Cinta Diri Sendiri: Apakah Berarti Setiap Hari Harus Mencintai Hidung yang Pesek?

Cinta Diri Sendiri: Apakah Berarti Setiap Hari Harus Mencintai Hidung yang Pesek?
ISTOCK

#selflove.

Kamu melihatnya dimana-mana di Instagram-land. Sedang yoga, #selflove. Foto dengan bikini, #selflove. Sarapan, #selflove. Foto pisang, #selflove. Pedicure#selflove. Foto kaki, #selflove. Selfie#selfie #selflove. Sekilas, kita kemungkinan sudah bisa menangkap maksud dari gerakan #selflove. Dari jutaan #selflove di Instagram (saat Woop menulis artikel ini berjumlah hampir mencapai 11 juta) pesannya adalah: cintai diri sendiri, bangga dengan hidungnya yang pesek, terima paha yang besar, dan perlihatkan selulit yang bertebaran tanpa malu. Setiap hari. Apapun itu. 

Namun apakah pengertian mencintai diri sendiri sesederhana itu?

"Mencintai diri sendiri artinya menerima paketan yang ada di diri kita, baik kelebihan maupun kekurangannya. Tidak membandingkan dengan orang lain atau berusaha menjadi orang lain," kata Sri Juwita Kusumawardhani., M.Psi., Psikolog, dari Fakultas Psikologi Universitas Pancasila. "Bukan berarti tidak mau berusaha menjadi lebih baik," lanjutnya, "hanya acuannya adalah menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Menjadi lebih baik dari masa lalu tetap perlu dilakukan, dengan mengevaluasi apa yang masih perlu dikembangkan dari diri sendiri."

Dari pengertian tersebut sepertinya mencintai diri sendiri, tidak bisa dipisahkan dari menerima diri sendiri (self-acceptance) dan harga diri (self-esteem). Apakah ketiganya harus seiring sejalan? 

"Untuk dapat mencintai diri sendiri, yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menerima diri sendiri. Jika sudah menerima diri sendiri, hingga akhirnya bisa mencintai diri sendiri, maka akan memiliki self-esteem yang lebih baik nantinya. Jika tidak melakukan self acceptance, tentunya akan sulit untuk dapat self-love dan memiliki self esteem, menganggap diri sendiri berharga," jawabnya. 

Mencintai diri sendiri—mudah dikatakan, tapi eksekusinya membuat kita jumpalitan. Tidak jarang: hari ini kita ok dengan bentuk hidung yang seperti papan penggilasan, tapi keesokan harinya menolak keras berdiri di depan cermin. Atau hari ini percaya diri dengan kulit yang berwarna coklat, tapi minggu depan berharap dengan memborong produk pemutih, warnanya akan berubah seperti model-model iklan. 

"Naik turun itu normal, karena hidup 'kan pasti ada dinamikanya. Oleh karena itu penting untuk mencatat hal-hal positif dari diri kita agar ketika sedang down, kita bisa baca lagi. Penting juga untuk memiliki support system yang positif agar fase down kita tidak dalam kurun waktu yang lama," imbuhnya. 

Saat kita merasa sedang 'rendah diri' dan mengeluh soal bentuk kuping yang terlalu besar misalnya, tak jarang teman terdekat akan berkata, "you are beautiful just the way you are," atau "kamu harus mencintai diri sendiri dulu sebelum orang lain mencintai kamu." Niat mereka mungkin baik—berpikir dan berusaha memberi semangat. Bukannya itu memang gunanya teman? Namun jika dipikir lebih dalam, ada dua pesan tersembunyi di balik dua slogan copy-paste itu (terlalu sering diucapkan sehingga terkadang arti sebenarnya menyusut, alias basi). Yang pertama, stop mengeluh, dan kita tidak perlu membicarakan tentang rasa rendah dirimu. Kedua, sepertinya tujuan akhir untuk mencintai diri sendiri adalah agar orang lain mencintai kita.

"Tujuan akhir dari mencintai diri sendiri bukanlah agar orang lain mencintai kita," tegas Wita. "Hal tersebut adalah bonus yang menyenangkan bukan destinasi akhir. When we love ourselves, we will feel good about ourselves, and then we can see life in happier perspective," tuturnya. 

"Memang mencintai diri sendiri itu bukanlah hal yang mudah," aku Wita. "Kita mungkin adalah kritikus terbaik untuk diri sendiri. Ada saja hal buruk, negatif yang dapat kita temukan di dalam diri. Belum lagi, di Indonesia, budaya mengetahui potensi atau kelebihan diri tidak terbangun dengan baik, karena ada kekhawatiran akan mengembangkan kepribadian sombong. Oleh karena itu, kita menjadi lebih terbiasa mencari kekurangan diri dibandingkan kelebihan diri sendiri." 

Lebih lanjut, Wita menjelaskan bahwa perilaku membanding-bandingkan ini bukanlah sebuah dosa. Manusia diciptakan dengan bentuk yang berbeda-beda, hingga terjadilah proses saling membandingkan satu sama lain.

"Ketika kita berbeda dengan orang kebanyakan atau standar di lingkungan, kita menjadi tidak puas dengan diri sendiri. Cobalah untuk bersikap lebih objektif pada diri sendiri, dengan mengenyampingkan standar lingkungan. Cari bagian diri yang kita sukai atau minimal terlihat oke untuk kita. Fokus untuk mengembangkan kelebihan tersebut. Misalnya: 'Wah saya susah kurus, tapi kulit saya mulus.' 'Wajah saya berjerawat, tapi tubuh saya tinggi.' Sebenarnya akan selalu ada kelebihan diri jika kita mau melihat lebih objektif, serta tentunya bersyukur dengan apa yang ada di diri kita." 

Lalu, jadikan kekurangan kita atau sesuatu yang tidak kita sukai menjadi sarana untuk belajar mengembangkan diri menjadi lebih baik. "Misalnya, 'karena hidung saya yang pesek, saya jadi belajar make-up, hingga sekarang dapat memperoleh rejeki dengan menjadi make-up artist.' Atau, 'Meskipun jari saya bantet, tapi saya dapat merangkai bunga atau menulis novel.'" 

Salah satu cara sederhana lain adalah: menuliskan kelebihan dan hal-hal yang kamu sukai dari diri sendiri, lalu tempel di cermin. "Setiap kali bercermin, bacalah hal-hal positif tersebut. Agar lebih dapat bersyukur dan memiliki emosi yang positif terhadap diri sendiri," sarannya. Jadi, jangan menghindari cermin, tapi berdirilah di depannya setiap pagi untuk membantumu lebih positif.

Dan jika kamu penggemar media sosial, "Jadikanlah kampanye self-love tersebut sebagai reminder bahwa penting untuk mencintai diri sendiri," katanya.