Dena Rachman: 'Normal Is Outdated'

Dena Rachman: Normal Is Outdated
WOOP.ID

Perempuan ini menceritakan tentang optimismenya, juga kesedihannya terhadap perkembangan transgender di Indonesia.

Untuk dirinya sendiri, Dena memutuskan untuk jujur kepada keluarga dan temannya setelah merasa, "mentok," jelasnya. "It's calling juga sih ya, it's about time juga. Sudah sampai pada titik dimana 'harus nih, kayaknya.'" Dan seperti layaknya manusia biasa, selalu ada fase ragu bahkan ketika sudah memilih identitas sebagai Dena Rachman. 

"Kalau aku sih, dari pengalaman pribadi, ada masa-masa mempertanyakan segala sesuatu. Maksudnya begini: kenapa sih, aku harus merasa ini, berpikir seperti ini. I dont think it’s fair," ujarnya. "Orang-orang bilang salah. Tapi setelah aku lihat-lihat, aku juga nggak sendirian juga anyway. Kalaupun aku sendirian, berarti it’s in me. Tapi ternyata kok banyak ya, we are talking in the world, ada banyak 'kan. Berarti ini 'kan tidak terjadi pada satu dua orang. It happens in the world," tegasnya sambil membentangkan kedua tangan. "Kadang aku berpikir 'eh kayaknya nggak deh,' lalu setelah 'eh, tapi ya, deh'. Jadinya kayak gitu terus. Dan itu terjadi, dari puber sampai come out." 

Memegang rambut sebentar, dan "Bahkan ketika sudah come out aja suka ngerasa mentok, gitu lho. Pertanyaan-pertanyaan seperti, 'kenapa ya, aku musti dilahirin begini. Aku nggak minta lho, begini'. Pada saat yang bersamaan karena kita selalu dihadapi dengan stigma-stigma sosial atau harapan-harapan society yang ujung-ujungnya kita tahu tidak bisa fulfill itu, lalu muncullah rasa frustrasi, makanya aku nggak heran kalau ada pengen bunuh diri. Ada yang berpikir 'lebih baik mati' toh orang lain senang'. Ibaratnya, 'senang 'kan lo, kayak berkurang satu.' Itu ekstrimnya ya," katanya blak-blakan. 

"Aku masih beruntung sih," ujarnya sambil menerangkan tentang dukungan dari keluarga dan teman-teman terdekat. "Aku nggak pernah tuh merasakan literally di-bully, secara in person. Aku tuh, di-bully-nya cuma di internet doang," katanya dengan nada agak sedikit tinggi, "sama orang-orang yang aku nggak kenal, yang nggak tahu aku siapa," paparnya sambil mengangkat bahu seakan menganggap itu kenormalan hidup. 

"Yah, maksudnya gimana ya," ujarnya sambil memiringkan kepala, "sekarang aku sudah lebih accept banget. Aku sudah menerima diri aku seperti ini. Karena menurut aku, ini sudah terbaik yang aku jalani rather than dulu, dulu yang harus ibaratnya not being who I am atau pretending to be someone else. I just can not do that. Bagi aku ini udah yang terbaik. Menurut aku, siapapun bahkan yang cisgender yang normal-normal aja, mereka masalahnya ada aja. Yah, mungkin bagi aku ini adalah salah satu yang harus aku hadapi. Ini juga ‘kan pilihan ya, either you hidup nggak bebas, tapi juga stres gara-gara itu. Atau lo hidup free to express who you are tapi yah, terima aja konsekuensinya. Kalau di sini, misalkan, masih susah untuk punya relationship yang public open misalnya. Atau isu-isu legalitas, yah terima aja," ujarnya dengan nada santai. 

Apakah kamu merasa normal itu overrated

"Normal bagi aku tuh, outdated!" jawabnya lalu tertawa kecil. "There is no such things as normal, kayaknya udah nggak ada yang normal lagi, deh," ujarnya tanpa ragu. "Normal is relative, maksudnya normal apa dulu, nih? Kayak what’s normal? Sebagai gender, sexuality?" cetusnya sambil membungkukkan badan. "Nggak tahu, deh ah, nanti takut salah. Hahaha," ujarnya lagi-lagi tertawa geli. 

Beberapa bulan yang lalu, sebuah film berjudul Flight 555 tayang di bioskop. Jika kamu memperhatikan poster filmnya, dari sekian banyak nama aktor/ aktris yang ambil bagian berakting, salah satunya adalah namanya. Apakah berminat untuk menjadi pemain film?

Sambil menggelengkan kepala dan mengibaskan tangan, "nggak, itu cuma side project aja. Itu juga karena filmnya komedi, lucu-lucuan, terus nggak terlalu banyak, gitu. Makanya aku mau." 

Sebenarnya, Dena mengaku bahwa dari dulu, dari kecil sampai sekarang, cita-citanya tetap sama. "Aku selalu bilang mau jadi pengusaha," kenangnya dengan suara jernih. "Kalau sekarang mungkin translated to, I wanna be an entrepreneur; memang pengen punya bisnis dan usaha sendiri." Waktu berlalu, bulan berganti tahun, tahun berganti dekade, sekarang dirinya memiliki bisnis sepatu, dengan merek the Drama Shoes. 

"Aku tuh seorang pecinta sepatu," tukasnya dengan lugas. Tepatnya di tahun 2013, Dena (yang mendesain sepatu) dan seorang temannya (yang bertugas mengurusi masalah duit dan marketing) memanfaatkan kelangkaan merek sepatu yang bagus, tapi terjangkau. "Cuma ada dua pilihannya saat itu: 'anjrit, mahal banget, gue nggak bisa' atau 'murah tapi tidak indah dipakai'. Aku tuh, mau di tengah-tengahnya," ujar Dena sambil menunjukkan brown velvet pump shoes yang dipakainya dan mengatakan bahwa itu adalah salah satu buah karya Drama Shoes. Selain itu, baru-baru ini dirinya mendirikan sebuah agency model, bernama Future Models. Dan rasanya tidak perlu dikatakan, tapi Dena benar-benar menikmati hidupnya saat ini. Masih memiliki banyak impian dan keinginan tapi... 

"Cuma udah nggak muluk kayak dulu. Kayak jaman dulu, umur 25, masih semangat! Sekarang sih, umur 30," katanya menarik nafas dan tersenyum geli, "udah deh, senangin diri sendiri dulu aja, udah deh, happy diri sendiri. Hahaha." 

Apa yang menjadi ambisinya? 

"Bikin charity project. Sesuatu yang bersifat sosial—keinginan akan selalu ada dan menjadi bagian dari seorang Dena Rachman," tegasnya. Menyilangkan kakinya yang dibalut dengan khaki cropped pants dan meletakkan tangan di atas lutut, dengan mata fokus Dena menuturkan bahwa dirinya ingin mendirikan sebuah wadah yang membina mereka yang memiliki pergumulan dan perjalanan hidup sebagai seorang transgender, karena "banyak yang ibaratnya tidak se-privilage aku hidupnya—jadi ini adalah salah satu cara aku untuk yah, giving back, sih. Aku merasa punya responsibility, at least mereka di path yang benar.

"Aku nggak mau ngomongin benar salah sih ya, itu relatif," ujarnya cepat. "Misalnya paling nggak mereka tidak menjadi tuna susila, atau mereka memiliki keterampilan lain yang bisa membuat mereka mendapatkan decent living juga at least. Nggak tiba-tiba dibuang, dan you know tinggal di jalan raya. Pokoknya itu akan diwujudkan, tapi bukan yang [seperti menirukan pidato diplomatis Miss Universe] 'pokoknya kita harus memiliki kesetaraan yang sama seperti wanita lainnya'. Bukan yang seperti itu lagi," paparnya.