Dena Rachman: 'Normal Is Outdated'

Work
WOOP.ID

Perempuan ini menceritakan tentang optimismenya, juga kesedihannya terhadap perkembangan transgender di Indonesia.

"Aku tuh, udah basi sekarang," tutur Dena Rachman, tersenyum, lesung pipit terbentuk dan dan binar mata jahil saat bertemu di sebuah kafe di daerah Jakarta Selatan. Saat saya bertanya maksud pernyataan itu, Dena berdecak dan merapikan rambut sebahunya, "tahulah dengan kabar-kabar sekarang yang lagi sensasional. Dibandingkan mereka, hidupku itu nggak seru." Tidak pusing dengan detail dan drama, dengan nada serius perempuan berusia 30 tahun ini hanya menyayangkan satu hal:

"Adanya cerita-cerita begini membuat [kehidupan transgender] ke-blow up lagi, tapi jadi mundur. Jadi, transgender itu punya asosiasi baru lagi gitu lho, kayak halu. Yah, mungkin benar—kadang aku juga suka halu karena memang kadang-kadang butuh sih untuk motivasi hidup," katanya sambil tersenyum jahil, "cuma yah, nggak berlebihan juga. Maksudnya jadi lucu gitu, 'kan? Selama ini gini, lho. Kita tuh sebagai transgender, mulainya tuh udah dari bawah banget, kita tuh udah terlihat salah banget, jadi we need to be able to be perfect. Se-perfect mungkin." 

Maksudnya, apakah transgender memiliki standar yang lebih tinggi—misalnya dibandingkan dengan perempuan cisgender? (Cisgender adalah istilah bagi orang-orang yang identitas gendernya selaras dengan jenis kelamin saat mereka dilahirkan.) 

"Yah, harus," jawabnya tegas. "Karena kita bagus aja itu dicela, apalagi kita jelek. Kita berprestasi aja, kita tanpa cela aja, kita tetap dicela, apalagi gimana kalau kita punya cela. Ibaratnya kayak gitu. Jadi, mau nggak mau, harus sempurna," ulangnya lalu menyeruput ginger ale dari gelasnya. 

"Ini bukan tentang fisik, ya," imbuhnya dengan cepat. "Fisik itu personal. Aku nggak suka dengan standard beauty yah, karena bagi aku orang itu beda-beda." Dena menjelaskan bahwa standar yang dimaksudkannya di sini adalah personalitas, pencapaian, prestasi dan kontribusi kepada komunitas. "Jadi, bukan bagaimana tampil secantik, sekurus dan seputih mungkin—nggak. Tapi bagaimana kita appear secerdas mungkin, seberguna mungkin, maksudnya percuma kalau bagus banget [secara fisik] tapi nilai lo NOL," ujarnya sambil membentuk lingkaran dengan telunjuk dan jempolnya. "Buat aku entah itu cisgender dan transgender, lo ngapain selama ini? Kalau cewek normal, dia cantik banget tapi sifatnya dan pencapaiannya juga nol, bagi aku juga percuma," katanya sambil mengibaskan rambutnya. 

Sebut namanya, sebagian orang kemungkinan akan langsung membayangkan seorang penyanyi cilik di era 90an–pada saat "penyanyi cilik" masih menjadi sebuah profesi yang sangat menjanjikan dan mendominasi acara-acara televisi. Saat itu Dena masih dikenal dengan nama Renaldy, seorang penyanyi cilik laki-laki dengan beberapa lagu yang membuatnya terkenal antara lain Ole-Ole dan Rukun dan Damai. (Taruhan, generasi yang besar di periode itu pasti masih ingat liriknya dan musiknya.) Memulai karir sebagai penyanyi sejak kelas 3 SD ("sekitar umur 9 - 10 tahun, sama sekali tidak direncanakan, mengalir begitu saja"), semakin tahun kuantitas menyanyi semakin berkurang terutama menjelang SMA ("yah, sudah nggak cilik juga dan yah, namanya juga ABG pasti lebih senang bergaul dengan teman-teman"), lalu akhirnya dunia itu mulai ditinggalkan untuk fokus belajar, tapi tiba-tiba namanya terangkat lagi ketika sudah bertransformasi menjadi Dena Rachman.

Dari sebutan "penyanyi cilik", jika melongok komentar-komentar di media sosialnya, akan terbaca bahwa label yang diberikan kepadanya semakin beragam dan beraneka "rasa". Sebut apa saja yang kemungkinan di tahun 90-an akan kamu temukan di dinding toilet dan gang gelap, kemungkinan besar sudah dituliskan seseorang di Instagramnya. 

"Aku sih, nggak peduli dikasih label apa. Terserah orang mau bilang apa," tukasnya sambil mengibaskan tangan.

Dena terdiam sebentar. "Bencong itu kasar ya, kalau banci lebih beda konotasinya. Transgender sudah paling benar," ujarnya santai. "Sama aja 'kan ada istilah cewek, wanita perempuan—of course yang paling indah itu, perempuan. Tapi aku sih, nggak masalah ya, kalau orang mau memberikan label apa, aku sudah nggak peduli," katanya dengan cuek. "Beneran," tambahnya dengan nada serius. "Aku juga nggak terlalu musingin yang nggak penting gitu, lho. Orang-orang yang nggak matter, yang iseng anyway. Karena orang-orang terdekat mereka won’t mind, karena mereka udah tahu." 

Orang-orang penting yang dimaksudkannya adalah orangtua ("yang memberikan darah seni di badanku dan membuatku suka dunia hiburan"), keluarga, teman-teman dekat, termasuk gengnya saat masih sekolah yang membuatnya menerakan tato pertama di sekitar tulang belikat, dengan tulisan P.S. I love youPutri Selaras, I love you. Tertawa terbahak, Dena menyentuh tatonya (satu dari tiga yang dimilikinya saat ini), "Ini kita janjian di tahun 2009, pas masih kuliah. Dan Putri Selaras itu sahabat kita—pas ulang tahun kita segeng janjian bikin tato ini. Masih muda banget waktu itu, sekarang sudah tua!" ujarnya, tertawa lepas. 

Raut wajahnya kemudian menjadi serius lagi saat saya menuturkan bahwa ada banyak yang berkomentar bahwa transformasi dan pilihan hidupnya sekarang ini—bagaimana mengatakannya ya—'apa tidak takut saat mati nanti akan diadili'? 

Menghela nafas panjang, "kalau aku sih," ujarnya dan berhenti sejenak. Lalu, "bahwa aku berusaha untuk tidak menyinggung agama. Agama itu masing-masing, bagi aku agama itu interpretasi dan kontekstual. Tapi aku orang very spiritual, aku percaya energi dan aku percaya bahwa semua itu ada alasannya," tukasnya. 

Berbagai penelitian di berbagai negara, termasuk negara yang sudah membicarakan artificial intelegence, otomatisasi robot, mobil terbang, kota terapung, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Inggris, dsb, menyimpulkan bahwa banyak orang dewasa dan remaja trans yang mencoba menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri. Saat saya menyebutkan bahwa komentar-komentar seperti, 'ih, badan dia lebih bagus, dia lebih cantik dari gue yang cewek sejati' seperti mengecilkan pergumulan kaum transgender dari sejak kecil bahkan sampai dewasa, Dena berkomentar: 

"Yang mereka nilai dan lihat 'kan yang ditampilkan, my public appearance. Tapi 'kan dari kecil, mereka nggak tahu bahwa ada fase-fase lain juga, ibaratnya nggak gampang 'kan? Itu nggak segampang membalikkan tangan, semacam 'waduh lapar, makan ah', nggak begitu."

Dena berhenti sebentar, mengambil gelas, menyeruput isinya, meletakkan kembali gelas ke meja dan menarik nafas. "Ada banyak konflik, di dalam diri sendiri dan dengan sosial. Secara aturan sosial kita tahu seperti apa, tapi ternyata kita begini, " Dena menunjuk dirinya. "Jangan menganggap bahwa bagi kami itu hal yang fine. Karena siapa sih yang nyangka, mana ada sih orang yang kepikiran, ibaratnya ‘ah, gue pengen ah, ganti', 'kan nggak ada," argumennya sambil mengangkat kedua tangan. "Maksudnya, kalau memang nggak ada dasar yang kuat dan jelas, ngapaaain, gitu lho. Udah gila kali, ya?" ujarnya sambil meletakkan jari telunjuk di dahi. 

Untuk dirinya sendiri, Dena memutuskan untuk jujur kepada keluarga dan temannya setelah merasa, "mentok," jelasnya. "It's calling juga sih ya, it's about time juga. Sudah sampai pada titik dimana 'harus nih, kayaknya.'" Dan seperti layaknya manusia biasa, selalu ada fase ragu bahkan ketika sudah memilih identitas sebagai Dena Rachman. 

"Kalau aku sih, dari pengalaman pribadi, ada masa-masa mempertanyakan segala sesuatu. Maksudnya begini: kenapa sih, aku harus merasa ini, berpikir seperti ini. I dont think it’s fair," ujarnya. "Orang-orang bilang salah. Tapi setelah aku lihat-lihat, aku juga nggak sendirian juga anyway. Kalaupun aku sendirian, berarti it’s in me. Tapi ternyata kok banyak ya, we are talking in the world, ada banyak 'kan. Berarti ini 'kan tidak terjadi pada satu dua orang. It happens in the world," tegasnya sambil membentangkan kedua tangan. "Kadang aku berpikir 'eh kayaknya nggak deh,' lalu setelah 'eh, tapi ya, deh'. Jadinya kayak gitu terus. Dan itu terjadi, dari puber sampai come out." 

Memegang rambut sebentar, dan "Bahkan ketika sudah come out aja suka ngerasa mentok, gitu lho. Pertanyaan-pertanyaan seperti, 'kenapa ya, aku musti dilahirin begini. Aku nggak minta lho, begini'. Pada saat yang bersamaan karena kita selalu dihadapi dengan stigma-stigma sosial atau harapan-harapan society yang ujung-ujungnya kita tahu tidak bisa fulfill itu, lalu muncullah rasa frustrasi, makanya aku nggak heran kalau ada pengen bunuh diri. Ada yang berpikir 'lebih baik mati' toh orang lain senang'. Ibaratnya, 'senang 'kan lo, kayak berkurang satu.' Itu ekstrimnya ya," katanya blak-blakan. 

"Aku masih beruntung sih," ujarnya sambil menerangkan tentang dukungan dari keluarga dan teman-teman terdekat. "Aku nggak pernah tuh merasakan literally di-bully, secara in person. Aku tuh, di-bully-nya cuma di internet doang," katanya dengan nada agak sedikit tinggi, "sama orang-orang yang aku nggak kenal, yang nggak tahu aku siapa," paparnya sambil mengangkat bahu seakan menganggap itu kenormalan hidup. 

"Yah, maksudnya gimana ya," ujarnya sambil memiringkan kepala, "sekarang aku sudah lebih accept banget. Aku sudah menerima diri aku seperti ini. Karena menurut aku, ini sudah terbaik yang aku jalani rather than dulu, dulu yang harus ibaratnya not being who I am atau pretending to be someone else. I just can not do that. Bagi aku ini udah yang terbaik. Menurut aku, siapapun bahkan yang cisgender yang normal-normal aja, mereka masalahnya ada aja. Yah, mungkin bagi aku ini adalah salah satu yang harus aku hadapi. Ini juga ‘kan pilihan ya, either you hidup nggak bebas, tapi juga stres gara-gara itu. Atau lo hidup free to express who you are tapi yah, terima aja konsekuensinya. Kalau di sini, misalkan, masih susah untuk punya relationship yang public open misalnya. Atau isu-isu legalitas, yah terima aja," ujarnya dengan nada santai. 

Apakah kamu merasa normal itu overrated

"Normal bagi aku tuh, outdated!" jawabnya lalu tertawa kecil. "There is no such things as normal, kayaknya udah nggak ada yang normal lagi, deh," ujarnya tanpa ragu. "Normal is relative, maksudnya normal apa dulu, nih? Kayak what’s normal? Sebagai gender, sexuality?" cetusnya sambil membungkukkan badan. "Nggak tahu, deh ah, nanti takut salah. Hahaha," ujarnya lagi-lagi tertawa geli. 

Beberapa bulan yang lalu, sebuah film berjudul Flight 555 tayang di bioskop. Jika kamu memperhatikan poster filmnya, dari sekian banyak nama aktor/ aktris yang ambil bagian berakting, salah satunya adalah namanya. Apakah berminat untuk menjadi pemain film?

Sambil menggelengkan kepala dan mengibaskan tangan, "nggak, itu cuma side project aja. Itu juga karena filmnya komedi, lucu-lucuan, terus nggak terlalu banyak, gitu. Makanya aku mau." 

Sebenarnya, Dena mengaku bahwa dari dulu, dari kecil sampai sekarang, cita-citanya tetap sama. "Aku selalu bilang mau jadi pengusaha," kenangnya dengan suara jernih. "Kalau sekarang mungkin translated to, I wanna be an entrepreneur; memang pengen punya bisnis dan usaha sendiri." Waktu berlalu, bulan berganti tahun, tahun berganti dekade, sekarang dirinya memiliki bisnis sepatu, dengan merek the Drama Shoes. 

"Aku tuh seorang pecinta sepatu," tukasnya dengan lugas. Tepatnya di tahun 2013, Dena (yang mendesain sepatu) dan seorang temannya (yang bertugas mengurusi masalah duit dan marketing) memanfaatkan kelangkaan merek sepatu yang bagus, tapi terjangkau. "Cuma ada dua pilihannya saat itu: 'anjrit, mahal banget, gue nggak bisa' atau 'murah tapi tidak indah dipakai'. Aku tuh, mau di tengah-tengahnya," ujar Dena sambil menunjukkan brown velvet pump shoes yang dipakainya dan mengatakan bahwa itu adalah salah satu buah karya Drama Shoes. Selain itu, baru-baru ini dirinya mendirikan sebuah agency model, bernama Future Models. Dan rasanya tidak perlu dikatakan, tapi Dena benar-benar menikmati hidupnya saat ini. Masih memiliki banyak impian dan keinginan tapi... 

"Cuma udah nggak muluk kayak dulu. Kayak jaman dulu, umur 25, masih semangat! Sekarang sih, umur 30," katanya menarik nafas dan tersenyum geli, "udah deh, senangin diri sendiri dulu aja, udah deh, happy diri sendiri. Hahaha." 

Apa yang menjadi ambisinya? 

"Bikin charity project. Sesuatu yang bersifat sosial—keinginan akan selalu ada dan menjadi bagian dari seorang Dena Rachman," tegasnya. Menyilangkan kakinya yang dibalut dengan khaki cropped pants dan meletakkan tangan di atas lutut, dengan mata fokus Dena menuturkan bahwa dirinya ingin mendirikan sebuah wadah yang membina mereka yang memiliki pergumulan dan perjalanan hidup sebagai seorang transgender, karena "banyak yang ibaratnya tidak se-privilage aku hidupnya—jadi ini adalah salah satu cara aku untuk yah, giving back, sih. Aku merasa punya responsibility, at least mereka di path yang benar.

"Aku nggak mau ngomongin benar salah sih ya, itu relatif," ujarnya cepat. "Misalnya paling nggak mereka tidak menjadi tuna susila, atau mereka memiliki keterampilan lain yang bisa membuat mereka mendapatkan decent living juga at least. Nggak tiba-tiba dibuang, dan you know tinggal di jalan raya. Pokoknya itu akan diwujudkan, tapi bukan yang [seperti menirukan pidato diplomatis Miss Universe] 'pokoknya kita harus memiliki kesetaraan yang sama seperti wanita lainnya'. Bukan yang seperti itu lagi," paparnya. 

"Misalnya, mimpi di sini bisa nikah, itu yah," ujarnya menarik nafas dan memutar bola mata, "atau ijab kabul di sini, itu udah nggak mungkin. Nggak bisa deh, ngapain juga memperjuangkan itu? Capek kayak orang gila, nggak bakalan sih," tukasnya yakin. "Tapi at least aku cuma pengen, semuanya orang bisa decent living. Soalnya aku termasuk orang yang anti-poverty, dalam arti aku nggak suka tuh, ngeliat kemiskinan—beda yah, sama nggak suka melihat orang miskin," tambahnya cepat. "Beda 'kan? Nggak suka melihat orang miskin itu jahat," tegasnya. "Tapi aku nggak suka melihat mereka hidup dalam kondisi yang miskin. Aku sih, suka sedih melihat orang-orang yang tinggal dibantaran sungai, tahu kan? Aku tuh, pengen mereka hidup layak, yah kalau tinggal di bantaran sungai 'kan juga itu nggak layak. Ini terlepas dari gender, ya," Dena menambahkan. 

Ada kesan Dena pesimis dengan kehidupan transgender di Indonesia. Benarkah?

"Aku tuh, nggak tahu ya? Aku tuh, lately," potongnya sambil meletakkan gelas, dan tersenyum kecil, "aku udah capek, kayak makin ke sini makin jadi orang apatis. Emang salah, sih [akunya dengan nada prihatin], "karena soalnya gini lho, when I care, I care too much," ujarnya dengan emosional. Dena bercerita bahwa beberapa tahun lalu, dirinya terlibat aktif dalam banyak seminar, dialog tentang kesetaraan gender di lingkup kerja dan anti perundungan terhadap kaum minoritas. Namun, ada benturan dan tentangan dari beberapa pihak sehingga akhirnya kegiatan tersebut terhenti. Saat menceritakan hal ini, Dena berujar baru ada satu kesalah-kaprahan yang terjadi di masyarakat, yakni anggapan bahwa kampanye, seminar, dialog seperti itu tujuannya adalah mempromosikan 'ayolah jadi LGBT'. 

"Jika ada orang yang mengampanyekan hal itu menurut aku aneh, sih," ungkapnya serius. "Cause it’s not something you promote. Itu tuh, self-identity, kayak kalau lo lesbian, lesbian aja—bukan sesuatu yang seperti ‘ayo dong, kalau lo LGBT lo keren'. Itu salah, menurut aku," ujarnya semangat. "Yang dulu kita lakukan adalah don’t be afraid to be who you are. Yah, kalau lo heteroseksual, yah heteroseksual aja, tapi lo jangan bully. Kalau lo homoseksual, yah homoseksual aja, tapi lo jangan takut untuk di-bully." 

Dena yang optimis sekarang menjadi lebih pesimis. "Well, secara pribadi aku juga nggak berharap banyak, sih. Untuk institusi, legalitas, aku udah nggak berharap banyak. Namun ini pandanganku pribadi, ya," tekannya. "Memang sih, [kaum transgender di Indonesia] masih bisa hidup, cari kerja—nggak masalah," ujarnya menghela nafas. "Orang-orang sini itu hipokrit aja," tambahnya, "selama kita nggak nyengol mereka, nggak ganggu, [tapi] misalnya [kalau] ada transgender bikin perusahaan, sukses banget dan buka lapangan kerja buat orang, pasti nurut karyawannya. Tapi kalau misalnya masalah politik, mengancam posisi politiknya, baru, deh. Tapii selebihnya tidak peduli kok. Kecuali tiba-tiba macarin anaknya, ya? Tau deh," tuturnya sambil mengangkat bahu dan tersenyum penuh arti. 

Meski begitu, Dena mengakui senang karena sejauh ini karyanya dihargai oleh banyak orang, "tanpa melihat embel-embel lainnya. Yang dilihat pekerjaan aku, bukan karena aku transgender." Dulu, waktu "jaman gila-gilanya" masih ada komentar-komentar miring. "Semakin ke sini juga orang udah tahu, bahwa ini basic-nya adalah bisnis sepatu. Beda sama Instagram pribadi. Kalau itu mau komen apa juga, tentang pribadi, terserah karena itu ranahnya. Kalau yang satu ini 'kan, ranahnya bisnis, tapi orang sudah pintarlah," katanya. 

Secara birokrasi, hukum, legalitas, kedudukan setara di masyarat mungkin negara ini masih jauh dari impian kaum transgender, tapi menurut Dena siapapun yang mengalami perjalanan hidup seperti dirinya, "harus tetap come out, sih," dengan suara serak. "Aku yakin sih, apapun kondisinya... hmm... it’s better be who you are, sih. Aku nggak bisa membayangkan," katanya menundukkan dan menggelengkan kepala, "harus hidup pretending. Yah, kayak gini deh, ibaratnya suami istri kalau memang ada masalah, atau sudah nggak cinta, bagi aku memang harus diomongin, harus jujur, sih. Honesty is importan for live, kalau nggak stres, sih," tegasnya. 

Dan untuk yang lain: "Respek ajalah, dengan pilihan orang lain," sarannya tanpa menggurui. Saat saya bertanya kenapa sepertinya orang lain sulit melakukannya, terutama terhadap kaum transgender, "Mungkin stres aja dengan hidupnya, jadi iseng," ujarnya dengan nada, sorot dan senyuman jahil. "Mungkin hidup mereka nggak menarik. Mungkin aja ya," katanya. Namun, dengan ekspresi dan intonasi jahil, Dena berujar, "tapi udah ada yang lebih menarik sekarang, 'kan? Hidupku udah nggak terlalu menarik!" tandasnya terbahak.