Dena Rachman: 'Normal Is Outdated'

Dena Rachman: Normal Is Outdated
WOOP.ID

Perempuan ini menceritakan tentang optimismenya, juga kesedihannya terhadap perkembangan transgender di Indonesia.

"Misalnya, mimpi di sini bisa nikah, itu yah," ujarnya menarik nafas dan memutar bola mata, "atau ijab kabul di sini, itu udah nggak mungkin. Nggak bisa deh, ngapain juga memperjuangkan itu? Capek kayak orang gila, nggak bakalan sih," tukasnya yakin. "Tapi at least aku cuma pengen, semuanya orang bisa decent living. Soalnya aku termasuk orang yang anti-poverty, dalam arti aku nggak suka tuh, ngeliat kemiskinan—beda yah, sama nggak suka melihat orang miskin," tambahnya cepat. "Beda 'kan? Nggak suka melihat orang miskin itu jahat," tegasnya. "Tapi aku nggak suka melihat mereka hidup dalam kondisi yang miskin. Aku sih, suka sedih melihat orang-orang yang tinggal dibantaran sungai, tahu kan? Aku tuh, pengen mereka hidup layak, yah kalau tinggal di bantaran sungai 'kan juga itu nggak layak. Ini terlepas dari gender, ya," Dena menambahkan. 

Ada kesan Dena pesimis dengan kehidupan transgender di Indonesia. Benarkah?

"Aku tuh, nggak tahu ya? Aku tuh, lately," potongnya sambil meletakkan gelas, dan tersenyum kecil, "aku udah capek, kayak makin ke sini makin jadi orang apatis. Emang salah, sih [akunya dengan nada prihatin], "karena soalnya gini lho, when I care, I care too much," ujarnya dengan emosional. Dena bercerita bahwa beberapa tahun lalu, dirinya terlibat aktif dalam banyak seminar, dialog tentang kesetaraan gender di lingkup kerja dan anti perundungan terhadap kaum minoritas. Namun, ada benturan dan tentangan dari beberapa pihak sehingga akhirnya kegiatan tersebut terhenti. Saat menceritakan hal ini, Dena berujar baru ada satu kesalah-kaprahan yang terjadi di masyarakat, yakni anggapan bahwa kampanye, seminar, dialog seperti itu tujuannya adalah mempromosikan 'ayolah jadi LGBT'. 

"Jika ada orang yang mengampanyekan hal itu menurut aku aneh, sih," ungkapnya serius. "Cause it’s not something you promote. Itu tuh, self-identity, kayak kalau lo lesbian, lesbian aja—bukan sesuatu yang seperti ‘ayo dong, kalau lo LGBT lo keren'. Itu salah, menurut aku," ujarnya semangat. "Yang dulu kita lakukan adalah don’t be afraid to be who you are. Yah, kalau lo heteroseksual, yah heteroseksual aja, tapi lo jangan bully. Kalau lo homoseksual, yah homoseksual aja, tapi lo jangan takut untuk di-bully." 

Dena yang optimis sekarang menjadi lebih pesimis. "Well, secara pribadi aku juga nggak berharap banyak, sih. Untuk institusi, legalitas, aku udah nggak berharap banyak. Namun ini pandanganku pribadi, ya," tekannya. "Memang sih, [kaum transgender di Indonesia] masih bisa hidup, cari kerja—nggak masalah," ujarnya menghela nafas. "Orang-orang sini itu hipokrit aja," tambahnya, "selama kita nggak nyengol mereka, nggak ganggu, [tapi] misalnya [kalau] ada transgender bikin perusahaan, sukses banget dan buka lapangan kerja buat orang, pasti nurut karyawannya. Tapi kalau misalnya masalah politik, mengancam posisi politiknya, baru, deh. Tapii selebihnya tidak peduli kok. Kecuali tiba-tiba macarin anaknya, ya? Tau deh," tuturnya sambil mengangkat bahu dan tersenyum penuh arti. 

Meski begitu, Dena mengakui senang karena sejauh ini karyanya dihargai oleh banyak orang, "tanpa melihat embel-embel lainnya. Yang dilihat pekerjaan aku, bukan karena aku transgender." Dulu, waktu "jaman gila-gilanya" masih ada komentar-komentar miring. "Semakin ke sini juga orang udah tahu, bahwa ini basic-nya adalah bisnis sepatu. Beda sama Instagram pribadi. Kalau itu mau komen apa juga, tentang pribadi, terserah karena itu ranahnya. Kalau yang satu ini 'kan, ranahnya bisnis, tapi orang sudah pintarlah," katanya. 

Secara birokrasi, hukum, legalitas, kedudukan setara di masyarat mungkin negara ini masih jauh dari impian kaum transgender, tapi menurut Dena siapapun yang mengalami perjalanan hidup seperti dirinya, "harus tetap come out, sih," dengan suara serak. "Aku yakin sih, apapun kondisinya... hmm... it’s better be who you are, sih. Aku nggak bisa membayangkan," katanya menundukkan dan menggelengkan kepala, "harus hidup pretending. Yah, kayak gini deh, ibaratnya suami istri kalau memang ada masalah, atau sudah nggak cinta, bagi aku memang harus diomongin, harus jujur, sih. Honesty is importan for live, kalau nggak stres, sih," tegasnya. 

Dan untuk yang lain: "Respek ajalah, dengan pilihan orang lain," sarannya tanpa menggurui. Saat saya bertanya kenapa sepertinya orang lain sulit melakukannya, terutama terhadap kaum transgender, "Mungkin stres aja dengan hidupnya, jadi iseng," ujarnya dengan nada, sorot dan senyuman jahil. "Mungkin hidup mereka nggak menarik. Mungkin aja ya," katanya. Namun, dengan ekspresi dan intonasi jahil, Dena berujar, "tapi udah ada yang lebih menarik sekarang, 'kan? Hidupku udah nggak terlalu menarik!" tandasnya terbahak. 

img