Berbohong Demi Kebaikan, Adakah Gunanya?

Berbohong Demi Kebaikan, Adakah Gunanya?
ISTOCK

Tetap saja bohong, 'kan?

Kapan terakhir kali kamu berbohong? Atau mendengar atau mengatakan hal ini," ah, nggak papa boong-boong dikit, toh demi kebaikan." 

“Kayaknya tidak ada orang yang melewati satu hari tanpa berbohong. Percaya atau tidak, rasanya sulit untuk memisahkan kebohongan dari kehidupan sehari-hari kita,” kata Irene Raflesia, S. Psi, M. Psi., psikolog klinis dewasa dari Klinik Pelangi, Cibubur.

Irene Raflesia mengutip Leonard Saxe, Ph.D., seorang pakar poligraf dan profesor Psikologi dari Universitas Brandeis yang pernah menyatakan bahwa kebohongan sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. "Berbohong di sini tidak selalu berupa janji-janji palsu, plagiat, ataupun menyamarkan kebenaran. Ada pula berbohong demi kebaikan yang bagi sebagaian orang dianggap relatif tidak merugikan dan dipandang sebagai kebutuhan dalam ragam interaksi sosial kita.”

Karena dianggap tidak merugikan dan menjadi kebutuhan, berbohong demi kebaikan menjadi hal yang dianggap wajar. Duh!

“Bohong bisa dikategorikan menjadi dua berdasarkan tujuan. Yang pertama, berbohong demi kepentingan diri sendiri. Kemudian, berbohong demi kepentingan orang lain,” jelas Irene. Ia memaparkan bahwa prosocial lies atau kebohongan demi kebaikan orang lain ini sering dilakukan untuk memperlancar interaksi sosial. “Sebagai contohnya nih, pasti kamu sering 'kan menjaga ataupun melindungi perasaan orang lain tentang ucapan, berita yang tidak enak,” ujarnya.

“Menurut Matthew Lupoli, peneliti dari Universitas of California, San Diego, berpendapat bahwa kesempatan orang untuk melakukan prosocial lies meningkat ketika terdapat konflik moral, yaitu antara kejujuran dan mencegah situasi yang tidak menyenangkan. Hal ini juga dibuktikan oleh penelitinya; Lupoli menyimpulkan bahwa orang yang peduli dengan sesama lebih rentan melakukan prosocial lies, baik untuk mencegah orang lain merasa sakit hati maupun untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain,” ujarnya.

Segitu baiknya dan pedulinya kepada manusia? “Eh tapi, ini sama sekali tidak berarti peduli terhadap sesama adalah hal yang buruk, ya. Hanya saja penelitian ini menunjukkan bahwa kepedulian kita turut berperan lebih besar ketika kita mempertimbangkan untuk apakah sebaiknya kita melakukan kebohongan demi kebaikan orang lain atau tidak,” lanjutnya.

Jika kebohongan demi kebaikan ini dianggap wajar, karena untuk menjaga perasaan orang lain, apakah menjadi sesuatu yang baik atau... buruk? “Penilaian baik atau buruk tentunya menjadi hal relatif bagi setiap orang. Saya pribadi menganggap prosocial lies, white lies, atau kebohongan dalam wujud apapun tetap berdampak buruk pada diri kita dan lingkungan. Ketika mengucapkan kebohongan, tubuh kita mengeluarkan berbagai reaksi seperti gelisah, takut ketahuan, bingung dan malu, karena kita mengetahui keadaan yang sebenarnya. Terlebih karena takut ketahuan, kebohongan yang diucapkan tak jarang ditutupi dengan kebohongan lain yang bertubi-tubi. Kebohongan yang terus dilakukan tentu sedikit banyak akan berpengaruh pada interaksi kita, terlebih jika kebohongan tersebut sudah terbongkar,” tuturnya, panjang lebar.

Contoh paling gampang, saat teman atau pasanganmu mengajukan pertanyaan-terdengar-remen-tapi-super-duper-berbahaya-jika-jawabannya salah: "eh, aku gemukan, ya?" Apa jawabanmu? Jika: "penampilanmu tetap bagus, kok walaupun berat badannya bertambah." Implikasi jawaban ini: dia benar-benar gemukan. Jika: "nggak kok, siapa bilang?" Responnya bisa jadi: "kamu bohong, ya? Timbanganku nambah kok." Nah, lo. Padahal 'kan, kita hanya ingin tetap menjadi pasangan/teman yang baik. Intinya: tidak ada jawaban yang benar. 

“Kebohongan yang dilakukan memang tampaknya kecil dan tidak merugikan, tapi ini justru dapat berdampak besar,” ujarnya. Waduh, serius? “Ya, misalnya nih, kamu bilang ‘tidak apa-apa kok nambah berat badannya, tetap bagus dilihatnya’. Kita tidak akan tahu ke depannya akan seperti apa, bisa saja teman atau pasanganmu malah terkena penyakit yang parah. Tidak semua orang memiliki kekuatan untuk melihat, mendengar dan menerima kebenaran.”

Kesimpulannya: terima saja dalam hidup ini, kita tidak selalu dapat menghindar dari kemungkinan melakukan prosocial lies. “Yang pasti, kita harus lebih kritis kepada diri kita sendiri, apakah berbohong itu memang karena benar-benar peduli terhadap orang lain atau justru karena khawatir diri kita tidak dapat mengatakan kejujuran kepada orang tersebut. Oleh karena itu, renungkan seberapa perlu kita berbohong, serta pertimbangkan pula konsekuensinya secara matang,” tutupnya.

Jadi, menurutmu artikel ini bagus atau nggak?