Elena Bara: 'Tidak Ada Seorangpun Bekerja di Vogue yang Datang dengan Heels'

Work
WOOP.ID/YOGO TRIYOGO

Digital fashion editor ini bercerita tentang Vogue, frekuensi datang ke fashion show, dan topping pizza yang halal ala Italia.

Mungkin kamu pernah mendengar, atau membolak-balik, atau membaca, atau bahkan meletakkan majalah ini di samping bantalmu dan memperlakukannya seperti sebuah “kitab suci”—membacanya setiap malam sebelum tidur. Bisakah kamu menebak majalah apa yang sedang saya bicarakan? Petunjuk: terdiri dari lima huruf, semua kapital, tebal luar biasa dan berat… Jawabannya: VOGUE. Pertanyaan selanjutnya: apa yang kamu lakukan saat bertemu seseorang yang bekerja di sebuah tempat yang tidak hanya dianggap sebagai sebuah majalah, tapi menjadi sebuah institusi mode yang sudah berumur 125 tahun? Kesempatan langka ini (sungguh tidak maksud berlebihan) saya alami ketika berhadapan dengan Elena Baradigital fashion editorVOGUE Italia

“Sebelumnya, perlu saya tekanankan bahwa saya bekerja di Vogue.it, ya. Bukan majalahnya, tapi situsnya,” ucapnya dalam bahasa Inggris dengan aksen Italia yang sangat kental. 

Potato, potahto, tomato, tomahto. Manajemen, menejemen, bus, bes. OK, noted. Sebelum kita memulai percakapan lebih serius, saya mengaku sangat penasaran dengan satu hal: apakah orang yang bekerja di Vogue selalu datang ke kantor dengan pakaian canggih, mengkilat, baru, trendi—seperti yang terlihat di berpuluh-puluh halaman fashion spread majalahnya? 

I know, I know,” katanya sambil mengibaskan tangan kirinya seperti seperti seorang konduktor orkestra. Lalu, tertawa kecil, sepertinya berempati terhadap rasa penasaran saya. “Namun orang-orang di kantor saya, ada lima orang perempuan, dan tidak ada seorangpun di antara kami datang ke kantor dengan heels,” ujarnya dengan nada datar. 

Melihat wajah saya yang memperlihatkan tanda tidak percaya, Elena tertawa kecil. “Yah, kadang-kadang saya memakai sepatu hak tinggi, tapi bukan stiletto,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. 

“Dan juga,” lanjutnya seraya memegang kakinya, “karena kaki saya sedang cidera, jadi terlalu menyakitkan.” Terlebih, "Saya lebih menyukai gaya kasual, meskipun sebenarnya... hmm... terdengar basi, tapi semuanya tergantung mood," katanya dengan suara berbisik. "Kadang-kadang saya hanya ingin keluar dengan memakai tracksuit dan hoodie, dan sneakers. Terkadang untuk acara-acara besar, gaun dengan sepatu berhak, so I have this double personality, haha... I love heels, I love luxuries, I love big bags, but I also love the street wear, you know very casual, comfortable clothing." 

Dan saat tidak tahu, bingung, kehabisan ide, malas berpikir keras, apa yang akan kamu pilih? 

"Hitam," katanya dengan tegas, seraya tertawa. "If I don’t know what to wear I choose black usually. It’s safe, it’s classy... it’s black!" 

Saya melirik black sleeveless dress with layered skirt dan bertanya apakah hari ini dia merasakan hal tersebut? Elena buru-buru melepaskan rokok dari bibirnya, dan tertawa kencang. 

Elena Bara datang ke Jakarta dalam rangka Digital Fashion Week 2017 yang digelar bulan lalu. Sejujurnya, tidak ada rencana untuk mewawancarainya karena… well, orang yang bekerja di Vogue pasti sibuk ‘kan dan… sulit didekati? Saya memang belum pernah bertemu dengan Anna Wintour secara personal, tapi konon kabarnya tokoh Miranda Priestly di The Devil Wears Prada terinspirasi dari dirinya. Jadi, penggambaran karakter itu saja sudah membuat saya hmm… agak enggan. 

Jika mau jujur, rasa penasaran ingin mengajukan pertanyaan tadilah (apakah orang yang bekerja di Vogue selalu berpakaian seperti baru selesai pemotretan) yang membuat percakapan ini akhirnya terjadi. Dan kejutan: Elena gampang tersenyum, tertawa, meringis, dan seperti kebanyakan orang Italia yang saya kenal, hampir selalu menggerakkan tangan ketika berbicara. Dan karena tangan kanannya sedang memegang sebatang rokok, maka tangan kirilah yang lebih bekerja keras untuk mengekspresikan dirinya. 

Elena menceritakan tugasnya sehari-hari di media tersebut; tanggung jawab utamanya adalah women's wear. Tentunya bekerja sama dengan banyak kontributor untuk mempublikasikan berita mode, tren, dan ini terjadi setiap hari. Dan pekerjaaan bertambah berlipat-lipat ketika bulan fashion show datang. "Biasanya September dan Februari," katanya seraya menyentuh rambut hitam sebahunya. 

Bagi kaum "biasa" mendapatkan tiket dan menghadiri fashion show mungkin ibarat mendapatkan 10.000 likes dari sebuah postingan di media sosial. Namun dari banyak artikel yang saya baca dan curhatan para jurnalis dunia mode yang saya dengar secara pribadi, minggu fashion show bisa menjadi sebuah penyiksaan; terlebih saat hanya ada satu-dua pertunjukkan yang luar biasa, dan sisanya hanya memenuhi kuota performer harian alias sangat membosankan. (Saya beberapa kali meliput fashion show, dan harus membalikkan badan berkali-kali untuk menutupi mulut yang menguap lebar. Untungnya lagi, suasananya biasanya temaram.) 

Elena terbahak, dan meringis. "Pastinya, awalnya saya selalu pergi ke setiap fashion show, tapi sekarang sudah lama, jadi... you know," katanya sambil mengangkat bahu dan masih tersenyum kecil.

"You know what, ada begitu banyak pekerjaan di kantor, jadi kalau saya pergi... ke dua pertunjukan di pagi hari dan baru kembali ke kantor, pekerjaan saya akan berlipat-lipat," tekannya dengan nada miris. "Jadi seringkali saya lebih memilih untuk berada di meja dan mengerjakan isi situs yang akan kami terbitkan. Baru... setelahnya pergi ke fashion show," ujarnya. 

Dan adakah fashion show yang tidak pernah terlewatkan olehnya? "I mean I only go to Milan Fashion Weekbut I always go to Prada," jawabnya dengan pelafalan kata 'Prada' yang sempurna. 

Menurut tata krama sosial tidak tertulis, salah satu pertanyaan yang dilarang ditanyakan kepada perempuan adalah usia. (Meskipun saya sangsi pria akan dengan antuasias dan bahagia saat menjawab pertanyaan yang sama.) Jadi, saya bertanya berapa lama dirinya sudah bekerja di media milik Condé Nast tersebut. 

"Hmm..," gumamnya seraya berhitung dengan jari, "Sudah lebih dari tujuh tahun," tukasnya. 

Dari meng-googling dirinya, saya mendapatkan informasi bahwa mode bukanlah cita-cita awalnya. Dulu, Elena berhasrat ingin menjadi... ahli bedah. Apa yang membuatnya berubah pikiran? 

Elena tertawa kecil, "Yah, yah... itu karena SMA saya sangaaaat susah," katanya dengan nada memelas. "Terlalu banyak yang harus dipelajari, dan ditambah dengan orangtua saya yang menginginkan saya ingin masuk ke sekolah tertentu. Jadi ketika SMA saya selesai, saya benar-benar tidak bisa berpikir untuk belajar lagi," katanya mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. 

"Serius. Dan saya ingin melakukan sesuatu yang kreatif... hm... sesuatu yang tidak seperti universitas. Itulah sebabnya saya belajar di Istituto Marangoni. Lingkungannya berbeda, saya bisa pergi ke London dan tinggal di sana selama setahun. Itulah sebabnya, saat itu saya merasa karir dokter, yah... terlalu berat," katanya seraya menghela nafas.

Mengisap rokoknya, meluruskan badan, "Tapi saat ini saya sangat bahagia, tidak ada penyesalan," katanya dengan tegas. Lalu, "Tapi jika ada sesuatu yang ingin saya pelajari, saya tetap ingin mempelajari kedokteran. Because like fashion school is not study for real," tambahnya. 

Banyak orang akan protes dengan pernyataan tersebut, saya menyeletuk. 

"Hahaha, no," responnya sambil mengibas-ngibaskan tangan, "maksud saya, saya tidak mengambil kuliah jurnalistik, jadi Istituto Marangoni itu sebuah sekolah profesional. Tentu saja kita belajar, tapi berbeda dengan buku-buku kedokteran, buku-buku ekonomi. It’s like everything practical, so to me [memegang dadanya], it’s like different study," paparnya dengan penuh penekanan. 

Dan pastinya tidak semua alumni Istituto Marangoni akhirnya bisa memasukkan Vogue.it ke dalam profil LinkedIn mereka. 

Lagi-lagi Elena tertawa, dan kali ini agak tersipu-sipu. "Oh, itu karena saya magang di sana, tepat setelah selesai sekolah. I was actually lucky because it was the moment 'you are the right person, the right time, and the right place,'" ujarnya seraya tertawa kecil. 

Menurutnya, saat itu situs tersebut baru saja diluncurkan. Ketika itu masih ada banyak orang, dan sebagai anak magang, Elena bekerja sangat keras. Dan saat tim semakin meramping, Condé Nast memintanya untuk menjadi tim tetap. "Saat itu, hal seperti ini masih mungkin terjadi. Namun sekarang tidak mungkin dengan begitu banyak penutupan perusahaan editorial karena krisis media yang sedang terjadi," paparnya. 

Elena menuturkan bahwa dirinya tahu persis jika krisis ini tidak hanya terjadi di Italia, tapi juga di Indonesia. Sebagai seseorang yang bergerak di bidang digital, apakah menurutnya digital berperan dalam "membunuh" pelan-pelan media cetak?

"I am actually part of digital generation," jawabnya dengan tegas. (Jadi, bisakan mengira-ngira berapa umurnya?) "Saya merasa bahwa saya merupakan bagian dari generasi tersebut, jadi saya tidak setuju jika dibilang kami membunuh media cetak," ujarnya membela generasi milenial dan Z.

"Dunia itu berubah, kita harus belajar menerimanya, dan kita harus menyesuaikan diri dengan berbagai cara. Ini merupakan perpaduan antara manusia, teknologi, dan banyak hal lain," bebernya. "Dan juga," tambahnya dengan cepat, "People, they don’t read the magazineThis is the point. Kita bisa menemukan apapun online, tidak perlu beli majalah lagi. It’s actually the audience that killing the magazineIt’s that people choosing the digital," ujarnya dengan emosional. 

Apakah dia bisa membayangkan Vogue tanpa versi majalah cetak?

"Siapa yang tahu," jawabnya dengan tegas. Dengan suara berat dan sedikit emosional, Elena menambahkan, "Memang sulit membayangkan Vogue tanpa kertas, tapi jika sesuatu berubah, mungkin nantinya kita akan memiliki tipe majalah yang berbeda. I don’t know, saya pikir generasi selanjutnya, anak-anak yang sekarang berusia lima tahun contohnya, kemungkinan besar mereka tidak akan punya majalah kertas, mereka tidak tahu tentang hal tersebut karena mereka terobsesi dengan digital, online. Jadi, saya pikir 20 tahun dari sekarang, dunia akan sangat berbeda dan tanpa majalah [cetak]. Mungkin kita bahkan tidak punya majalah digital, bahkan mungkin juga tidak dalam bentuk situs. I don’t know because as I said it’s difficult to say."

Media berubah, fashion juga berubah. Digital adalah salah satu pelaku utamanya. Digital memainkan peran penting dalam menentukan isi majalah. Digital memainkan peran krusial dalam mencari reporter—dan menentukan desainer dan model mana yang akan dan sedang naik daun. Digital mempengaruhi keluar masuk uang, keuntungan dan kerugian sebuah media—dan fashion. Perubahan yang paling mencolok yang disebabkan oleh digital?

"I think it make it more inclusive," jawabnya cepat dan tegas. "Sebelumnya mode merupakan sebuah dunia yang sangat eksklusif, sangat kecil, dan contohnya hanya segelintir orang yang bisa menghadiri fashion show. Tapi sekarang, digital mengubungkan banyak pihak dalam industri ini. Digital opens fashion to everybody. Sekarang kita bisa menonton fashion show secara streaming, bisa melihatnya langsung secara online. Di masa lalu, kita harus menunggu sampai majalahnya dicetak baru bisa melihat gambar-gambarnya. Sekarang, bisa bayangkan, dalam hitungan [menjentikkan jarinya], kamu tahu apa yang terjadi di Paris dan New York. So, I think like this is the best part of digital now," paparnya dengan ekspresi antusias. 

Dua tahun yang lalu, beberapa fashion blogger muda dan para penggemarnyamengkritik empat editor Vogue US dan mencap mereka "cemburu, penuh kebencian dan hipokrit", setelah para editor tersebut mengkritik para pemain baru (baca: para blogger) dan mencap kehadiran para blogger di Milan fashion week sebagai sesuatu yang "pathetic" dan "desperate." Para penjaga gerbang mode asal Vogue tersebut mengkritik para bloggers yang mengganti baju setiap jam, bahkan menganggap dengan "lalu lalang di luar pertunjukkan " para bloggers tersebut beresiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas. (Maafkan jika terlalu banyak mengulang kata kritik, karena perisitiwa tersebut pada intinya adalah kritik.) 

"Yes, yes, I remember that," responnya seraya menganggukkan kepala dengan kencang. "Bagi saya ini adalah tentang perubahan," katanya dengan tegas. "You know, ada bloggers yang mereka suka, dan ada bloggers yang mereka tidak suka. Namun masalahnya, mereka eksis dan kita harus menerima bahwa kita melakukan bagian kita masing-masing dan berbeda-beda. Misalnya, Vogue mengeluarkan ide tertentu, blogger memiliki ide yang berbeda lagi.

"Para blogger ini bekerja keras untuk membangun citra mereka, personalitas mereka, hmm... bagi saya ini merupakan dua produk yang berbeda. Misalnya, jika kamu membuka Vogue, itu berarti kamu sedang mencari sesuatu. Dan jika kamu membuka akun Instagram blogger tersebut, kemungkinan besar kamu juga sedang mencari sesuatu yang berbeda lagi. Dan generasi lebih muda jaman sekarang sepertinya lebih tertarik dengan bloggers, karena mereka sangat aktif di media sosial—yang juga merupakan sesuatu yang baru. So, not even the website, it’s all about social media. So, that’s the main difference, I think social media is like the new thing that people are interested in," paparnya panjang lebar. 

Mark Zuckerberg tidak begitu aktif di media sosial; menurut Bloomberg, CEO Facebook tersebut memiliki sebuah tim yang beranggotakan 12 moderator yang mendedikasikan hidup mereka untuk menghapus komentar dan spam dari akun pribadinya. Ned SegalChief Financial Officer dari Twitter, memiliki akun di situs tersebut selama lebih dari enam tahun dan hanya mencuit kurang dari dua kali dalam sebulan. Dan Elena Bara... untuk seseorang yang berkutat di digitial, sepertinya juga tidak begitu aktif di media sosial. Saking takut salah orang, saya memastikan apakah @elanasilviab merupakan akun pribadinya? 

"You mean, me, me, me," tanya sambil menunjuk dirinya. Saya mengangguk.

"Iya, tapi saya tidak begitu akfit karena memang lebih suka berada di balik layar. But I mean I follow a lot people, bloggers, models, but my personality not really..." katanya. 

"Namun untuk menjadi seorang blogger," lanjutnya, "you have to be strong, to put your images in front of everybody. Ini merupakan sesuatu yang sulit. Semua orang bisa melakukannya. Dan bagi saya, itu merupakan sesuatu yang mustahil. Karena saya [terdiam sebentar, mencari kata-kata yang tepat], you know I like my privacy. Saya suka menggunakan media sosial, tapi hanya untuk berhubungan dengan teman, memposting foto-foto yang saya suka, tempat-tempat yang saya datangi, bukan karena ingin menciptakan sesuatu untuk orang lain. I don’t think much about my followers." 

Beberapa tahun belakangan, dunia mode adalah tentang menjadi berani, berbeda, dan tidak takut dengan perbedaan tersebut. Salah satu yang isu utama yang diangkat dan mengambil tempat di panggung fashion show adalah feminisme. Pertengahan tahun lalu, sebuah tren muncul: laki-laki dan perempuan memakai t-shirt yang memproklamirkan identitas fourth-wave feminism mereka. T-shirt dari Dior bertuliskan 'We Should All Be Feminist' (dikutip dari penulis Chimamanda Ngozi Adichie); t-shirt dari Deep End Club (conscious fashion label milik DJ Tennessee Thomas) dengan pernyataan 'IN SOLIDARITY'. Pada September 2014, Chanel memperagakan faux-manifestation catwalk show, dengan Cara Delevingne berlenggak-lenggok sambil memegang sebuah loudspeaker dan plakat yang bertuliskan 'Ladies First' dan 'Women’s Rights are Alright'. Masalahnya: banyak yang berpendapat bahwa fashion dan feminisme tidak bisa berjalan beriringan. Alasannya? Misalnya: isu etika memakai sebuah t-shirt yang mengklaim solidaritas sesama perempuan, tapi pada saat yang bersamaan t-shirt tersebut diproduksi massal dan melibatkan buruh perempuan yang digaji sangat, sangat rendah. Atau: cenderung misoginistik karena perempuan seakan-akan baru akan didengar saat t-shirt dengan isu tersebut dipakai oleh model yang kurus dan atraktif. Jadi, kalau boleh tahu, Elena apakah kamu seorang feminis?

Dia tersenyum kecil, menghela nafas panjang, mematikan rokoknya dengan menekan-nekan ujungnya ke dalam asbak, lalu tertawa. "This is tricky," katanya dengan nada merenung.

"Saya sangat mendukung perempuan, hak perempuan, girl power, tapi feminis?" ujarnya dengan nada tanya dan pesimis.

Sedikit membungkukkan badan, dia berujar bahwa istilah tersebut membuatnya merasa seperti mempertentangkan sesuatu dengan sesuatu. "I don’t know how if you get it, but I think it’s fine if girls fight for their rights. But I am not sure I am a feminist, it’s also such a old word to me," ujarnya.

Terdiam beberapa detik, "I believe in the power of woman, you know. Isu ini sangat penting dan kita memang masih hidup di dunia dimana laki-laki masih memegang peranan utama di dunia, di politik. Itu benar. Namun juga merupakan sebuah kebenaran bahwa perempuan mulai bersuara sekarang, sehingga saya pikir kita sudah jauh lebih berkembang," Elena berkata dengan nada optimis. 

Elena menerangkan bahwa dirinya cukup beruntung karena hidup dan besar di kota internasional seperti Milan, dimana pola pikir sudah maju. "Ini saya membicarakan dari sisi utara ya," Elena mengingatkan, "karena Milan berada di utara Italia. Mungkin di selatan masih ada mentalitas lain tentang bahwa perempuan harus tumbuh besar dan punya, suami saya harus bekerja—pasti masih ada mentalitas seperti ini, tergantung dimana kamu tumbuh. Jika kamu tumbuh dengan kultur tertentu, kamu akan menjadi perempuan berbeda."

Merenung sebentar, lalu berkata, "Sorry for my English, I feel very limit," katanya dengan nada frustrasi. "Kamu tahu 'kan bahwa sulit menjawab dalam bahasa lain. Serius, sulit karena ini merupakan isu yang penting. I’d love to say something and meaningful, but my English...."

Saya menawarkan solusi bahwa dia bisa mengatakannya dalam bahasa Italia, dan saya akan minta bantuan Google untuk menerjemahkannya. Elena tertawa terbahak, menggeleng-gelengkan kepala, dan berujar dengan lirih, "No, it's impossible! But yeah, definitely something must change." 

Dan berbicara tentang kemustahilan, sebagai orang Italia ada satu hal yang 'impossible' dilakukannya: makan pizza dengan topping dengan nenas. 

"No, no," katanya dengan tegas, membelakkan mata, menggeleng-gelengkan kepala dengan super kencang, dan menggerak-gerakkan jari telunjuknya berkali-kali seperti indikator bensin yang sedang panik. 

"Pokoknya tidak nenas, tidak, tidak," ulangnya lagi. Tidak menerangkan alasannya kenapa, seakan-akan memang hal tersebut tidak perlu keterangan lebih lanjut. 

Jadi apa komposisi topping pizza favoritmu? 

"Tergantung mood, sebenarnya. Tapi saya suka hmm... terong, ricotta pada margarita, atau ham, atau campuran sayur yang dipanggung, atau spicy salami," jawabnya. 

Dan pasti makan pasta 'kan, ya?

"Oh, I love pasta in every way," jawabnya dengan nada penuh cinta, seperti membicarakan pacar. "You know, we are italian, pasta itu ibarat air putih bagi kita. Kami makan pasta, hampir setiap hari. Dan percayalah, bisa dicampur dengan apapun, hanya tergantung dengan musim, karena sama seperti mode, pasta ini sangat penting bagi kami!" 

Oh satu lagi: apakah semua orang di Milan berpakaian canggih seperti yang terlihat di foto-foto dan film?

"Haha... banyak orang yang bilang begitu, tapi bagi saya itu merupakan sesuatu yang normal. Mungkin karena saya berasal dari sana, saya tidak terlalu memperhatikannya lagi. Tapi benar kalau dibilang bahwa di Italia kami bisa menemukan kecantikan dari segala hal dan mengaplikasikan fashion dalam segala hal. Jadi, mulai dari meja, bagaimana kamu meletakkan gelas, dari penempatan sofa, everything is all about fashion. Jadi, itulah mungkin sebabnya fashion menjadi bisnis yang sangat besar di Italia. I mean, we have like the most established fashion brand in the world, along with French as well!" katanya tanpa berusaha menutupi rasa bangganya. 

Yep, Prada. Kapan ya, saya bisa menonton fashion show Prada di Milan fashion week—dan saya penasaran apakah saya akan tetap menguap? Who knows!