskan harapanmu (misalnya, agar mertua suka dan setuju atas pilihan kita). Lalu, buatlah kondisi dan kebutuhannya, apa saja yang penting atas situasi tersebut. Daftarkan faktor-faktor seperti jarak, biaya, lingkungan sekolah, dan kemudahan akses. Kemudian, rincikan upaya apa saja yang mampu dilakukan (misal, sudah membandingkan sekolah tersebut dengan beberapa sekolah lain yang berada satu level, sudah berdiskusi dengan mertua apa harapan beliau terhadap cucunya).

"Jika harapannya cukup sejalan dengan keadaan dan upaya yang bisa dilakukan, maka overthinking jadi tidak masuk akal, karena sudah ada pertimbangan-pertimbangan logis dalam rangka analisis keadaan dengan upaya yang harus dilakukan. Namun, jika upaya sudah dilakukan dengan maksimal, keadaan saat ini juga relatif sudah ada perbaikan, tapi harapan belum terjawab, dan kemudian muncul overthinking dan ketakutan-ketakutan lainnya, maka bisa jadi overthinking terjadi karena ekspektasi terlalu tinggi dan tidak realistis. Sehingga pada saat disinggung atau dikomentari orang lain, kita lebih sensitif dan menjadi relatif terbawa perasaan, atau baper," jelasnya. 

Ah, super duper sensi(tif) dan baper(an). Kamu pasti kenal satu atau dua orang yang seperti ini—atau, bisa jadi ini adalah kamu. Capek 'kan, ya?

“Jika overthinking yang ‘berlebihan’ dibiarkan, kecenderungan untuk hanya mengatasi rasa cemas lewat kontemplasi pemikiran-pemikiran tanpa adanya check and re-check fakta dan upaya, orang tersebut akan terjebak pada keadaan ‘tidak aman’ dan selamanya akan overthinking, sensitif dan baperan,” paparnya.

Cahyo berpendapat, jika solusi belum bisa dicapai cobalah untuk alihkan kecemasan dengan aktivitas meditatif yang relatif membantu mengalihkan pikiran-pikiran negatif. Misalnya, berdoa, mendengarkan musik. Mengutip dari Paul Arden, sang penulis "Whatever You Think, Think the Opposite", “pada saat overthinking (terutama yang negatif), maka teruskan overthinking tapi yang positif,” ujar Cahyo.

Baperan tapi positif. Bisalah, ya?